Belakang

1922: DUNIA DAN BAHASA

Sejak masa kolonial, anak-anak perlahan mendapat cerita yang berdatangan dari pelbagai negeri. Mereka ada berkat kedahsyatan mesin cetak, yang menghasilkan buku-buku cerita. Yang paling menyenangkan bila mereka menikmati cerita-cerita asing, yang biasanya disebut sebagai cerita terkenal di dunia atau tarafnya internasional. Maka, terjadilah penerjemahan dan penyaduran beragam cerita dari Eropa dan Amerika Serikat.

Pihak penerbit dan percetakan sudah berhitung untung-rugi bila berani menyediakan buku-buku cerita yang bersumber dari sastra dunia. Yang bikin gemas, kita kesulitan menemukan buku-buku terjemahan atau saduran dari masa kolonial. Beberapa buku ada di pasar tapi harganya mahal, yang dipengaruhi nafsu para kolektor. Apakah kita bakal mendapat jatah untuk bertemu dan memiliki buku-buku lawas, yang mengungkap bacaan anak dan remaja berlatar masa kolonial?

Sulit mencari buku-buku berusia seratusan tahun. Kita pun hanya mendapat sedikit keterangan tentang penerbit, nama penerjemah atau penyadur, distribusi, dan lain-lain. Artinya, sejarah sastra masa kolonial menyisakan banyak misteri. Kapan tampil para peneliti dan kesaksian para kolektor agar kita tetap memiliki buku dan masa lalu?

Yang berhasil ditemukan dalam kondisi rusak adalah novel berjudul 2000 Mil Di Dalem Laoet gubahan Jules Verne. Sampulnya masih ada tapi gambar tidak jelas. Jilidan jelek meski tidak ada halaman yang hilang. Penampilan dari depan sebenarnya memikat. Gambar di sampul sudah beragam warna. Mata kita belum beruntung untuk melihatnya dengan kekaguman. Bayangkan sampul itu terlihat oleh para pembaca masa lalu. Mata mereka mungkin tidak berkedip selama tiga menit. Siapa yang membuat gambar di sampul? Pastinya orang asing.

Keterangan yang terperoleh di halaman-halaman awal: “Tertjaritakan di dalem bahasa Melajoe renda oleh WNJG Claasz. Nama yang sangat tidak mungkin disandang bumiputra. Kita pastikan lagi nama itu milik orang asal Eropa atau kelahiran di tanah jajahan dengan sebutan “Indo”.

Buku yang apik itu dicetak di GCT Van Dorp & Co (Semarang-Soerabaia-Bandoeng). Perhatikan tahun kemunculan buku Jules Verne di tanah jajahan! Tercantum tahun 1922. Jadi, kita jangan selalu mengingat masa 1920-an melulu novel-novel terbitan dan selera Balai Poestaka. Ada kubu pembaca yang lain, terlena oleh cerita yang digubah Jules Verne tapi terberikan kepada para pembaca di tanah kolonial melalui bahasa Melayu. Kita menduga itu percampuran penerjemahan dan penceritaan ulang. Apa mungkin sah disebut saduran saja?

Keberuntungan memegang kertas lawas dan mengetahui bau yang aneh ternyata menyisakan “kecewa”. Yang ada di tangan adalah bagian kedua. Di mana bagian pertama? Kita yang membaca wajib membayangkan cerita di bagian awal. Tangan membuka halaman-halaman sambil bersyukur bahwa air tidak menghancurkan buku. Yang tampak adalah kertas-kerta yang pernah terkena air. Kita malah berimajinasi jenis dan rupa air yang pernah mengenai kertas-kertas dari seratusan tahun yang lalu. Kertas itu bertahan. Air hanya menyentuhnya tanpa punya maksud menghancurkan menjadi bubur.

Berapa tangan yang pernah bersentuhan atau memegang buku yang dibuat Jules Verne? Apakah yang membacanya hanya bumiputra yang terdidik bisa berbahasa Melayu? Bagaimana bahasa Melayu dalam kerja penerjemahan atau penceritaan ulang untuk sastra yang datang berbahasa Belanda, Inggris, atau Prancis? Pertanyaan terus bertambah tapi jawaban belum tentu ada.

Kita mengutip beberapa contoh bahasa Melayu yang aneh: “Saknalika itoe kita mengomong sama Ned-Land dan Koenraad. Sabentaran Ned-Land menoedjoek dengen tangannja sarta bertanjak…” Yang sehari-hari berbahasa Jawa mengetahui “saknalika”. Apa kita semestinya menuliskan itu “seketika” agar bisa dimengerti para pembaca tak paham bahasa Jawa. Ingat, buku terbit dalam bahasa Melayu rendah.

Yang bingung menghadapi kalimat: “Na, soedahlah Toean mendinger kita poenja kahendakan, si Koen tiada bolih teranggep orang sebab tiada mempoenja timbangan akan dianja, mangka sekarang kita minta toean goeroe ampoenja timbanhan hal kahendakankoe akan tjari djalaran bisanja minggat dari Nautilus.” Kita menduga “djalaran” itu “sebab”. Yang berani membaca buku sudah berusia seratus tahan adalah orang yang tabah dan boleh menyediakan Bodrex saat tiba-tiba pusing atau marah-marah menghadapi bahasa dari masa 1920-an.

Bagi yang kelelahan membaca cerita dan linglung dalam bahasa Melayu rendah, nikmatilah ilustrasi-ilustrasi yang ada dalam buku. Ada belasan ilustrasi yang cakep. Siapa yang membuat? Nama ilustrator tidak tercantum di buku.

Gambar yang banyak mengartikan biaya cetak tidak murah. Yang ada di kertas bukan hanya huruf-huruf. Ilustrasi itu menjadikan buku tampak mewah. Artinya harga buku pasti mahal. Yang sanggup membeli buku tahu faedah cerita dan kebanggaan terhubung imajinasi global yang dirayakan banyak orang di pelbagai negeri.

Cerita yang dibaca mengantar pembaca menuju dunia yang lain. Ia menyadari sedang berada di tanah jajahan tapi cerita yang membuatnya bergerak sangat jauh. Imajinasi memberi sedikit pembebasan sekaligus ketagihan.

Pada masa berbeda, orang-orang membaca cerita-cerita gubahan Jules Verne melalui terjemahan Mahbub Djunaidi dan Nh Dini. Mengapa dua pengarang terkenal itu mau menerjemahkan buku-buku Jules Verne? Konon, Mahbub Djunaidi memiliki pamrih mendapatkan nafkah dari bekerja sebagai penerjemah. Kita belum mengetahui alasan pasti Nh Dini menerjemahkan Jules Verne. Dugaan saja ia membuktikan kemampuan sebagai penerjemah meski orang-orang mengetahui ia terpuji dalam penerjemahan Sampar gubahan Albert Camus dan cerita-cerita anak berbahasa Prancis.

Bahasa yang digunakan dua pengarang itu sudah bernama bahasa Indonesia. Mereka diyakini mahir dalam penerjemahan meski tetap memerlukan membuka kamus-kamus. Pada saat hasil terjemahan terbit, para pembaca dapat membuat kenikmatan tandingan atau pelengkap dengan menonton film-film yang dibuat dari novel-novel gubahan Jules Verne. Pengalaman baca yang sangat berbeda dari masa 1920-an.

