Pada 1919, Marco Kartodikromo mengisahkan keramaian penumpang, pengantar, dan penjemput di Stasiun Balapan (Solo). Kita mengetahuinya dalam Student Hidjo, cerita berlatar 1913. Yang meramaikan Stasiun Balapan adalah orang-orang Sarekat Islam dan kaum pelesiran. Di Solo, ribuan orang Sarekat Islam mengikuti kongres. Stasiun Balapan menjadi tempat penting selain Sriwedari. Yang berdatangan ke Solo naik kereta api, berlanjut naik kereta berkuda menuju Sriwedari dan Kabangan.
Pada 24 September 2023, para pengarang meninggalkan Solo. Mereka pergi ke Pekalongan. Misi memenuhi undangan pemberian penghargaan Prasidatama oleh Balai Bahasa Jawa Tengah. Titik berangkatnya bukan Stasiun Balapan tapi Stasiun Jebres, stasiun yang tidak disenandungkan Didi Kempot.
Mereka bergerak saat sore yang panas. Sore dengan matahari yang masih garang. Di Stasiun Jebres, mereka menggerakkan kaki-kaki untuk naik ke gerbong dengan percampuran gairah dan sakit. Panji Sukma tampil mirip berandalan, Indah Darmastuti dengan keanggunan, Yuditeha tampak bertubuh kesakitan. Yang dua waras, yang satu sakit.
Mereka bukan tokoh-tokoh dalam novel Marco Kartodikromo. Mereka tidak perlu membawa novel lama untuk makin mengerti dan menikmati (imajinasi) berkereta api. Sore itu tak memungkinkan mereka memanggil masa lalu dan menghidupkan pengarang-pengarang lama. Yang diinginkan adalah duduk bersama orang-orang yang harus terkurung dalam gerbong.
Aku bersama mereka, turut menghuni gerbong bergerak di atas rel. Di gerbong, tak hanya manusia-manusia, Yang tampak adalah tas-tas besar. Banyak yang pergi dengan misi-misi besar. Kami sekadar pergi.
Panji Sukma, Indah Darmastuti, dan Yuditeha tidak perlu membawa tas besar. Mereka hanya membawa beberapa baju ganti dan kata-kata. Mereka itu juru cerita, yang pergi dengan sadar cerita-cerita. Aku menjadi penikmat cerita saja. Pergi bersama mereka itu kehormatan.
Gerbong bergerak, kami duduk. Yuditeha memilih tidur. Di sampingnya, Panji Sukma berusaha tabah dan dipaksa menjadi pendiam. Namun, aku melihatnya mulai menikmati perjalanan dengan pendengaran. Benda-benda kecil di kuping yang berarti mendengarkan lagu-lagu atau ocehan-ocehan bersumber gawai tanpa terdengar para penumpang lain.
Aku duduk di samping Indah Darmastuti. Dua manusia bakal sulit tutup mulut. Suara kereta dipastikan bersaing suara dari mulut. Kami seperti sedang naik “kereta kata”, perlahan meninggalkan sore menuju malam. [] Kabut
Pada mulanya ban bocor. Ban belakang bocor, tanda seru agar membawa ke bengkel. Sepeda motor itu bersamaku menuju rumah tetangga, yang kesehariannya menambal ban dan memperbaiki sepeda motor. Hari menjelang siang. Panas telah kuadrat.
Si tetangga tampak uring-uringan. Ia sedang memperbaiki benda. Gagal. Gagal. Gagal. Aku telanjur bilang ban bocor. Jalan di depan bengkel panas. Si pemilik bengkel pun “panas”. Keterpaksaan menambal ban. Aku duduk berlagak tenang sambil membaca buku berjudul Menulis Itu Indah, buku berisi pengakuan para pengarang tenar di dunia, belum tentu di akhirat.
Kalimat memikat yang minta diingat agar tak ketularan panas jalan dan uring-uringan tukang tambal ban: “Dan, sesuatu yang telah saya lakukan sepanjang hidup dan akan selalu saya lakukan adalah membaca puisi.” Aku pastikan ia membaca puisi. Di akhir kalimat bukan kitab suci tapi puisi. Penulis kalimat bernama Julio Cortazar. Pengarang yang tinggal di negara jauh, bukan hidup di desa tetangga. Pastilah ia terkenal dan berpengaruh, hanya untuk mengatakan sepanjang hidup membaca puisi. Aku juga membaca puisi tapi tidak berani mengaku “selebar hidup”. Pikiran sebalku: “sepanjang hidup” kali “selebar hidup” sama dengan “seluas hidup”.
Penambalan ban sudah selesai. Uang dua belas ribu diserahkan, tambah dua belas ribu lagi untuk bahan bakar. Siang makin panas. Aku pun panas. Pikiranku mengatakan: “Pergilah ke Gladag! Pergilah! Pergilah!” Siang itu, Rabu, 20 September 2023, niatku menjemput tiga anak di sekolah (Abad, Sabda, dan Bait). Masih ada satu jam bila menuruti perintah pikiran. Terbukti, pikiranku sedang bocor. Di saku celana cuma ada sedikit uang tapi berpikiran Gladag (Solo).
Sampai di Gladag. Aku memandangi buku-buku dan majalah-majalah kesepian. Para pedagangnya murung. Beruntunglah ada pohon besar. Pohon untuk berteduh tapi mereka bingung gara-gara nasib yang tak teduh. Aku ikut bingung melihat kesepian dan kemurungan.
Mataku melulu buku. Di depan buku-buku, mengantuk itu haram. Mataku jelalatan, gampang terpikat. Di hitungan menit, aku berhasil menumpuk buku-buku: Menghibur Diri Sampai Mati (Neil Postman), The Book Club: Kisah Lima Wanita (Mary Alice Monroe), Seminar Bahasa Indonesia 1972 (Djajanto Supra dan Anton J Lake), Tata Krama Nasional Indonesia (Oetomo DS), Kisah Seribu Satu Malam (Muhsin Mahadi), Mengungkap Rahasia Al Quran (Allamah MH Thabathaba’i), dan The Subtle Knife (Philip Pullman). Buku yang terakhir itu bagian dari tiga jilid. Sudah cukup lama, aku suka membaca buku-buku garapan Philip Pullman. Di Indonesia, buku-bukunya diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. lima Majalah lama ikut ditumpuk: Budaya Jaya, Basis, dan Pembimbing Pembaca. Tumpukan itu dipandangi lama sambil memikirkan jumlah rupiah.
Buku bisa dibawa pulang jika diperbolehkan utang. Aku menanti pedagang yang sedang menata dan merapikan buku-buku. Wajahnya berkeringat, mata penuh harapan. Beberapa bulan, Gladag sepi pembeli. Orang-orang enggan bertemu buku-buku. Mereka pelit duit. Dugaan lain: mereka tak perlu buku. Hari-hari mereka kemarau bacaan. Hidup tidak harus membaca buku. Mereka tidak wajib membaca puisi sepanjang hidup. Hidup tetap indah tanpa membaca selusin novel. Merekalah yang “selamat” dari kutukan imajinasi.
Penantian itu terjawab. Pedagang sedang baik, membiarkan aku berutang untuk setumpuk buku dan majalah. Beberapa buku sudah pernah aku khatamkan. Niatku, ada buku-buku yang dijual agar mendapat duit. Buku yang ingin lekas dibaca: The Book Club: Kisah Lima Wanita. Di mataku, novel terbitan Violetbooks itu termasuk jenis novel ringan atau menghibur. Membaca novel menghibur itu hak ketimbang merampung novel yang menambahi siksa hidup dan mengingatkan siksa neraka. Aku sadar diri sebagai pembaca bergelimang dosa, pembaca yang susah dapat ampunan Tuhan.
Bergerak ke kios berbeda. Di tumpukan buku anak-anak, aku menemukan tujuh buku apik. Buku dinamakan “Seri Tokoh Ternama” terbitan Elex Media Komputindo. Pastilah buku terjemahan. Seri seperti itu belum dibuat di Indonesia. Aku sudah punya beberapa judul. Yang di depanku: Alfred yang Agung, Beatrix Potter, Anne Frank, Alexander Graham Bell, Dick Whittington, dan Louis Braille. Buku-buku tipis, banyak gambar. Buku-buku yang memukau terbaca oleh anak-anak, termasuk diriku yang berjenggot, berambut gondrong, dan ompong.
Aku menduga kelak bisa menyusun buku penggalan-penggalan biografi para tokoh. Yang ingin aku susun adalah tokoh-tokoh sastra, musik, dan seni rupa. Buku-buku tipis tapi pesimis mendapat pembaca. Tokoh-tokoh penting dan besar di Indonesia masih susah terceritakan kepada anak-anak.
Masih ada beberapa menit di Gladag, sebelum perjalanan menjemput anak-anak yang pulang sekolah. Mataku melihat bundel majalah. Oh, majalah Hai. Majalah remaja masa 1980-an. Ingat majalah Hai, ingat Arswendo Atmowiloto. Sejak lama, aku berniat membuat kiping sastra remaja. Hai wajib menjadi sumber untuk memperoleh cerita dan puisi pantas mendapat komentar-komentar agar tercantum dalam sejarah sastra di Indonesia. Bundel majalah Hai bisa dibayar gara-gara murah.
Pada saat membuka-buka, aku melihat puisi-puisi gubahan Acep Zamzam Noor. Pada suatu masa, ia biasa mendapat sebutan melekat: sastra dan pesantren. Ia lahir dan tumbuh di pesantren, sebelum pergi ke kota-kota dan bergerak ke Eropa. Pulang, ia adalah penggubah puisi dan pelukis. Acep Zamzam Noor saat masih muda rajin menulis puisi dimuat di majalah Hai dan pelbagai majalah. Ia mulai sodorkan hal-hal bercap religius.
Setahun lalu, aku bertemu dan bercakap dengan Acep Zamzam Noor di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Bukan pertemuan pertama. Di sana, obrolan mudah akrab gara-gara masalah dokumentasi. Aku menyimpang dan mengulas puisi-puisi lawas gubahan Acep Zamzam Noor. Ia pun memberi kabar bila mulai mengumpulkan lagi majalah dan koran pernah memuat puisi-puisinya. Kerja itu dibantu teman-teman dan para penggemarnya. Hal terpenting dalam percakapan tak melulu puisi tapi pendokumentasian teks-teks demi mengerti “sastra pesantren”.
Puisi lawas Acep Zamzam Noor bertahun 1982 dalam majalah Hai membuatku agak mengerti ketekunannya terus berada di jalan sastra. Puisi itu berjudul “Lagu Kebun”. Puisi cukup mudah dimengerti kaum remaja: daun-daun kehidupan: hijau-kuning/ o, bunga-bunga kesetiaan// langit membentangkan danau. Tumpah/ menggelarkan permadani di bumi/ rinai gerimis, geliat batu dan rumpun perdu:/ hidup mengocok keringat. Kerja keras. Pada saat menjadi murid SMA atau mahasiswa, aku mustahil bisa menulis puisi religius. Dulu, aku cukupkan menjadi pembaca puisi-puisi gubahan Chairil Anwar, Subagio Sastrowardoyo, Rendra, Hartojo Andangdjaja, Ajip Rosidi, Toto Sudarto Bachtiar, dan lain-lain. Pada masa lalu, aku bukan pembaca majalah Hai.
Terdengar adzan dari Masjid Agung Solo. Resmilah siang dan panggilan mengingat Tuhan. Aku masih berada di Gladag. Tubuh berkeringat, kecut bertambah gara-gara belum mandi. Bau tubuh, bau buku, dan bau majalah: bersekutu di bawah matahari yang panas kuadrat. Aku masih mungkin berada di bawah pohon sejenak, mengerti faedah daun-daun.
Mataku melihat tumpukan majalah diikat tali plastik. Majalah itu bernama Matra. Tanganku segera membuka ikatan, mata bergerak cepat menandai majalah-majalah bisa dimiliki. Urusan pertama memilih, urusan harga dan utang belakangan. Empat belas majalah dipilih dengan senyum keberuntungan. Aku mendapatkan edisi-edisi memuat wawancara Umar Kayam, Goenawan Mohamad, Mahbub Djunaidi, YB Mangunwijaya, dan Teguh Karya. Nama-nama yang ikut menentukan biografiku dalam sastra dan teater. Mereka yang mempersembahkan tulisan-tulisan yang aku santap dengan girang dan air mata.
Bahagia lagi, aku menemukan cerpen-cerpen gubahan Leila S Chudori, Danarto, Satyagraha Hoerip, dan lain-lain. Matra itu majalah untuk pria. Majalah yang memanjakan sastra. Lumrah saja jika melihat orang-orang yang mengelolanya berkaitan majalah Tempo dan Humor. Aku pastikan majalah Matra ikut memiliki saham dalam perkembangan sastra di Indonesia. Aku bertambah utang lagi. Matra tak boleh dibiarkan termangu bersama pedagang sering murung. Mereka bingung dengan lakon perdagangan buku. Konon, kios-kios buku di situ bakal terkena dampak pembangunan Keraton Kasunanan Surakarta.
Detik-detik mau meninggalkan Gladag, seorang pedagang menyapa: “Mampir!” Aku bilang mau menjemput anak-anak. Tambahan: “Aku sudah banyak utang.” Akhirnya, mampir sejenak untuk melegakan pedagang. Terlihatlah buku tipis terbitan Pustaka Jaya. Buku berjudul Surat Tantangan gubahan Trim Suteja. Buku cerita anak. Aku ambil dengan memberi koin 500 rupiah berjumlah lima. Ia tersenyum mengerti leluconku. Buku murah tapi bagiku penting gara-gara mengetahui Trim Sutidja dan Soekanto SA termasuk pengarang-pengarang penting dalam babak awal Pustaka Jaya ingin memajukan bacaan anak di Indonesia, masa 1970-an.
Sepeda motor menuju SMP Negeri 1 Solo. Abad di situ ikut lomba menulis cerita pendek berbahasa Jawa. Berlanjut ke sekolah Sabda dan Bait. Siang itu berat sepanjang jalan. Di sepeda motor ringkih, ada empat manusia ditambah majalah, buku, dan meja besi yang digunakan untuk menulis saat lomba. Tas mereka pun berat.
Di sepanjang jalan, kami menikmati panas dan debu. Buku dan majalah berpindah alamat, dari Gladag menuju rumahku. Sepeda motor macet. Oh, sedih sejenak. Sepeda motor bisa hidup, lekas bergerak menuju rumah. Anak-anak turun. Buku dan majalah masih di sepeda motor. Aku melihat ban belakang. Duh, ban itu bocor lagi. Lega bisa sampai rumah. Ban itu bocor. Hidupku pun bocor.
Namun, aku dan buku masih di sepanjang (jalan) hidup. Aku yang dikutuk utang demi buku. Yang bergerak ke buku-buku belum selesai. Yang membaca buku-buku masih sering alpa. Yang menulis buku-buku menghindari pesimis. [] Kabut
Pagi itu dimulai dengan dolan ke Mushola Al Mubarokah (Tanon Lor, Gedongan, Colomadu). Ibadah subuh sejenak, ditambahi pengajian bertema utang. Tema yang berat bagi pemilik utang. Aku kadang menunduk malu ketimbang meratap. Pagi-pagi sudah berurusan utang. Sekian orang bertanya kepada penceramah. Jawaban-jawaban ringkas diberikan tapi aku sadar utang-utangku belum terjawab dengan kata atau kedipan mata.