Kita kembali melihat buku lawas yang pantas menjadi sumber obrolan mengenai sastra terjemahan awal abad XX. Bahasa masa lalu tetap memberi pesona selain kita berpikiran mutu terjemahan dan situasi perkembangan sastra “modern” di tanah jajahan. Kutipan yang penting dipikirkan sebelum tidur mendapat mimpi buruk: “Srenta ampir djam poekoel 10 semangkin geter kita poenja ati dan sabentar sabentar kita ingetan hendak tjari pada kapitein Nemo akan membilangken kahendakankoe tetapi sjoekoer tiada kedjadian, mangka sasoedahnja bertjakep kita boeka dingen pelan itoe pintoe jang teroesan ka kamar boekoe akan troos kaloewar di kamar soewaranja argone dan kapitien Nemo berada di sitoe tetapi dia tiada meliat pada kita mangka kita berdjalan plahan djangan sampe dia meliat.”

Pembaca yang sabar dapat mengerti deretan kata dari penerjemah atau penyadur. Sabar yang tidak menghasilkan pengertian utuh, tetap saja ada kata-kata yang bikin tertawa dan menimbulkan capek. Berapa jam diperlukan untuk khatam buku berisi 186 halaman? Yang mau membaca boleh mengaku sedang membuat peristiwa yang sia-sia. Pembaca yang kembali ke masa lalu tapi sebentar gara-gara tidak betah dan lelah.

____________________

Kabut. Penjual buku bekas dan pengrajin kliping.

Samping

JEJAK JALAN PULANG

Ada orang yang tampak seperti benteng. Tegak, tenang, dan selalu punya jawaban untuk setiap pertanyaan hidup orang lain. Mereka bisa menafsirkan rumus rumit, membaca arah bintang, atau menulis teori yang membuat dunia bertepuk tangan. Tapi ketika malam datang dan cermin memantulkan wajah sendiri, tiba-tiba semua pengetahuan itu hilang daya. Segala hal yang dikuasainya ternyata tidak cukup untuk menenangkan badai kecil dalam dada.

Kita sering melihat mereka tersenyum di ruang kerja, tampil percaya diri di panggung, atau bercanda dengan lincah di tengah keramaian. Tapi senyum itu sering kali seperti cat tipis yang menutupi tembok retak. Mereka pandai menghibur orang lain, padahal setiap tawa adalah bentuk paling lembut dari perlawanan terhadap sepi yang terus menguntit. Ironinya, yang paling tampak kuat justru sering paling takut jatuh, sebab mereka tahu: kalau mereka roboh, tak ada siapa pun sanggup menampung reruntuhannya.

Ada yang menyembunyikan luka dengan bekerja tanpa henti, seperti ingin menenggelamkan diri dalam jadwal padat agar tak sempat memikirkan rasa sakit. Ada yang menertawakan segalanya, bukan karena bahagia, tapi karena tawa adalah senjata terakhir sebelum air mata. Ada pula yang tampak dingin dan logis, padahal itu hanya cara bertahan supaya tak perlu merasakan apa pun. Orang menyebut kekuatan mental. Padahal kadang itu cuma nama lain dari lelah yang dipoles rapi.

Kita hidup di zaman yang memuja ketangguhan. Semua orang ingin terlihat kuat, produktif, dan rasional. Kita memotret diri dengan caption bijak, menulis status seolah sudah menaklukkan hidup, padahal yang kita taklukkan baru topeng kita sendiri. Kita melatih otak untuk berpikir cepat, tapi lupa melatih hati untuk merasa pelan. Kita bisa memecahkan algoritma rumit, tapi tak bisa menjelaskan kenapa dada terasa sesak saat melihat orang yang pernah menyakiti kita tampak baik-baik saja.

Mungkin itulah bentuk ironi paling halus dari manusia modern: terlalu cerdas untuk dunia, tapi terlalu kikuk untuk diri sendiri. Kita bisa menjelaskan teori gravitasi, tapi tak tahu bagaimana caranya melepaskan seseorang. Kita hafal cara kerja semesta, tapi tak paham kenapa kehilangan bisa membuat napas terasa terhenti.

Beberapa luka memang tak perlu dramatis. Kadang hanya berupa kalimat tak pernah diucapkan, pelukan yang ditahan terlalu lama, atau kehadiran yang tiba-tiba hilang tanpa pamit. Dan orang-orang pandai itu tahu: tak ada rumus yang bisa menyembuhkan kehilangan, karena rasa sakit tidak tunduk pada logika. Ia hanya bisa ditanggung, dipeluk, atau jika sudah terlalu berat ditertawakan seadanya.

Ada yang mencoba menulis, berpikir dengan pena dan tinta, mengubah duka menjadi diksi. Mereka tak tahu apakah itu penyembuhan atau pelarian. Tapi setidaknya, dengan menulis, mereka masih bisa berdialog dengan diri sendiri tanpa harus terlihat lemah di mata dunia. Sebab di dunia nyata, terlihat rapuh sering dianggap cacat karakter, padahal justru di situlah letak kemanusiaan paling murni.

Lucunya, kita semua tahu kebenaran itu, tapi tetap berpura-pura tidak tahu. Kita saling memberi nasihat untuk ikhlas, move on, positive thinking, seolah hati adalah mesin yang bisa diatur dengan tombol. Padahal di balik semua motivasi itu, banyak di antara kita sedang menahan napas agar tidak pecah di tempat umum. Kita sibuk menolong orang lain yang menangis, sambil diam-diam menunggu ada seseorang yang mau menolong kita juga.

Kita bisa mengurai benang kusut, tapi benang kusut di dalam hati sendiri dibiarkan saja hingga nyesek. Kisah seperti ini ada di mana-mana. Kisah tentang trauma yang memilih untuk diam, bersembunyi di balik tawa renyah, di balik kecerdasan, atau bahkan di balik sikap arogan yang seolah tak tersentuh.

Tentu saja masalah ini juga banyak dikisahkah (di film), salah satunya Good Will Hunting (1997). Sebuah perjalanan ke dalam labirin pikiran seorang jenius yang tersesat, Will yang diperankan oleh Matt Damon. Bukan tersesat di hutan belantara, melainkan di dalam dirinya sendiri. Film ini dengan lugas menunjukkan bahwa seorang individu bisa memiliki IQ setinggi langit, mampu memecahkan persamaan paling rumit, namun pada saat itu, ia tak berdaya di hadapan luka batin yang mengakar dari masa lalu. Ia membangun tembok arogansi, kecurigaan, dan sikap defensif untuk melindungi dirinya dari kemungkinan luka baru. Dia menolak kebaikan, meremehkan orang lain, dan menyabotase hubungannya sendiri. Hal ini bukan karena ia jahat, melainkan karena ia takut.

Seorang tukang bersih-bersih di universitas paling bergengsi di dunia, bisa memecahkan soal matematika terumit, soal yang membuat para profesornya nyaris frustrasi, tapi tak punya keberanian untuk memecahkan persoalan paling sederhana: hidupnya sendiri. Hal seperti ini sesungguhnya bukan cuma kisah Will Hunting, tapi juga kisah kita semua. Trauma masa lalu membuatnya secara otomatis melihat setiap niat baik sebagai ancaman. Ini adalah mekanisme umum terkait pertahanan diri, di mana otak, sebagai upaya untuk melindungi kita dari rasa sakit, membuat kita menjauh dari apa pun.

​Di sinilah peran penting Dr. Sean Maguire muncul. Ia bukan hanya seorang terapis, melainkan representasi dari pendekatan holistik dalam penyembuhan. Sean tidak mencoba memecahkan Will seperti soal matematika. Ia tidak menggunakan teori buku teks untuk menyembuhkan Will. Sebaliknya, ia menggunakan empati, kejujuran, dan paling krusial, rasa kemanusiaan yang setara. Ia tahu betul bahwa hidup tidak bisa dipelajari dari buku-buku tebal, melainkan harus dirasakan. Momen krusial di film, saat Sean mengatakan, It’s not your fault, adalah manifestasi dari pemahaman bahwa penyembuhan tidak selalu datang dari analisis, tetapi dari pengakuan dan penerimaan. Kalimat sederhana itu memutus lingkaran rasa bersalah yang telah mengikat Will selama ini.

​Ada sebuah sindiran tajam dari Dr. Sean kepada Will, yang selama ini hanya membaca buku dan tak pernah benar-benar hidup. Will, yang tahu banyak tentang teori seni, politik, bahkan perang, disamakan dengan seorang turis yang hanya melihat pemandangan dari balik jendela mobil. Ia bisa menjelaskan lukisan karya Michelangelo, tapi ia tak tahu rasanya jatuh cinta, rasanya mencium aroma rambut kekasih, atau rasa sakit saat hati hancur berantakan. Ini adalah sebuah satir menohok tentang betapa kita sering kali hanya menjadi penonton dalam hidup kita sendiri. Kita terlampau sibuk mengumpulkan pengetahuan yang tercerai-berai, hingga lupa bahwa pengalaman, perasaan, dan keberanian untuk hidup apa adanya adalah ilmu paling berharga.

​Film ini juga dengan indah menggarisbawahi makna persahabatan yang tulus. Persahabatan antara Will dan Chuckie, yang diperankan apik oleh Ben Affleck, adalah potret persahabatan yang tulus tanpa pamrih. Ketika Chuckie mengucapkan harapannya agar Will pergi dan tidak lagi menunggunya setiap pagi, itu adalah sebuah pernyataan cinta yang paling tulus. Cinta yang tidak egois. Ia rela kehilangan sahabatnya demi melihat Will terbang tinggi, mewujudkan potensi yang selama ini ia sembunyikan. Itu adalah sebuah satir menohok, bahwa sering kali, orang-orang yang paling mencintai kita justru adalah mereka yang rela melepaskan kita pergi.

​Good Will Hunting mengajarkan satu hal paling penting: kebahagiaan sejati tidak datang dari penguasaan teori-teori rumit, tapi dari keberanian untuk menguasai diri sendiri. Kita tidak bisa terus-menerus hidup dalam bayangan masa lalu yang menyakitkan. Ada saatnya kita harus berani menghadapi trauma, membuka diri, dan menyadari bahwa di balik semua luka, kita tetap berharga dan layak untuk dicintai. Kita boleh saja jatuh, kita boleh saja merasa bersalah, tapi kita tidak boleh membiarkan diri kita terus-menerus terkurung oleh kesalahan yang bahkan mungkin bukan kesalahan kita. Film ini adalah pengingat yang begitu indah dan jenaka, bahwa hidup bukan sekadar kumpulan rumus yang harus dipecahkan, tapi sebuah perjalanan untuk menemukan diri, yang sering kali, dimulai dengan satu langkah sederhana: menerima kenyataan bahwa kita manusia, dan tak apa-apa jika terluka.

Barangkali hidup memang selalu menawarkan ruang-ruang ganjil seperti itu. Tempat di mana yang tampak tangguh sedang berjuang mati-matian agar tidak remuk. Tempat di mana orang paling cerdas justru terjebak dalam labirin pikirannya sendiri. Tempat di mana kita semua sedang berusaha pulang, meski lupa di mana alamatnya.

Pulang, bukan ke rumah, bukan ke seseorang, tapi ke dalam diri sendiri yang dulu pernah sederhana: yang bisa tertawa tanpa alasan, menangis tanpa malu, mencintai tanpa takut kehilangan. Pulang ke masa ketika kita belum perlu pura-pura kuat hanya supaya dunia tidak khawatir.

Mungkin itu sebabnya luka-luka yang disembunyikan tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya berubah bentuk: menjadi kerja keras, menjadi prestasi, menjadi tawa yang terlalu keras, menjadi kepandaian yang mengagumkan. Semua itu hanyalah cara kita mencari ketenangan.

Dan barangkali, sesekali kita perlu melihat dari samping, menyadari bahwa menjadi kuat bukan berarti tidak pernah rapuh, tapi berani mengakui bahwa kita memang sedang retak, dan tetap melangkah dengan retakan itu. Karena dari sana cahaya biasanya masuk, pelan-pelan, tak terduga. Sebuah cahaya kecil yang menuntun kita, diam-diam, menuju jejak jalan pulang.

____________________

Yuditeha. Penulis dan penyanyi puisi.

Ragam

SELEMBAR MERAH DAN SETUMPUK BUKU

Yang teringat adalah The Lord of the Rings itu film? Kaum yang getol membaca meyakinkan itu buku. Di Indonesia, penonton filmnya bisa melebihi satu juta. Namun, jumlah pembaca tetap di hitungan ribuan. Bagi yang berduit membeli novel yang diterjemahkan dalam bahasa Indinesia dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama itu kepuasan. Buku yang berukuran besar dan tebal. Gambar di sampulnya sering berganti menyesuaikan selera yang dipengaruhi film atau perayaan kesilaman dan kekinian. Buku yang laris.

Apakah novel itu awalan JRR Tolkien mendapat penggemar (fanatik) di Indonesia? Nama pengarang yang kharismatik, berpengaruh besar dalam gubahan-gubahan sastra di dunia, dari masa ke masa.

Rabu, 1 Oktober 2025, anggapan berubah oleh mata dan tangan. Mataku melihat buku berukuran kecil. Gambar di sampul sangat memikat. Gambar yang representatif untuk pembaca masa lalu di Indonesia. Yang menggambar adalah Setyo S. Gambar yang dibuat disesuaikan untuk pembaca di Indonesia. Buku itu berjudul Petani Penakluk Naga (1980) gubahan JRR Tolkien. Bukti bahwa pengarang dunia sudah digemari di Indonesia sejak masa 1980-an.

Mataku melihat seperempat percaya. Benarkah itu novel gubahan JRR Tolkien yang awal diterjemahkan dalam bahasa Indonesia? Tanganku memegang agak tergesa, membuka halaman-halamannya demi mengetahui nama penerjemah dan tahun terbit. Yang terbaca memang penerjemah (Anton Adiwiyoto), bukan penyadur. Buku-buku dari masa lalu agak menjebak gara-gara penerjemahan utuh atau saduran.