Kesempurnaan pagi dengan sarapan bersama. Jamaah mendapat suguhan nasi liwet. Utang belum bisa diusir dari kepala saat mulut berulang dimasuki nasi liwet dan kerupuk. Utang tidak lenyap. Segelas teh diminum tapi utang terus menjadi masalah sebelum matahari terbit dan memberi sinar yang lekas panas.
Pulang ke rumah sejenak, berlanjut kumpul bareng warga untuk jalan-jalan keliling kampung. Matahari sudah pamer terang dan panas. Aku belum bisa pamer wajah semringah. Jalan-jalan dalam hitungan menit. Para warga berkumpul di depan rumah tetangga, duduk dan bercakap sambil menikmati timlo. Pagiku sarapan dua kali saat utang bertahan menjadi tema besar selama beberapa jam.
Aku ingin berganti tema mumpung Ahad, 17 September 2023. Keinginan mungkin mewujud jika dolan ke Masjid Sheikh Zayed (Solo). Aku sudah membuat janji dengan Ahmad untuk dolan bareng. Sejak awal, kita merasa punya alasan dolan ke masjid apik dan megah. Alasan terkuat adalah obrolan buku di perpustakaan yang terdapat dalam Masjid Sheikh Zayed. Ahad itu menghadirkan pemikir ampuh dari Jogjakarta yang bernama Irfan Afifi. Buku laris dan berpengaruh yang ditulisnya berjudul Saya, Jawa, dan Islam. Dulu, aku membaca dan meresensinya. Aku masih ingat isinya tapi tidak sempat mencarinya di rumah. Ribuan buku tampak berantakan dan berdebu. Aku menghindari berkeringat dan bersin untuk mencari buku.
Pada jelang 12 siang, aku dan Ahmad naik sepeda motor menuju Masjid Sheikh Zayed. Di jalan, panas dan panas dan panas dan panas. Suasana yang tidak harus dilawan selusin gelas berisi es teh. Hitungan menit saja, kami tiba di masjid: kagum dan bingung. Kagum melihat arsitekturnya. Bingung menyaksikan ribuan orang berada di sekitaran masjid. Konon, mereka mewujudkan hasrat piknik dan ibadah.
Masjid megah memiliki perpustakaan? Semula, aku meragu kebijakan mengadakan perpustakaan di masjid hasil kerja sama dua negara: Indonesia dan Uni Emirat Arab. Namun, ragu terjawab dengan adanya acara pembukaan perpustakaan. Obrolan dua buku diselenggarakan tapi aku cuma mengikuti yang hari kedua. Lega mengetahui masih ada masjid “mementingkan” perpustakaan. Di sana, kami tidak mengetahui keberadaan perpustakaan. Di mana-mana hanya melihat orang-orang. Akhirnya, petugas memberi informasi bahwa perpustakaan berada di atas. Aku tersenyum sejenak membayangkan perpustakaan di ketinggian. Benarlah bila buku-buku harus berada di tempat (ter)tinggi!
Berdua naik tangga. Sepi dan sepi. Tangga itu sepi dan terang. Tangga menuju buku-buku tak seramai di bawah: kerumunan orang berpotret. Kami belum berjanji berpotret. Di tangga, kami hanya bercakap sembarangan untuk menuju buku. Kaki-kaki ingin sampai ke buku-buku. Aku sudah membayangkan perpustakaan itu anggun, teduh, dan menakjubkan gara-gara melihat masjid yang megah.
Pintu terbuka, terlihat orang-orang di ruangan. Mereka terlihat ketimbang buku-buku. Mereka itu panitia acara. Aku sudah senang memasuki perpustakaan, terhindar dari panas dan keramaian. Di ketinggian, aku bertemu orang dan buku. Mataku lekas jelalatan. Aku agak memejamkan mata menghilangkan imajinasi tadi. Yang terjadi: aku dan Ahmad berada di ruangan kecil yang dinamakan perpustakaan. Yang terlihat: sembilan rak buku belum terisi penuh. Kepastian bahwa itu perpustakaan adalah buku-buku.
Aku segera menuju rak-rak: memanjakan mata melihat buku-buku. Tangan lekas bergerak mengambil beberapa buku, membuka sejenak, dan membaca acak. Buku-buku masih baru. Di hadapanku, buku-buku terbitan Basa Basi, Ircisod, Diva, Cantrik, Lentera Hati, dan lain-lain. Senang mengetahui buku-buku yang aku belum memiliki dan membacanya. Ada janji kelak datang lagi untuk membaca di ketinggian tanpa terkena sinar matahari.
Yang membuatku merasa tenang dan teduh: ruangan itu memiliki 30-an lampu. Warna lampu kuning yang terang. Buku-buku dalam sorotan lampu, tidak lupa mendapatkan dingin dari mesin-mesin yang terdengar lembut. Buku dan lampu, dua benda yang selama ini membuatku mudah takjub meski ada keinginan persekutuan romantis: buku dan matahari. Aku tetap meyakini matahari turut hadir bukan panasnya tapi terangnya. Ruangan itu memiliki belasan jendela berukuran besar. Aku tentu tidak mau mengartikan buku dan jendela biasa diucapkan orang-orang berlagak sebagai pembaca dan penyeru. Aku justru ingin mengaitkan buku, lampu, dan matahari saja.
Orang-orang mulai berdatangan. Mereka duduk di karpet empuk dan pastinya tidak berdebu. Menit-menit menanti kedatangan Irfan Afifi. Aku terlibat percakapan bersama teman-teman. Tema obrolan singkat tidak keruan. Aku beruntung agak terhindar dari tema utang, berganti menjadi buku. Siang di ketinggian bersama buku itu hiburan membahagiakan ketimbang minum segelas es teh dan bergaya di depan kamera.
Acara pun dimulai. Perempuan berbaju biru dan berkerudung kuning sudah mengumbar kata-kata di mikrofon. Aku mendengarnya merdu. Sosok yang telah lama aku mengenalnya: Yessita. Siang itu aku menganggapnya “perempuan berkerudung buku”. Ia memang rajin membaca buku, selain senang pergi ke pelbagai tempat dengan mengendarai sepeda onthel. Mikrofon di tangannya memastikan orang-orang bakal terlibat dalam perbincangan mengacu buku berjudul Saya, Jawa, dan Islam.
Di sampingku, ada pula “perempuan berkerudung buku”. Perannya adalah pengunjung dan penggembira. Aku kagum melihatnya yang berkerudung. Ia rajin mengunjungi tempat ibadah setiap Minggu tapi bukan masjid. Kunjungan ke masjid dengan berkerudung itu dituntun oleh buku dan perjumpaan bersama teman-teman. Kami saling berbisik, tersenyum, dan tertawa kecil. Ia tidak hanya pembaca buku tapi pengarang kondang dan membuat gerakan-gerakan keaksaraan yang berpengaruh di Solo-Indonesia.
Di samping Yessita, lelaki berbaju putih lengan panjang. Ia tidak mengenakan peci. Lelaki bernama Irfan Afifi. Aku sering melihat fotonya di media sosial. Di Masjid Sheikh Zayed, aku melihat sosoknya. Omongan yang cukup memikat mengenai pengalaman religius dan penulisan. Aku menyimaknya sambil menyantap arem-arem. Di kardus untuk para pengikut acara, isinya jajanan dan sebotol minuman. Aku menghabiskannya tanpa membutuhkan lima menit. Arem-arem membuatku “marem” mengetahui sosok dan pemikiran Irfan Afifi.