Pada mulanya, buku itu dibeli dan dimiliki oleh Himi Nureni, Jakarta, 4 Mei 1981. Pengesahannya adalah tanda tangan bertinta hitam. Aku memegang buku yang usianya hampir sama denganku, yang mau 45 tahun. Buku terbit beberapa bulan sebelum aku lahir, yang belum ditakdirkan sebagai pembaca. Yang lahir memberi tangis, bukan mengucap kata-kata. Pada saat aku belum bisa berkata, banyak orang membaca Petani Penakluk Naga. Para pembaca yang mendapat cerita bermutu. Bukunya tipis, tidak mengharuskan membacanya selama 12 hari.

Aku bertemu buku JRR Tolkein terbitan Gramedia di pasar buku bekas yang beralamat di Gladag (Solo). Aku tidak segera menanyakan harga kepada pedagang. Yang menegangkan adalah mengeluarkan semua buku dari karung, cepat memilih sebelum menjadi rebutan para pembeli.

Siang yang gerah tapi aku cekatan menumpuk beberapa buku. Tanganku memegang novel berjudul Berkeliling Dunia di Bawah Laut (1977) gubahan Jules Verne. Yang menerbitkan edisi terjemahan bahasa Indonesia adalah Gramedia. Mengapa penerbit itu berhasil menyuguhkan novel-novel bermutu kepada para pembaca yang berusia anak dan remaja? Dulu, aku mengetahui buku terbitan Enigma yang berjudul 20.000 Mil di Bawah Lautan gubahan Jules Verne. Yang menerjemahkan adalah Nh Dini. Judul apa yang mula-mula muncul di Indonesia dalam terjemahan yang utuh, bukan saduran? Jules Verne, pengarang tenar di dunia, yang buku-buku sudah diterjemahkan dalam puluhan bahasa.

Yang menerjemahkan Berkeliling Dunia di Bawah Laut adalah Agus Setiadi. Penerjemah ulung yang terjamin mutunya. Agus Setiadi itu bapaknya Hilmar Farid. Aku sebenarnya sudah cukup mendapat dua novel terbitan Gramedia. Kedatanganku ke Gladag membawa selembar merah. Niatnya membeli sedikit buku saja agar aku masih merasa berduit. Apakah membeli dua buku saja?

Di depanku, buku-buku yang dikeluarkan dari karung masih ada beberapa yang menggiurkan. Siang semestinya memberi pesan agar aku menahan nafsu buku. Di hitungan detik setelah semua buku berserakan, aku putuskan bakal menghabiskan selembar merah. Aku harus menukar merah dengan buku-buku bermutu. Jangan ada keraguan dan penyesalan!

Dua buku mencantumkan nama Enid Blyton di tanganku. Sekali lagi, buku-buku itu diterbitkan oleh Gramedia. Maka, sastra (anak) dunia berdatangan ke Indonesia gara-gara Gramedia. Aku memastikan dua buku yang berjudul Tiga Anak Nakal (1996) dan Rag, Tag, dan Bobtail (1996) masuk dalam koleksi, terbaca sebagai penghormatan atas cerita-cerita yang menghampiri jutaan pembaca di dunia.

 Aku merasa Rabu terberkati. Buktinya mataku melihat buku-buku yang bagus. Adanya buku-buku itu membuat mata yang mengantuk segera terbuka dalam sukacita. Yang didapat adalah buku-buku Astrid Lindgren, yang semuanya diterbitkan Gramedia. Bayanganku penerbit itu berkuasa dalam penerbitan buku-buku anak dan remaja selama beberapa dekade, terutama buku-buku terjemahan.

Para penggemar di Indonesia dipuaskan oleh keseriusan Gramedia menerbitkan beberapa judul dari Astrid Lindgren. Yang berhasil dibeli: Pippi Si Kaus Kaki Panjang, Musim Ceri di Bullerbyn, Detektif Ulung Blomkvist, Ronya Anak Penyamun, dan Kami Anak-Anak Bullerbyn. Sejak awal, niatku membeli untuk dijual kembali. Aku sudah mengoleksi judul-judul itu di rumah. Pilihannya: menjual dengan harga murah atau mahal.

Jika dihitung mungkin jumlah penggemar atau pembaca buku-buku Astrid Lindgren di Indonesia mencapai ribuan orang. Mereka yang terhibur sekaligus belajar kehidupan anak-anak di negeri jauh, yang sulit dicari persamaan-persamaannya dengan anak-anak di Indonesia. Jadi, katalog yang dibuat Gramedia memastikan Astrid Lindgren sebagai pengarang yang ikut menabur subur imajinasi di Indonesia. Pengarang pujaan yang mengalahkan pengarang-pengarang Indonesia, yang buku-bukunya juga diterbitkan oleh Gramedia.

Setiap melihat tampilan buku-buku Gramedia, mata menemukan keistimewaan dalam penentuan ukuran, penggunaan kertas, permainan warna, dan gambar di sampul. Gramedia berani menghadirkan buku-buku ciamik, yang (matang) diperhitungkan untuk betah berada di tangan anak, remaja, dan orangtua. Buku-buku yang menghuni kamar atau rumah dinyatakan sebagai koleksi.

Duitku yang selembar merah bertukar dengan buku-buku yang dulu disantap anak dan remaja di Indonesia masa lalu. Mereka ada yang mampu membeli dan berhak mencantumkan nama atau tanda tangan. Mereka bisa membaca di taman baca atau perpustakaan, yang memunculkan predikat sebagai penyewa atau peminjam. Rabu itu buku-buku dari masa lalu menjadi milikku dalam jangka waktu sebentar atau lama.

Apakah disengaja Gramedia memihak penerbitan buku-buku terjemahan? Aku bisa menjawab: pasti. Penerbit itu yang mengantarkan anak dan remaja terhubung bacaan selera dunia. Mereka membaca buku-buku yang dinikmati oleh anak dan remaja di Prancis, Inggris, Jerman, Denmark, Amerika Serikat, Swiss, dan lain-lain. Bedanya adalah penerbitan edisi terjemahan di Indonesia biasanya terlambat. Yang aku belum tahu adalah pengurusan hak cipta penerjemahan dalam bahasa Indonesia. Pada masa 1970-an dan 1980-an, masalah itu belum terlalu diributkan oleh pihak-pihak dalam bisnis buku atau pengamat bacaan taraf dunia di Indonesia.

Perbedaan sangat tampak saat aku mengambil dua buku terbitan Pustaka Jaya. Aku agak ragu untuk membeli dua buku yang tampangnya tidak menarik. Yang terpegang tanganku: Petualangan Si Nekad (1978) gubahan Paul Jaques Bonzon. Buku yang awalnya terbit dalam bahasa Prancis. Datang ke Indonesia melalui penerjemahan oleh Ida Sundari Hoesen.

Setahuku, penerjemah itu teruji melalui belasan buku yang sudah terbit. Pekerjaan utamanya adalah pengajar di Universitas Indonesia. Namun, ketekunannya menerjemahkan buku-buku berbahasa Prancis agar terbaca di Indonesia mengukuhkannya sebagai penerjemah ulung. Peran terbesarnya adalah mengakrabkan kita dengan kesusastraan Prancis. Jadi, para pembaca buku yang sering jengkel dan sering mengejek mutu buku terjemahan bahasa Indonesia abad XXI bisa membaca semua hasil terjemahan yang dilakukan oleh Ida Sundari Hoesen. Ia tidak harus melakukan penerjemahan melalui edisi bahasa Inggris. Pilihan yang terhormat adalah menerjemahkan dari bahasa asal (Prancis).

Yang terakhir, buku yang berada dalam pegangan tanganku berjudul Dongeng-Dongeng Rusia. Nama yang dicantumkan di sampul buku adalah Adisubroto. Aku menduga buku itu bukan terjemahan. Buktinya, nama yang di sampul khas digunakan orang Indonesia, bukan nama yang lumrah untuk orang Rusia. Maka, aku lekas membukanya. Keterangan di halaman awal dalam buku terbitan Pustaka Jaya: “Diceritakan kembali.” Pustaka anak itu disajikan agar pengetahuan mengenai sastra brtumbuh di Rusia diketahui para pembaca di Indonesia. Padahal, sastra Rusia pernah ikut dalam gegeran sastra-politik masa 1950-an dan 1960-an di Indonesia. Terbitnya dongeng-dongeng dari Rusia mengartikan hubungan dua negara (Indonesia dan Rusia) akrab setelah malapetaka 1965.

Akhirnya, selembar merah bertukar setumpuk buku yang semestinya dibaca oleh anak dan remaja. Pada siang itu peranku adalah penemu dan pembeli, yang berhak memasalahkan lanjutan peran untuk menjadi pedagang buku bekas, pembaca, atau kolektor. [] Durjana

Cerpen

Surogentho

Cerpen Era Ari Astanto

Angin malam menyusup lewat celah-celah jendela jati yang kecokelatan. Pelita kecil di sudut ruangan meliuk seperti gadis kampung yang mabuk asmara. Demang Surogentho terbaring di atas amben. Tangannya gemetar seperti mencuri sisa kekuatan dari batang tubuh yang beberapa purnama tidak bisa berdiri. Tubuh dan wajahnya bengkak-bengkak. Perutnya membuncit ganjil, seperti menyimpan rahasianya yang siapa pun tak boleh mengetahui kecuali keluarganya.

Di sebelahnya, istrinya duduk memegangi piring tembikar. Ada segenggam nasi dingin dan dua potong tempe goreng di dalamnya. Ia tidak segera menyodorkan makanan itu. Hanya menatapnya, lantas mendesah pelan. “Aku mimpi aneh tadi sore,” ia berkata nyaris seperti gumaman. “Ada ular menyusup ke ranjang ini. Kepalanya dua. Yang satu menangis. Yang satu tertawa.”

Surogentho tidak menjawab. Alisnya bertaut, seperti teringat sesuatu. Ia menoleh perlahan ke arah istrinya, lalu muntah darah ke mangkuk tembikar bekas bubur yang ia makan tadi.

“Kalau aku mati sekarang, Genthi bisa kululusi jadi dalang,” katanya dengan suara parau, seolah sedang menyampaikan amanat di mimbar yang sepi.

“Lho, kenapa dalang?” istrinya mengernyit.

“Karena hidupnya sudah kubentuk seperti wayang. Sekarang saatnya ia menjadi dalang. Aku tinggal rebah. Dan ia tinggal menggerakkan tangannya.”

Hening. Angin berembus. Pelita bergoyang liar.

Istrinya menoleh ke arah pintu. “Rasanya, suara ayam jantan barusan itu… mirip suara Kenthus yang mati seminggu lalu.”

Surogentho berdehem, tak hendak mengomentari tentang Kenthus, ayamnya yang telah mati, “Kalau ayam bisa reinkarnasi aku harap aku jadi tikus. Tikus got yang punya kerajaan sendiri di balik lubang comberan. Bisa mengerat apa pun yang ingin aku kerat. Tentu, seperti tikus, yang paling kusuka adalah pergi ke wilayah orang-orang miskin. Mereka sangat menguntungkan dan empuk.”

Istrinya terkekeh kecil, lalu berhenti. Ketawanya seperti tertahan di kerongkongan, seolah malu keluar karena sudah terlalu sering mendengar kebodohan manusia.

“Jangan bercanda, Kang,” ia diam sebentar, menimbang, “Tapi maaf, Kang, badanmu seperti ada bau bangkai.”

Surogentho justru tersenyum lebar. “Itu tanda-tanda alami. Sudah mirip kematian, kan?” Ia menatap langit-langit rumah yang di beberapa bagian terdapat sarang laba-laba. “Tapi kenapa belum mati juga, ya? Apa mati juga harus menunggu tanda tangan Wedana?”

***

Demang Surogentho melihat dirinya hanya memiliki dua pilihan: menang di pengadilan Kawedanan atau mati secara alami. Ia mengulang kalimat itu dalam hati. Menggumamkannya bagai mantra yang justru menggelisahkannya. Pilihan pertama lebih enak didengar, lebih mulia diucapkan, dan tentu lebih menjanjikan untuk keluarganya. Tapi, itu mengandung satu syarat kecil yang rasanya setara dengan menjaring angin: membuktikan bahwa ia telah menyetorkan pajak sesuai ketentuan.

Bukti. Sebuah kata yang terdengar gagah dalam sesorah para pamong praja. Sayangnya, tak satu pun bukti yang ia miliki berbentuk hitam di atas putih. Kawedanan, selama sepuluh tahun, hanya menerima sebagian dari setoran pajak. Ia tahu sebabnya, karena ia sendiri yang mengatur cara-caranya agar tampak wajar: warga kademangan sedang gagal panen, musim kering, longsor, tikus, serangan wereng, dan alasan musiman lainnya. Semua disusun rapi, bahkan dilampiri tanda tangan pamong desa yang siap pasang badan asal diberi sedikit beras atau amplop tipis.

Tapi suatu hari, langit berubah arah. Kawedanan datang tanpa aba-aba. Dipimpin langsung sang Wedana. Mereka memeriksa. Mereka bertanya langsung ke warga. Dan warga yang polos, atau mungkin telah muak dengan demang mereka, menjawab jujur: mereka selalu bayar pajak sesuai ketentuan. Tanpa potongan. Tanpa pengurangan. Bahkan, kadang mereka menambah dari kantong sendiri sebagai bentuk maaf dan terima kasih.

Dari situ, bola menggelinding. Kawedanan mengendus perkara lain: bantuan irigasi yang tak jadi aliran, perbaikan jalan yang cuma sepanjang 100 depa dan berhenti di depan rumah kepala jagabaya, bantuan benih yang dibagi hanya pada keluarga pamong. Warga diam. Dulu. Sekarang tidak.

Kuping dan mata Kawedanan memerah. Surat tuntutan resmi dikirim. Demang Surogentho harus membayar semua pajak yang tidak disetorkan selama sepuluh tahun. Ditambah denda sebesar sepuluh tahun pajak pula. Totalnya tak terbayangkan. Bila dibayar, rumahnya akan ludes, sawahnya pindah tangan, dan anak-anaknya akan diundang sebagai contoh dalam ceramah korupsi di balai desa.

Ia duduk diam di serambi malam itu, merenung sambil mengaduk teh tanpa gula. Jika hanya mati, urusan selesai. Tapi mati bunuh diri justru membuka pintu tuntutan bagi ahli warisnya. Kawedanan cukup pintar membuat peraturan: hanya kematian alami yang menghapus segala tuntutan.