“Saya malu,” kata Irfan Afifi mengenai dirinya yang membuat tulisan-tulisan. Malu mungkin berkaitan mutu dan kesungguhan. Ia biasa menulis dengan beragam acuan dan pengalaman. Tulisan-tulisannya bersebaran, sulit diniatkan sejak awal untuk menjadi keutuhan berupa buku. Akhirnya, tulisan-tulisan bisa dijadikan buku gara-gara ditemukan pihak yang mengikat. Namun, ia berulang menolak diterbitkan menjadi buku.
Yang ia ceritakan membuatku mengangguk. Pada suatu malam, pihak penerbit mendatangi (lagi) rumah Irfan Afifi, yang publik mengetahuinya bernama Langgar. Semula, Irfan Afifi tetap akan menolak keinginan penerbit. Jawaban berubah setelah mengetahui suasana dan rasa malam. Irfan Afifi menyadari pertemuan itu saat malam yang indah, malam yang mengingatkan kelahiran Nabi Muhammad. Akhirnya, ia bermufakat buku boleh diterbitkan dimaksudkan sebagai “hadiah untuk Nabi Muhammad”. Akibatya, buku itu laris! Konon, kini sudah cetak ulang kesembilan.
“Saya menulis terus-menerus,” omongan Irfan Afifi, Yang diinginkan adalah menulis, bukanya menjadi penulis. Aku sedikit memahami maksud kalimat-kalimat yang diucapkannya. Ia ingin terus menulis tentang Jawa dan Islam meski memiliki tahun-tahun suntuk berfilsafat.
Aku mendengar omongan-omongannya sambil melihat meja yang ada di depannya. Di atas meja, ada sepiring jeruk dan sepiring kue. Botol minuman dan gelas. Yessita dan Irfan Afifi mendapat suguhan yang lezat tapi mereka harus sering omong.
Di belakang mereka, tiga jendela besar. Aku masih bisa melihat langit lewat jendela. Yang sempat membuatku takjub: di jendela sisi selatan, bagian atasnya menampilkan pemandangan yang bercerita. Burung-burung gereja terbang dan hinggap di jendela. Namanya burung gereja berkunjung dan ingin berumah di masjid. Mereka sedang menjadi arsitek. Mereka berusaha membuat sarang. Pemandangan yang menjadi selingan saat aku memandangi Yessita, Irfan Afifi, jeruk, kue, dan buku.
“Aku ingin menjadi burung yang berumah bersama buku-buku,” penggalan lamunanku. Burung-burung itu mengetahui orang-orang dalam ruangan sedang membicarakan hal-hal yang berat. Mereka mengikuti acara sambil membuat sarang tapi tidak mendapat suguhan.
Di depanku, ada lelaki yang berjaket. Ia mungkin tidak tahan dinginnya ruangan. Lelaki yang “mengganggu” penglihatanku untuk secara utuh menikmati persekutuan manusia, buku, makanan, minuman, dan buku di depan. Namun, aku malah mendapat pesan besar. Di bagian belakang jaket, aku melihat peta Indonesia yang diwarnai merah dan putih. Di bawah peta, ada tulisan: “Menulis adalah keberanian”. Aku tersenyum saja, belum berani mengangguk atau geleng-geleng kepala.
Menit-menit berlalu, acara selesai. Aku segera mendatangi meja. Misi terbesarku adalah mengambil jeruk yang “telantar” tanpa ada yang menikmatinya selama acara. Anggapanku, jeruk-jeruk mendapat “ilmu” dari omongan-omongan Irfan Afifi. Aku ingin memakannya, berharap sekalian “memakan ilmu” yang segar dan lezat. Pada saat mendatangi meja, aku bersalaman dengan Irfan Afifi dan terlibat obrolan bersama Ramdhon dan Bagus Sigit Setiawan. Misiku makan jeruk menjadi meriah kata-kata.
Sore itu membahagiakan. Di ketinggian, buku-buku telah memberi panggilan untuk berpikir dan mencipta percakapan-percakapan yang menggairahkan. Aku tentu berharap kelak bakal datang lagi untuk melihat buku-buku dan menikmati arem-arem. [] Kabut
Begitu lonceng bunyi, anak-anak menghambur ke luar. Para mama-papa yang datang menjemput, hari ini atau kapan saja, tak satu pun pernah terlihat berjalan kaki. Papa Riz menggunakan motor trail. Mama Moan pakai motor matic. Tuk yang sambil makan keripik sukun menunggu mobil warna jus buah naga. Seandainya Mama Nef mengantar-jemput Lesuika dengan kendaraan.
Apa di luar pagar gerimis lagi?—gerimis datang sejak pagi buta, saat adik bayi menangis sebab ingin menyusu namun Mama Nef belum mendengarkannya. Lesuika berdiri dekat kaktus sebelah kantor guru. Tangan dijulurkan ke depan, gerimis ternyata tidak ada. Gerimis reda sepuluh menit lalu. Dan Mama Nef, mungkin akan muncul sebentar lagi. Dengan payung ungu, dan sandal jepit yang mempermudah langkah kaki. Langkah kaki Mama Nef cepat-cepat dan berkesan tergesa tetapi Mama Nef bilang itu termasuk santai karena ke banyak tempat ia sudah sangat terbiasa berjalan kaki.
Hei, Lesuika. Cepat ke sini. Nanti adik bayi nangis.
Mama Nef sering berbicara begitu. Sepasang kaki Lesuika bergerak cepat menuju Mama Nef. Mereka harus buru-buru pulang demi adik bayi yang tidak Mama Nef bawa bila kebetulan sedang tidur.
Sekolah sepi. Guru-guru sudah tak ada. Bunyi sandal jepit Mama Nef beradu dengan jalanan tak kunjung muncul di luar pagar. Jerit suaranya juga belum. Apa adik bayi sedang sangat rewel sehingga Mama Nef perlu lebih banyak waktu untuk menidurkannya? Kadang Mama Nef berjalan keliling kompleks agar adik bayi bisa tertidur. Pernah Mama Nef menggendong adik bayi sambil berjalan-jalan setengah hari hanya karena adik bayi tidak mau dilepas.
Saat ini Lesuika semakin mengantuk dan lapar. Waktu istirahat ia memang ke kantin makan mi sop pedas campur bakwan bersama Riz dan Moan. Ia juga dapat lima lembar keripik sukun dari Tuk. Lalu permen dari temannya yang lain. Hanya saja perut Lesuika lekas-lekas sekali minta diisi makanan sebab ke sekolah berjalan kaki membuat pencernaannya ikut gesit bekerja. Ia pernah cerita kepada Mama Nef tentang perkataan gurunya, orang yang banyak bergerak metabolisme tubuhnya juga berjalan cepat, itulah mengapa ia berharap sekali bisa diantar-jemput dengan kendaraan seperti teman-temannya agar cepat tiba di rumah dan langsung duduk di meja makan, menghabiskan sepiring-dua piring nasi dengan tiga ekor ikan puyuh tanpa kepala, lalu minum teh manis dingin, lalu pisang, atau biskuit yang mungkin masih tersedia dalam kaleng Khong Guan di atas lemari.
Lesuika meninggalkan kaktus lalu bersandar di tembok kantor guru yang persis menghadap pagar sekolah. Di tembok itu ia menahan kantuk, ia tak boleh tertidur karena ditakutkan Mama Nef memanggilnya dari luar pagar sementara ia tak bisa mendengarnya. Agar tidak tertidur, ia mengambar-gambar di buku. Ia buat dirinya berada dalam boncengan Mama Nef—bagaimana postur tubuh Mama Nef saat berkendara di tengah keramaian: Tegang, menciut seperti orang kedinginan—Lesuika belum pernah lihat Mama Nef berkendara. Mama Nef pakai helm, Lesuika pakai helm. Ia suka helm warna jus buah naga seperti mobil keluarga Tuk. Tuk pernah memberikan Lesuika jus buah naga yang dibawanya dari rumah. Warnanya cantik. Rasanya enak. Seandainya ia diantar-jemput Mama Nef pakai kendaraan, pastilah ada yang Lesuika banggakan kepada teman sekolahnya. Mereka punya satu sepeda dan satu motor yang selalu terpakir di garasi. Dua benda itu bisa membawanya jalan-jalan hanya ketika papa pulang.