“Tapi, mati secara alami, bagaimana caranya?” gumamnya. Tak ada jawaban.

Ia pernah membicarakan ini dengan istrinya. Perempuan itu hanya menatapnya seperti menatap benih yang gabug. Lalu berkata pelan, “Kalau harus memilih, Kang, aku ingin kau tetap hidup dan anak-anak tetap sejahtera.”

Ia mengangguk, meski tubuhnya menolak harapan itu. Kata-kata istrinya bukan keputusan, hanya pengingat tentang dunia yang memang ia inginkan selama ini.

Sang istri bercerita, suara pelan seolah menguji bisik angin, “Kau ingat Demang Blengsek, Kang? Ia sakit saat menghadapi tuntutan serupa. Tapi ia tetap hadir di sidang. Ia terjatuh, pingsan, lalu mati tiga hari kemudian. Kasus pun ditutup. Anak-anaknya hidup baik sampai sekarang.”

Demang Surogentho menatap istrinya. Ia tak bertanya, tak menyanggah. Hanya sunyi.

***

Warung wedangan Randa Sainem selalu ramai. Wedang jahe gepuknya memang bikin kangen, ditambah lagi karena rasa gosip di warung itu lebih gurih daripada sate keong.

Beberapa warga duduk di tikar pandan. Sambil menyesap jahe gepuk, mereka menyesap kabar burung dan kabar angin. Lalu mengulumnya seperti gulali.

“Aku dengar dari adikku tadi sore yang berkunjung ke rumahku, Demang Surogentho pergi ke Mbah Lugut Rawe di lereng Merapi. Adikku tidak tahu untuk apa demang ke sana.” kata salah seorang dari mereka dengan suara rendah yang justru menarik perhatian.

“Mbah Lugut Rawe, dukun santet itu?”

“Iya. Tapi tidak tahu untuk apa.”

“Mungkinkah untuk menyantet Wedana?”

“Atau menyantet kita semua karena tidak membelanya?”

“Menyantet siapa pun, tetap saja konyol. Tak bisa menghapus fakta.”

“Fakta bahwa kita membayar pajak penuh, tapi tak tahu uang itu ke mana?”

“Bagaimana kita bisa mengaku tidak membayar pajak penuh selama sepuluh tahun, itu sama saja membelanya. Percuma kita selama ini rajin membayar pajak penuh.”

“Benar. jika kita mengaku, maka pajak kita akan dinaikkan dua kali lipat selama sepuluh tahun ke depan. kau mau?”

“Tentu saja tidak. pajak yang ini saja tidak jelas untuk apa kok. Tapi, untuk apa dia ke Mbah Lugut?”

“Tentu tidak. Pajak yang sekarang saja seperti menyuap nasib. Tapi… kenapa dia ke Mbah Lugut?”

Tak ada jawaban. Tapi semua sepakat: Demang harus bertanggung jawab. Mati tak cukup. Lari lebih buruk.

***

Kabar perihal tubuh Demang Surogentho yang mulai berubah bentuk seperti gabus direndam air dengan cepat menyebar. Dan benar, semua yang datang menyaksikan tubuh demang mereka bengkak. Kulit di beberapa bagian tubuhnya mengelupas. Sesekali muntah darah.

Berbagai tangapan bermunculan. Ada warga menanggapi itu sebagai karma. Ada yang menduga itu hanya rekayasa agar bebas dari tuntutan kasusnya. Ada yang merasa kasihan tapi menyayangkan, “Demi anak tidak kehilangan harta yang telah ia tilep, ia rela membuat dirinya sakit dan perlahan mati agar tampak secara alami.”

Namun, ada juga yang berdoa. “Semoga ia sembuh.”

“Sembuh? Kau mulia atau gila? Jangan-jangan kau ikut mencicipi harta itu?”

“Pikirkan baik-baik. Jika dia mati saat sakit begitu, kekurangan pajak kita selama sepuluh tahun terakhir menjadi tanggungan kita. Bahkan, kita harus menanggung pajak dua kali lipat besarnya selama sepuluh tahun ke depan.”

Yang lain manggut-manggut. “Kau benar. Jika dia sehat dan membayar Kawedanan, kita aman.”

Senyum aneh menggantung di bibir mereka.

***

Setahun lewat. Sakitnya tak bertambah, tak juga sembuh. Seperti wayang rusak yang dibiarkan tergantung di sudut pendapa. Tak dibuang, tapi tak dipakai.

Kawedanan tak bisa bergerak. Hukum menganga, menunggu kematian atau kesembuhan.

Di dalam rumah, keheningan terasa seperti jaring laba-laba. Lengket dan mengurung.

Surogenthi, anak sulungnya, memasuki rumah dengan wajah lesu seperti tanah merah yang kerontang.

“Bagaimana, Genthi? Apa kata Mbah Lugut Rawe?” tanya ibunya.

Surogenthi menarik napas panjang, seperti menyimpan dua kabar sekaligus.

“Mbah Lugut sudah meninggal. Dua pekan lalu.”

Ibunya terdiam. Lama.

Dari atas amben, suara serak lirih meluncur.

“Artinya apa?

Genthi menatap lantai. Lalu menjawab pelan, “Kita harus mengobatkan Bapak.”

“Tidak,” sahut Demang, dengan napas yang seperti dicuri, tersengal, “Itu artinya keluar banyak biaya. Aku ingin segera mati… tapi yang seperti alami. Hanya dengan begitu harta kalian akan aman.”

Surogenthi dan ibunya saling pandang, terseret ke dalam hening yang mencekat.

____________________

Era Ari Astanto. Penyuka bika ambon ini lahir di Boyolali. Saat ini bekerja di sebuah penerbitan buku pelajaran di Solo dan aktif di MYF Randhu Jembagar Boyolali.

Belakang

DIBUJUK BAHAGIA

Dulu, seorang remaja ketagihan membaca buku-buku gubahan Kahlis Gibran. Ia membaca berulang kali buku yang edisi terjemahan bahasa Indonesia: Cinta, Keindahan, Kesunyian yang diterbitkan Bentang. Pada mulanya, ia bosan dengan hidup. Halaman-halaman di buku itu perlahan membuatnya betah hidup. Yang diyakininya: “Hidup itu kalimat-kalimat yang puitis.” Saat lemah dan puyeng, ia lekas membaca lagi kutipan-kutipan puitis dari Kahlil Gibran. Pada hari yang berbeda, ia lelah dengan yang puitis-puitis. Maka, berpisahlah dirinya dengan buku-buku Kahlil Gibran.

Hidupnya masih amburadul. Ia mengalami gagal, kalah, dan sesat. Di tangannya, ada buku yang dipersembahkan Albert Camus. Remaja itu lekas khatam novel berjudul Sampar. Akhirnya, ia percaya bahwa hidup itu brengsek. Manusia menderita tidak habis-habisnya. Yang diperlukannya adalah kalimat-kalimat filosofis, yang membuatnya masih sadar bahwa hidup tidak terlalu sia-sia. Ia meragu manusia bisa bahagia. Albert Camus telah mengajarinya melalui buku-buku mengenai hidup yang tidak mudah dipatenkan dengan bahagia. Masa remaja berlalu, ia malah bernafsu buku-buku, yang makin membuatnya sulit bahagia.

Pada hari yang tidak dipesan, ia yang menua bertemu buku berjudul Hidup Bahagia susunan M Natsir dan Nasroen AS. Buku yang tidak bersampul, terbitan Van Hoeve, Bandung. Terduga buku terbit masa 1950-an. Pada saat Indonesia sedang ribut demokrasi dan gencar berteriak revolusi, ada dua orang yang mengingatkan agar terpenuhi hasrat bahagia. Buku itu bukan selera Soekarno, Sutan Sjahrir, Njoto, dan lain-lain. Para tokoh penting itu pastinya membaca buku-buku berat untuk “tanding ideologi” di arus sejarah Indonesia.

Natsir dan Nasroen memang menyusun buku bukan untuk bacaan dewasa. Yang dinyatakan: “… edisi ketjil ini dimaksudkan djadi batjaan murid-murid kelas tinggi sekolah rakjat dan madrasa ibtidaijah. Tetapi dapat djuga pada kelas permulaan sekolah-sekolah landjutan pertama.” Buku yang sepantasnya dinikmati remaja. Yang membaca memiliki imbuhan imajinasi saat melihat belasan foto (lama) yang hitam-putih saja. Dua intelektual besar mampu menulis buku yang disantap kaum remaja. Buku itu diharuskan sederhana dan mengesankan, berbeda dari adanya buku-buku pelajaran atau buku-buku merayakan khotbah. Kaum remaja diajak berpikir hidup yang bahagia, bukan hidup yang bopeng, rusak, kotor, dan ruwet.

Di situ, ada cerita mengenai tokoh yang kehilangan bapak, ibu, dan adik pada masa pendudukan balatentara Jepang. “Aku kehilangan akal, kemana hendak pergi,” pengakuannya. Nasib tidak dapat ditebak dan masa depannya samar. Yang terjadi adalah kebaikan: “Untunglah Njonja Go, tetangga kami, kasihan akan daku. Aku dipungutnja dan dibawanja kemana pergi. Suaminja meninggal pula dan ia tidak mempunjai anak. Setelah perang selesai, Njonja Go pulang ke Tiongkok. Aku dibawanja. Di Hongkong, aku dimasukkannja ke sekolah Inggeris. Geli hatiku karena disana namaku ditukar djadi Charles Chang Ie Ming. Enam tahun aku di Hongkong. Setahun sebelum peladjaranku tamat, Njonja Go meninggal pula. Sedih hatiku berulang kembali. Sjukur djugalah karena dapat aku menjelesaikan peladjaran sampai aku memperoleh idjazah di sekolah Inggeris itu. Kemudian atas pertolongan Perwakilan Republik Indonesia di Hongkong, dapatlah aku pulang ke Tanah Air kembali.” Kisah yang mengharukan. Pembaca sudah menemukan arti bahagia? Tokoh kembali ke Indonesia sudah merdeka dan berdaulat. Ia telah melewatkan tahun-tahun penentuan sejarah.

Akhirnya, ia harus mengenali lagi Tanah Air dalam tatapan remaja. Ia tinggal di desa, belum ada keinginan membentuk masa depan di kota. Pengamatannya mengenai peristiwa-peristiwa di hari Minggu: “Orang-orang pergi ke bioskop atau ke taman bunga untuk istirahat. Hari Minggu, pergi keluar kota, menikmati udara dan alam pegunungan. Kami orang desa tak perlu sengadja menikmati alam pegunungan pada hari Minggu. Begitu pula tak ada hasrat orang desa pergi ke taman bunga. Memang di desa tak ada taman bunga, jang sengadja dibuat untuk tempat berkepas lelah. Bioskop pun tak ada pula. Tapi engkau djangan salah kira. Pada orang desa ada pula kelebihan-kelebihan jang tak dirasai orang kota. Kami puas melihat padi menguning emas, anugerah dari Tuhan jang Mahakuasa atas djerih pajah kami. Kami puas melajani anak-anak berebutan nasi dan lauk pauk sambil bersila diatas rumput permadani hidjau jang lembut itu. Air kali beriak-riak ketjil seakan-akan ikut tersenjum bahagia bersama kami.”

Bahagia berada di desa. Pada masa 1950-an, banyak orang yang berpikiran jika ingin berhasil dan bahagia maka memilih hidup di kota. Mereka bekerja mendapat uang banyak. Bahagia diraih dengan mengunjungi tempat-tempat hiburan. Mereka yang bahagia di kota berhak menyandang sebagai manusia modern. Tokoh dalam buku susunan Natsir dan Nasroen mengingatkan bahwa desa itu sumber bahagia. Namun, Indonesia sedang bergolak, yang mengakibatkan pendefinisian desa adalah tertinggal, tradisional, miskin, dan sengsara.

Yang turut disajikan berkaitan perubahan-perubahan besar di Indoensia adalah buku. Kita mengikuti cerita dan penjelasan: “Pernah dikatakan orang bahwa buku adalah sekolah tinggi pada abad XX ini. memang banjak orang jang mendjadi madju dan terkenal dalam masjarakat karena menambah ilmunja dengan buku-buku.” Di Indonesia, jumlah buku terus bertambah. Para pembaca pun bertambah setelah pemajuan pendidikan dan pemberantasan buta huruf oleh rezim Soekarno. Buku menentukan perkembangan ilmu sekaligus mengajak orang-orang bisa bahagia.

Kita malah meragukan buku adalah sumber bahagia. Pada masa 1990-an sampai sekarang, toko buku dan pasar buku bekas disesaki oleh ratusan judul buku yang bertema bahagia. Buku-buku terjemahan dari Eropa dan Amerika Serikat memberi tuntunan atau petunjuk agar orang-orang bisa meraih bahagia. Buku-buku itu dipelajari orang-orang Indonesia yang mudah iri dengan kebahagiaan orang-orang di pelbagai negeri asing. Bermunculan juga buku-buku bertema bahagia yang berdasarkan ajaran-ajaran agama. Buku-buku itu laris. Yang membaca dan mempelajarinya beralasan demi iman dan perwujudan bahagia. Pada abad XXI, bahagia itu masih tema terbesar. Buktinya, ratusan judul buku di Indonesia terbit bercap Stoik. Buku-buku jenis itu laris dan dirayakan di media sosial oleh para pendamba bahagia.

Remaja yang dulunya membaca buku-buku Kahlil Gibran dan Albert Camus akhirnya membukan halaman-halaman buku yang berjudul Setiap Hari Stoik (2022) susunan Ryan Holiday dan Stephen Hanselman. Buku itu dibaca sambil merem dan melek. Buku yang penuh petuah bijak. Buku bergelimang renungan. Yang ingin membaca masalah bahagia dipastikan menemukan di banyak halaman.

Namun, ia akhirnya bernostalgia saja dengan membaca buku berjudul Hidup Bahagia susunan Natsir dan Nasroen. Ia ingin mengetahui gagasan bahasa pernah disampaikan melalui buku-buku yang dianjurkan menjadi bacaan anak dan remaja. Pada masa lalu, anak dan remaja dibujuk bahagia ketimbang remuk dan brengsek saat Indonesia ingin mulia selama-lamanya.