“Kenapa kamu tidak diantar Mama Nef pakai kendaraan?” tanya Tuk suatu hari.
Lesuika ingin bilang, namun lekas-lekas menutup mulut. Ia tak mau Mama Nef jadi olok-olokan di sekolah. Teman-temannya selalu cerita membanggakan mengenai orangtua mereka yang jago berkendara. Papa Riz muda seorang pembalap—Riz pernah memamerkan foto-foto papanya ketika berada di sirkuit. Selain antar-jemput sekolah, Moan bilang mamanya selalu memboncengnya pakai motor matic. Keliling kota. Ke dokter gigi. Ke tukang pangkas rambut. Sedangkan Tuk tak diragukan lagi. Ia anak beruntung yang hanya tinggal duduk dalam mobil ber-AC sambil makan keripik sukun lalu tanpa sadar sudah tiba depan pintu rumah.
“Bajumu juga tidak cepat-cepat bau keringat,” sambung Moan.
Di pekarangan sekolah angin menerpa dahan-dahan kaktus. Di rumah Mama Nef menepuk-nepuk bokong adik bayi. Gerimis halus-halus muncul dan melayang ke tembok kantor guru. Lesuika belum tertidur. Ia berharap Mama Nef segera muncul dengan payung ungu, sandal jepit yang mempermudah langkah kaki lalu dari luar pagar Mama Nef menjeritkan nama Lesuika.
“Kalau Mama Nef tidak bisa berkendara, kenapa tidak sewa orang antar-jemput kamu?”
Tahun lalu, ada orang yang bersedia antar-jemput Lesuika. Orang itu berhenti karena hamil dan sekarang sibuk mengurus bayi. Bila diantar tukang ojek, Mama Nef tak percaya. Ia cemas barangkali saja si tukang ojek mengiming-imingi Lesuika makanan padahal ada maksud lain di belakangnya
Lagi pula, jarak rumah ke sekolah tidak jauh. Hanya 15 menit berjalan kaki, Mama Nef mencoba membela diri dari ketidakmampuannya berkendara. Masalah Lesuika, ia malu dilihat teman-temannya selalu berjalan cepat dan tergesa. Dan hal paling tidak ia suka bajunya jadi anyir keringat padahal hari masih pagi. Tetapi kata Mama Nef lagi Lesuika tak perlu merasa minder. Berjalan kaki bagus juga untuk tubuh Lesuika yang gampang sekali bertambah gemuk.
“Lesuika!”
Payung ungu dan sepasang sandal jepit Mama Nef menyeberang ke arah sekolah. Saat itu adik bayi tidak terlihat bersama Mama Nef.
“Lesuika,” panggilnya.
Gerimis makin menggila.
“Lesuika, kamu di mana?”
“Cepatlah berlari, Lesuika!” ***
Riau, Mei 2023
Jeli Manalu senang menulis dan berkebun. Ia lahir di Padangsidimpuan pada 2 Oktober, dan saat ini tinggal di Rengat Riau. Cerpen-cerpennya terbit di media lokal dan nasional. Buku kumcernya “Kisah Sedih Sepasang Sepatu” tahun 2018 dan “Kucing Penunggu Susteran dan Cerita-cerita Lainnya” tahun 2022.
Tak ada seorang pun yang pernah mengajariku perihal bagaimana sebaiknya seseorang bercita-cita. Atau setidaknya, seingatku belum ada pula orang yang pernah memberiku sedikit penjelasan mengapa cita-cita menjadi begitu penting seperti halnya nama.
Bertahun-tahun aku mengarang cita-cita sejak pertama kali ditanya tentang hal itu, sekadar memungutnya dari siaran drama radio, selebaran film bioskop, atau bungkus pao-pao[1] bergambar superhero. Dan nyaris tak ada satupun dari cita-cita yang pernah kusebut—karena sejujurnya tak ada cita-cita yang menurutku abadi—telah aku pertimbangkan betul dalam memilihnya kecuali satu, cita-cita menjadi dukun.
Sekali waktu pernah aku nyatakan cita-citaku menjadi dukun itu saat pelajaran berlangsung di sekolah, karena guru menanyakannya. Sudah bisa kutebak, kebanyakan teman-temanku menyebutkan cita-cita menjadi dokter, tentara, polisi, atau insinyur. Tapi aneh, jawabanku malah jadi bahan tertawaan teman-teman sekelas dan juga guru. Sampai di rumah aku masih menyimpan tanda tanya besar, apa sebetulnya maksud orang menanyakan cita-cita kalau hanya dijadikan bahan olok-olok seperti itu. Aku makin tak habis pikir ketika dua hari berikutnya ibu marah besar setelah mendengar pengakuan dari guru, saat ia—tidak seperti biasa—menjemputku ke sekolah.
“Katakan, siapa yang ngajarin Jalu bilang kayak gitu!” bentaknya, setiba kami di rumah.
“Jalu tahu, dukun itu apa?” tambahnya dengan wajah memerah.
Maksud ibu mungkin bertanya, tapi aku tahu saat itu bukan waktu yang tepat untuk menanggapinya. Kurelakan daun telingaku, dua-duanya jadi korban, bergantian dijewer tangan yang biasanya lembut dan penuh kasih sayang. Ada rasa sakit yang susah hilang, tapi bukan di situ tempatnya. Aku hanya terdiam dan hampir menangis—atau sudah, aku tak ingat betul. Seketika aku merasa amat bersalah karena telah berkata jujur sehingga membuat malu keluarga, terutama ibu yang kutahu sangat kecewa.
Aku lihat perubahan wajah dan sikap ibu sejak saat itu, seakan menular ke semua anggota keluarga. Berhari-hari aku tak diajak bicara, seakan mereka begitu menyesalkan cita-cita yang telanjur kukatakan sebenarnya.
***
Ingatanku tentang kemarau yang sedang menggila, sama saja dengan ingatanku tentang kegigihan kakek meladang. Aku tahu, kakek saban hari bekerja di ladang, tanpa pernah sekali saja menunjukkan kerisauan perihal kesulitan yang dihadapinya. Selain tentang pekerjaannya sebagai petani, sering pula aku perhatikan kebiasaan kakek menolong orang lain tanpa pamrih, sekalipun ia sendiri terkadang tidak sedang baik-baik saja. Mungkin karena itu, setiap warga desa dan kebanyakan orang Jatikuwung mengenal kakek. Tidak sedikit dari mereka yang pernah mendapatkan pertolongan kakek, mulai dari mengobati orang sakit, meredakan rewel bayi atau anak kecil, menentukan titik galian sumur, menanyakan hari baik—untuk mulai tanam, bangun rumah, hingga menikahkan anak, serta mengusir dan melindungi rumah dari gangguan makhluk halus. Bahkan sudah dua pekan ini ada orang yang tiap hari mengambil jatah makan siang untuk warga yang gugur gunung membuat jembatan.
Terkait kesibukannya itu, kakek tak pernah mengeluh dan selalu siap kapan pun dibutuhkan, asalkan bisa atau memang sedang berada di rumah. Orang datang juga tak kenal waktu sekalipun kakek sedang beristirahat, bisa tengah malam atau dini hari sebelum subuh.
“Kakek hanya tak ingin, kehampaan yang mereka bawa pulang,” begitu jawabnya ketika kutanya.
Bila kakek sedang pergi ke ladang atau mengajar ngaji di langgar depan rumah, biasanya orang-orang itu rela menunggu. Karena sudah pasti kakek hanya mau melayani permintaan mereka setelah menyelesaikan pekerjaannya itu. Sebetulnya aku juga tidak terlalu yakin dengan menyebut semua itu pekerjaan. Yang aku tahu, kakek hampir-hampir tak pernah mengecewakan orang-orang yang datang. Buktinya, mereka akan selalu kembali di waktu yang lain saat membutuhkan pertolongan lagi.
“Kakeknya Mas Jalu itu dukun sakti,” terang salah satu dari mereka, ketika saking penasarannya aku bertanya-tanya perihal pekerjaan kakek.
Semenjak itulah aku mendengar sebutan dukun, meski tak pernah kuketahui sejak kapan kakekku memulai pekerjaan menolong orang itu. Yang jelas sekarang, orang yang kali pertama datang untuk menemui kakekku tak mungkin tersesat bila mereka mau bertanya ke orang-orang yang ditemuinya di jalan. Aku pun tak jarang berjumpa dengan orang yang sedang mencari rumah kakek dan tentu saja—bila tidak sedang tak ada hal mendesak—aku akan langsung mengantar mereka sampai di depan rumah. Seperti halnya sore itu, ketika seorang laki-laki muda bersepeda motor menghentikan langkahku bersama teman-teman menuju lapangan desa. Ia bertanya setelah mematikan mesinnya.
“Kalian tahu rumah orang pintar di dekat sini?”
“Orang pintar?” tanyaku heran.
“Du… du… dukun, maksud saya,” timpalnya dengan terbata-bata.
“Owalah, kalau itu tahu. Mari saya antar,” sambil kuberi isyarat kepada teman-teman untuk duluan.
“Maaf, bukan sekarang, karena saya masih ada keperluan lain.”
Sementara itu teman-temanku bergegas lari ke lapangan.
“Oh, ya sudah.”
Hampir saja aku beranjak lari menyusul teman-teman, “Boleh adik tunjukkan dulu tempatnya?” tanya lelaki itu sembari menatapku tajam.
“Itu sebelum perempatan, yang ada langgarnya.” Kutunjukkan arah menuju rumah kakek.
Lelaki itu mengangguk beberapa kali dan sejenak terlihat sedang berpikir. Lalu setelah mengucapkan terima kasih, ia malah pergi. Segera saja debu beterbangan dan asap dari knalpot menutupi pandangan. Kau pasti bisa mengerti, mengapa aku tak perlu menanyakan kapan waktunya kelak ia akan datang, seperti halnya tak perlu kita menduga-duga kepastian datangnya hujan saat kemarau panjang. Dan andai saja kakekku tahu perihal perjumpaanku dengan lelaki itu, tentu ia juga berharap kesulitan orang itu sudah bisa teratasi sebelum akhirnya benar-benar datang kembali untuk meminta tolong.
Keesokan harinya guruku memberikan pelajaran tentang macam-macam profesi. Aku baru tahu bahwa kelak jika dewasa seseorang akan bekerja sesuai profesinya. Guruku juga menambahkan, setiap pekerjaan yang bermanfaat buat banyak orang, sama baiknya untuk dijadikan profesi. Sayangnya, guru tidak menyebut profesi seperti yang dikerjakan kakek, kecuali petani tentu saja. Meski begitu aku tetap merasa bangga dengan pekerjaan kakek yang terbukti melegakan kepayahan banyak orang.
***
Mendung sejak sore tadi seolah menandakan kemarau panjang akan segera berakhir. Tidak ada tanda-tanda bahwa malam itu akan terjadi sesuatu yang kelak akan terus kuingat sampai aku dewasa. Malam sudah larut dan aku masih sempat melihat kakek sedang melayani seseorang di ruang depan, yang biasanya akan berlangsung lama. Melihat itu aku merasa tak perlu lagi memedulikan olok-olok guru dan teman-teman tempo hari sebelumnya. Siaran wayang kulit di radio membuai rasa kantukku hingga tertidur, tenggelam bersama kisah pertarungan ksatria Pandawa melawan kejahatan dan kelicikan.
Aku terbangun saat mendengar suara gaduh di depan, mengalahkan suara kemresek radio yang telah berhenti siaran. Karena merasakan sesuatu sedang tidak baik, aku segera meloncat dari amben. Mengetahui kemunculanku di ruangan depan, nenek segera menangkap serta membenamkan tubuh kecilku ke dalam dekapannya. Sempat tubuhku meronta dan entah mengapa aku pun meraung-raung, tanganku menggapai-gapai, saat melihat kepanikan di sana-sini.
Malam begitu pekat sehingga tak dapat kupastikan apa yang terjadi sebenarnya. Tak kulihat ibu, mungkin sedang bersama adik. Tubuh bapak tergeletak di depan pintu, babak bundas seperti baru saja dikeroyok dan dipukuli orang. Agak jauh dekat jalan, terlihat bayangan orang-orang berpakaian dan bertopeng hitam, sedang menghajar seonggok tubuh yang kuduga kakek. Suara petir menggelegar dan sebentar kemudian hujan benar-benar turun membungkam sunyi yang bercampur isak tangis, setelah orang-orang itu pergi membawa kakek.
Semenjak kejadian itu, aku tak pernah berjumpa kakek dan tak mau bertindak konyol hingga membuat ibu marah lagi. Tak ada orang lain—kecuali teman-temanku—yang tahu perihal pertemuanku dengan orang asing di dekat lapangan, termasuk ibu. Aku sekarang takut bercita-cita dan berharap tak ada lagi yang bertanya, karena aku tak ingin terpaksa mengarangnya. Kelak baru kutahu, ada masa di mana pekerjaan menolong orang dianggap berbahaya. ***
Ian Hasan, lahir di Ponorogo, saat ini tinggal dan bergiat di Sanggar Pamongan Karanganyar, selain juga terlibat di beberapa komunitas, termasuk Komunitas Kamar Kata. Buku Kumpulan Cerpen perdananya berjudul Lelaki yang Mendapatkan Jawaban Atas Kisahnya Sendiri, terpilih sebagai finalis Hadiah Sastra Ayu Utami untuk Pemula “Rasa” 2022.
[1] Istilah lokal yang berarti makanan kecil untuk anak-anak
Sastra dimulai dengan matahari yang meninggi. Panas yang tidak mungkin diusir dengan seribu gelas es teh. Sastra malah buku-buku di atas meja, yang terlindung di tenda tapi udara tak melegakan. Yang terjadi adalah keramaian dan suara-suara tak merdu dari panggung, yang terdapat di halaman Kantor Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Karanganyar.
Buku-buku yang ditata rapi, yang menanti tatapan pengunjung. Para pengarang yang berkumpul dalam tenda. Mereka bukan kaum yang selalu rapi. Raga-raga yang menyesaki tenda. Kebersamaan untuk terus menjadi pencerita dan mencipta kabar-kabar baik. Sejak pagi, mereka mungkin sudah mandi dan berharap tampilannya rapi. Namun, Kamis, 7 September 2023, tidak memberi janji mereka terhindar dari keringat dan bau kecut. Mereka tetap hadir dan membantah sebagai pengecut.
Aku menyapa dan bersalaman. Peristiwa di belakang kantor, di belakang birokrasi. Sastra bukan birokrasi. Konon, sastra itu setara bagi orang-orang yang ingin saling akrab, memiliki, dan mendoakan. Yang menggerakkan sastra tak memiliki seragam, jam dinas, dan gaji. Mereka di belakang kantor, membawa buku-buku dan menghadirkan kesanggupan bersastra dengan napas panjang meski gerah dan lelah.
Di situ, perjamuan disahkan dengan pisang rebus dan pisang goreng. Aku menikmatinya sambil memandangi para pengarang dan buku. Suasana yang memang harus berada di luar kantor. Mereka bisa bersama mungkin sengaja absen dari pekerjaan atau meninggalkan rumah seharian demi kepantasan sastra. Aku pun datang untuk penghormatan kepada mereka dan buku-buku.
Percakapan dan gosip yang berharap tak terdengar matahari. Suara-suara kami kalah dengan keramaian acara dinamakan Festival Literasi Kabupaten Karanganyar, yang mementingkan kotak-kotak bersuara keras dan lantang. Kami hanya bermulut untuk mengantarkan kata-kata didengar sebagai berita, keluhan, pengharapan, atau mengingatkan.
Menit-menit yang bergerak lambat ketimbang ratusan sepeda motor dan mobil lewat di jalan besar depan Kantor Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Karanganyar. Kami pun harus berpindah menuju depan, tak selamanya di belakang.
Kerumunan remaja mengenakan seragam. Mereka itu murid-murid berdatangan dari puluhan sekolah di Karanganyar. Guru-guru duduk dan memegang gawai, bertugas mendampingi murid-murid. Mereka hadir dalam merayakan keramaian, yang mungkin tak menyisakan kesan dan makna terbawa pulang. Kehadiran yang memastikan ramai, bukan keterlibatan untuk bersastra. Aku tidak terlalu kaget saat berada di halaman depan kantor. Birokrasi sedang membuktikan pengaruh dan “perintah”.
Aku bergerak dari rumah di Colomadu sengaja menghormati para pengarang dan sastra, belum ada keinginan macam-macam memikirkan kabupaten, kantor, sekolah, dan lain-lain. Aku tercatat memegang KTP Karanganyar, membuatku agak terhubung dengan acara: lazim bila harus melewati Solo agar bisa mencapai alamat acara di dekat perkantoran pemerintah, masjid, pertokoan, dan alun-alun.
Di depan kantor, yang aku saksikan kemegahan. Yang terpikirkan olehku seharusnya kesederhanaan tapi tampilan di depan kantor memberi kebingungan. Sastra di halaman. Sastra di pinggir jalan besar. Yang mengherankan, sastra di atas panggung besar.
Siang itu tiga orang berada di atas panggung: Beri Hanna, Andri Saptono, dan Rudi Agus Hartanto. Mereka memainkan peran-peran untuk pengesahan diskusi buku berjudul Pelajaran Membaca (2023). Saat di belakang, mereka hanya bermulut. Di atas panggung, setiap orang mendapatkan mikrofon.
Aku melihat dan menghitung: 6 kotak pengeras suara. Pada bagian atas, terlihat 9 lampu. Siang dengan matahari terang, mereka belum harus disorot lampu. Sastra masih bermatahari, bukan sastra dalam sorotan lampu.
Tiga lelaki duduk di kursi berwarna cerah. Mereka harus duduk agar tampak berwibawa, terhindar dari capek. Meja itu berhiaskan dua buku Pelajaran Membaca gubahan Beri. Pemandangan yang megah. Aku menontonnya dari jarak agak jauh, posisinya di bawah. Di kursi warna merah, aku memandang ketiganya dengan kekhawatiran. Mereka dalam kekuasaan mikrofon, kotak pengeras suara, dan panggung yang tinggi. Sastra bisa salah tingkah.
Kursi-kursi yang semuanya tidak terisi. Orang-orang berdatangan tidak untuk sastra. Mereka membawa pesan dari pihak-pihak yang menginginkan keramaian acara dan perpustakaan mendapat ratusan pengunjung. Siang itu sastra merasa kesepian. Karpet-karpet merah di bawah panggung telah sepi, setelah menjadi tempat duduk bagi puluhan murid saat menonton teman-temannya bernyanyi di panggung. Siang adalah hasil penjumlahan karpet dan kursi berwarna merah. Orang-orang yang berada di sana adalah kaum tabah tanpa keharusan mengisi presensi: bukti kehadiran.
Tiga orang bergantian omong. Mikrofon-mikrofon yang membuat suara mereka mendatangi kuping dengan kekuatan besar. Suara yang tidak dijamin sampai ke ratusan pasang telinga yang berseragam dan pegawai-pegawai yang berada di dalam kantor. Sastra yang bermikrofon justru mudah kesepian, terabaikan, dan sekadar menyaingi bising jalan. Aku duduk dan menikmati sambil membayangkan matahari ingin ikut duduk di kursi.
Buku memuat cerita-cerita mengenai babi, sejarah, nama, dan lain-lain. Pengarang yang didudukkan di panggung sedang mengisahkan diri dan memberi cuilan-cuilan cerita. Moderator tak lupa memberi bujukan agar orang-orang membeli buku. Pembahas berkepentingan menyatakan keunikan dan keampuhan buku. Mikrofon di tangan mereka berbeda dari peristiwa berjualan jamu di pasar atau alun-alun. Mikrofon diajak bekerja keras.
Dua buku ditata di meja. Buku di tangan pembahas. Buku di tenda terletak di belakang kantor. Berulang aku melihat Pelajaran Membaca. Aku sempat menyentuhnya saat di meja. Belum ada kemampuan membelinya. Aku datang mengajak teman dengan duit 30-an ribu di kantong celana. Janjiku nanti mau mengajaknya makan mie ayam sebagai perayaan sarapan dan makan siang.
Aku membuktikan keberadaan buku Pelajaran Membaca di belakang dan depan kantor. Apa buku itu berada di perpustakaan? Aku agak tolol membayangkan Pelajaran Membaca telah menjadi koleksi di Perpustakaan Karanganyar atau direncanakan menjadi pembelian untuk koleksi baru. Aku bakal sedih bila Pelajaran Membaca absen atau gagal masuk ke Kantor Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Karanganyar.
Pada siang makin panas, temanku datang, ikut berada di depan panggung. Ia berseragam polisi. Aku memang mengabarinya agar mengetahui ada acara perbukuan atau literasi. Kantornya tidak jauh dari tempat acara. Jadi, siang itu hari ratusan murid, guru-guru, para pengarang, dan polisi. Pemandangan yang aneh.
Panggung disepikan menandai istirahat. Aku bersama dua teman meninggalkan kantor, mencari tempat makan. Kami sampai di rumah rendah dengan tanaman yang mengepungnya. Rumah lawas yang dinyatakan sebagai angkringan. Aku menyantap dua bungkus nasi (sambal teri dan sambal bandeng), segelas teh, satu bakwan, dan dua bungkus balung kethek. Siang yang menjadi teduh di rumah rendah. Lagu-lagu keroncong dan langgam terdengar, pelan saja.
Aku malah membayangkan obrolan sastra sederhana bisa terjadi di situ. Sastra yang bakal mengakrabkan ketimbang panitia acara menaruh sastra di panggung megah. Aku mengerti para pengarang itu salah tingkah dengan pembuatan acara dan petunjuk-petunjuk panitia. Mereka mungkin bermufakat denganku jika mengadakan obrolan sastra di angkringan. Pilihan lain: acara obrolan Pelajaran Membaca diadakan di ruangan. Sastra masuk kantor, bukan di depan kantor.
Makan rampung digenapi obrolan-obrolan mengandung sejarah dan politik. Kami kembali ke Kantor Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Karanganyar. Pemandangan tetap ramai tapi murid-murid berganti. Puluhan murid dengan seragam berbeda, menggantikan rombongan sebelumnya. Puluhan murid datang lagi, seragamnya berbeda. Mereka dari beberapa sekolah. Banyak yang masuk ke kantor, beberapa ikut duduk di kursi merah “ikut” acara sastra.
Di depan, aku melihat Yuditeha, pengarang terkenal. Ia berdiri dengan mikrofon, diselingi bergerak ke sembarang arah. Ia sedang memberi cerita dan memandu agar orang-orang berkemauan menulis cerita pendek. Yudi dihadirkan sebagai “pengajar” dan pembujuk agar murid-murid berani menulis cerita. Yudi sudah mengerti murid-murid itu datang dan pergi, tak bakal menetap selama acara.
Aku tidak ikut duduk di kursi merah. Aku memilih duduk di lantai, bersandar di tiang di samping tatanan kursi. Inginku menjadi penonton sambil menikmati omongan-omongan Yudi. Yang terbayangkan memang terjadi, murid-murid meninggalkan kursi. Jatah waktu kehadiran atau durasi di acara sudah berakhir. Mereka harus mengikuti petunjuk guru untuk mengisi daftar presensi. Acara belum selesai tapi ratusan murid tetap dalam agenda datang dan pergi sesuai undangan resmi dari panitia.
Kursi-kursi kosong. Yudi mengajak beberapa murid dan teman yang bertahan berpindah ke depan. Sekian kursi ditata melingkar, bermaksud obrolan menjadi akrab. Keramaian tetap terjadi di depan kantor. Orang-orang masuk kantor. Di jalan, keramaian belum berhenti. Yudi mencipta “keramaian” bersama sedikit orang, yang membuktikan sastra itu tabah dan bergairah.
Aku agak prihatin. Pada saat menikmati omongan Yudi dan memandangi para murid, terdengar suara bertema minuman. Menit-menit yang berlalu, Yudi dengan mikrofon mengoceh tentang cerita. Ia kehausan saat matahari berada tepat di atas kantor. Yudi tidak memesan es teh. Yang diinginkan adalah air untuk melegakan dan membasahi tenggorokan. Permintaan yang lucu, yang menyindir. Datanglah panitia dengan tiga botol air. Yudi tentu tidak langsung meminum semuanya. Akibatnya bisa kembung dan omongannya berair.
Hari menjelang sore. Aku pun harus pergi meninggalkan Kantor Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Karanganyar. Tugas rutin menjemput anak-anak di sekolah. Pukul tiga sore, aku menuju sekolah anak-anak. Di sana, aku duduk dengan para penjemput. Duduk yang disahkan buku berjudul ABC Karang-Mengarang susunan Poerwardarminta di tangan. Buku lawas tapi cukup lezat.
Pada saat membaca halaman demi halaman, Yudi mungkin belum rampung mengantar orang-orang bergerak dalam cerita pendek. Di sana, yang datang dan pergi menjadi sastra makin salah tingkah. Aku pun salah tingkah untuk mengerti sastra, kantor, siang, mikrofon, pisang, dan lain-lain. Aku pulang bersama anak-anak, berharap selamat sampai rumah dan berlanjut mencuci pakaian kotor. [] Kabut
dan udara dingin hanya sanggup menggantung di kusen jendela
lalu menyelinap ke pahaku
lalu ke telingamu
september dan bulan-bulan di matamu
sudah terlalu gelap
aku sedang lupa
pada warna bola matamu
pada garis bibir
pada merk rokok kesukaanmu
pada coklat
pada schubert
pada sepenuhnya
dan pada
udara dingin di sekitarmu
meski tanganku
belum juga fasih meraba kehilangan
meraba ketiadaan
mataku penuh bulan-bulan abu
yang menetas jadi kepedihan
sementara kau sudah terbang jauh dari kepalaku
ke luar angkasa
ke luar aku
ke luar bulan
di ruang terjauh di tubuhmu
yang tak ada kita
kau sedang apa?
2023
Death Ceremony
1
o kekasih hati yang tak pernah kuberi nama
kau bisa pergi hari ini
dari napas
dan denyut nadi
sebab maut sangat erat di tanganku
menggantikan genggamanmu
sebab maut sangat dekat
di bawah kulitku
mencium dadaku sebagai kekasih yang baru
hingga aku sangat lekat
dan tak pernah ingin lepas
aku takut kau cemburu
2
di depan matamu aku ingin meleleh,
menjadi ketiadaan
sementara dalam kekosongan itu
aku masih bisa melihatmu
bersedih dan
memeluk lutut
3
hey, kau seperti anak kecil
yang kehilangan mainan
sini aku ajari cara bermain
kuberi tangan kiri yang gemetar
dan tangan kanan yang keibuan
serta kedua pahaku yang pucat tapi hangat
kau betah tidur di sana, kan?
4
kau bilang
lebih baik jadi ibu
dari pada jadi tuhan
dalam pelukan ibu
kau tidak akan diberi dua pilihan
ke sorga atau ke neraka
dalam pelukanku
kau bisa nakal seperti anak kecil
yang minta susu
2023
Ruang Kosong
ada yang berdarah di mataku
ketika aku sampai pada satu halaman
yang hitam
sementara teh mulai dingin
aku terpejam
membiarkan angin pagi merasuk ke tubuhku seperti iblis yang dibenci
lalu aku dibawa pada satu lelaki
dia pernah mencium leherku ketika masih bayi
tiba-tiba kepalaku sakit luar biasa
aku terbangun kemudian
di sebuah ruang kosong berupa pelukan seseorang yang tak punya wajah
aku boleh menangis, katanya
sebab ia telah siapkan seluruh kekosongannya untuk aku penuhi
tapi aku tak punya apa pun untuk diberi
2023
Pertunjukan Malam
setiap malam tubuhku jadi dua
satu mayat satu bayi punya sayap
tapi bahkan tidak tahu cara bergerak dan beranjak
aku merawat mereka dengan penderitaan yang–
tumbuh di kepalaku
seperti rambut seseorang yang wangi roti panggang keju
seseorang itu yang suka alice in wanderland
yang wajahnya pucat dan beku
setelah aku bercerita tentang
mayat dan bayi
yang–
tak perlu kuberi makan
selain susu yang berubah jadi darah
dan napas
yang menetes dari punggung tuhan
yang
gelap tapi gemerlap
lalu segalanya lenyap;
tubuh dan waktu
2023
Pengantar Tidur
tuhan menjaga jariku yang gemetar
setiap malam setelah
lagu-lagu lullaby
berdenging dan berdengung
dari sebuah telepon genggam
lalu tubuhku retak
lantah jadi seribu pecahan
mengubur roda waktu yang
terus bergerak ke depan
setelah itu
aku lupa wujud tubuhku
dan kehidupan
tak bisa lagi kuraba
2023
Galuh Ayara, suka menulis cerpen dan puisi. Karya-karyanya dimuat di beberapa media. Menulis dua buku; ‘Nyanyian Origami’ (2020) dan ‘Pohon Insomnia’ (2023).
Puisi semacam pertaruhan bahasa melalui kata-kata yang dituangkan oleh pembuatnya. Berapa banyak dari kita berasumsi bahwa puisi harus begini dan begitu. Dengan kata lain puisi seperti dibebani dengan beban moral untuk memberikan dampak sosio-kultural.
Saya tidak mencoba mendebatkan hal itu di sini, melainkan berusaha membawanya untuk melihat lanskap berbeda yang kerap diabaikan oleh laju modernitas. Di mana di realitas yang bergerak cepat ini, puisi seringnya didapati jauh dari wilayah penuh hingar-bingar tepuk tangan, dari panggung lampu sorot. Dan itu justru tidak apa-apa. Sebab puisi tidak mengharuskan itu dan tidak melulu tentang itu.
Bagi saya sendiri puisi seperti wilayah khusus dan terpencil dalam arus pinggir realitas. Kita membutuhkan itu, ruang privat sebagai dunia alternatif yang terus hilir-mudik di antara ketegangan imajinasi, pengalaman dan realitas. Ada semacam ikhtiar menerjemahkan kembali tentang hasrat mengalami wilayah asing tersebut, di mana gerak itu nantinya melambat sebelum akhirnya menjadi jeda entah pendek atau panjang dalam ruang ketenangan.
Sebuah cara melihat kembali dunia lewat kata-kata dengan bahasa itu sendiri sebagai pertaruhan. Dan puisi, bagi saya sendiri adalah pertaruhan hidup dalam realitas yang kita huni ini.