____________________

Kabut. Penjual buku bekas dan pengrajin kliping.

Katalog

Luka dari Orang Terdekat

Cerita-cerita yang menyadarkan kita bahwa luka terdalam sering kali datang dari orang yang kita sayang. Bagaimana sebuah kerapuhan kepercayaan dan iri bisa merusak segalanya. Meski hati bisa memaafkan, namun sebuah pengkhianatan akan meninggalkan bekas yang mungkin tak bisa hilang sepenuhnya. Selain itu cerita-cerita ini dapat sebagai pengingat tentang pentingnya integritas diri. (Yuditeha)

Penulis: Winarni Kenconowati

Cetakan: Pertama, Tahun 2025

Penerbit Nomina Ide Karya

120 halaman; 13 x 19 cm

ISBN:

Harga: Rp 50.000,-

Info Pemesanan: 085219927484

Samping

JEJAK ALIH FUNGSI

Tengoklah ke sekeliling, di kamar atau ruang kerjamu. Ada berapa banyak benda yang tidak digunakan sebagaimana mestinya? Berapa banyak buku hanya jadi hiasan, berapa banyak pulpen sekadar untuk mengganjal pintu, atau berapa banyak kursi difungsikan sebagai gantungan baju? Ini bukan soal kemalasan, tapi soal cara kita, mendefinisikan ulang makna sebuah benda.

​Kita hidup di antara ironi. Sesuatu diciptakan dengan fungsi spesifik, dengan desain yang matang dan tujuan jelas, namun tak jarang kita alih fungsikan sesuai kehendak dan kebutuhan paling remeh. Ambil contoh, sepasang sepatu mahal yang dibeli dengan penuh harap, tapi berakhir sebagai alas kaki untuk menyiram tanaman di pekarangan. Nilai estetika dan fungsinya menjadi luntur, tergantikan oleh kebutuhan pragmatis, jauh dari tujuan aslinya. Sepatu itu tak lagi tentang berjalan jauh atau bergaya, melainkan tentang menghindari tanah becek. Bukankah ini sedikit menyedihkan sekaligus menggelitik? Ada semacam satir di sana: kita memuliakan benda, namun di waktu bersamaan kita merendahkannya.

​Perilaku ini, jika diurai lebih dalam, bukan sekadar soal malas atau tidak rapi. Ada semacam refleksi filosofis di dalamnya. Manusia, dalam perjalanannya, sering kali menciptakan sistem dan aturan sendiri, namun juga tak henti-hentinya mencari celah untuk membengkokkan aturan itu. Menggunakan benda di luar fungsinya adalah pernyataan perasaan dari pemberontakan tersebut. Ini penekanan halus bahwa kita, punya kuasa lebih besar dari sang pembuat. Kita tidak hanya mengonsumsi, tapi juga mendefinisikan ulang. Di situlah letak jenakanya. Senyum kecil muncul saat kita melihat sebuah sendok dipakai untuk membuka tutup botol, atau sebuah remot TV dijadikan alat pemijat jari. Ini bukti bahwa kreativitas, dalam bentuk paling sederhana, selalu menemukan jalannya.

​Di dunia fiksi pun banyak terjadi hal seperti itu. Dalam konteks novela Rumah Kertas, karya Carlos Maria Dominguez,alih fungsi buku melampaui sekadar ironi. Ini pernyataan politis tentang cara pengetahuan dapat ditundukkan dan dimanipulasi. Buku, seharusnya menjadi alat pembebasan pikiran, malah diubah menjadi alat penindasan fisik. Pengetahuan, seharusnya terbuka, kini menjadi penghalang hingga mengisolasi karakter dari dunia luar. Contoh ini menunjukkan bagaimana hal-hal paling fundamental dalam hidup—pengetahuan—bisa jadi tidak diakses sebagaimana mestinya, justru oleh wujud fisiknya sendiri. Ironi di sini bukan lagi sekadar menggelitik, melainkan tajam dan menyakitkan, menggambarkan bagaimana sumber kebenaran bisa menjadi penjara bagi pemiliknya.

​Menggunakan benda di luar fungsinya adalah seni adaptasi tak disengaja. Wujud nyata dari kreativitas naluriah untuk menolak batasan, menunjukkan bahwa manusia makhluk sangat fleksibel. Tindakan-tindakan ini tidak lahir dari perencanaan matang, melainkan dari kebutuhan mendesak, mendorong otak kita untuk berpikir di luar kotak. Fenomena ini juga menyiratkan tentang ekonomi emosional dari sebuah benda. Saat kita mengalihfungsikan benda sering kali memiliki nilai sentimental atau sudah usang. Kita memberi mereka kehidupan kedua, sebuah kesempatan untuk tetap berguna, meskipun dalam bentuk berbeda. Ini bukti bahwa hubungan kita dengan benda tidak hanya fungsional, tetapi juga emosional dan historis.

​Perilaku ini semacam refleksi dari sifat pragmatis manusia tak pernah padam. Kita tidak selalu butuh alat sempurna; kita hanya butuh solusi yang berhasil. Sebuah botol minuman dipakai untuk penumbuk bumbu, atau sebuah peniti menjadi alat pembuka kemasan, adalah manifestasi dari prinsip apa pun yang ada di tangan. Ini pelajaran sederhana namun mendalam: bahwa kebahagiaan dan efisiensi seringkali tidak datang dari kesempurnaan, melainkan dari kemampuan kita untuk memanfaatkan apa yang kita miliki. Dalam ketidaksesuaian itu, kita menemukan kebebasan, humor, dan yang paling penting solusi.

​Kembali ke hidup sehari-hari, hal remeh berbicara banyak tentang cara kita menjalani hidup di era digital. Kita punya smartphone canggih, tapi hanya kita gunakan untuk bermain gim atau sekadar menggulir media sosial. Kita punya aplikasi catatan, tapi lebih sering kita pakai untuk membuat daftar belanjaan yang tak pernah kita beli. Kemajuan teknologi seringkali tidak kita gunakan untuk memberdayakan diri, melainkan untuk melarikan diri dari realitas.

​Namun, di balik semua ironi, ada juga keindahan. Hal itu bukti adaptasi, bukti kreativitas, dan bukti bahwa hidup tidak selalu harus kaku dan sesuai aturan. Esensi dari menulis, yang relevan dengan zaman, adalah menangkap momen-momen remeh itu dan mengungkapkannya dengan kejernihan.

​Menulis bukan lagi soal menggurui, melainkan soal menyajikan sebuah cermin. Cermin yang memantulkan perilaku kita, kebiasaan kita, dan ironi-ironi kecil yang kita ciptakan sendiri. Tulisan bagus adalah yang bisa membuka mata tanpa terasa menghakimi. Mengungkap hal-hal menggelitik, seperti sepasang sepatu menjadi alas menyiram tanaman, atau sebuah pulpen untuk mengganjal pintu, agar kita tersadar: bahwa dalam hal remeh, kita sering menemukan esensi paling hakiki dari kehidupan itu sendiri.

​Maka, inilah perlunya sesekali melihat sesuatu dari samping. Mungkin makna sebuah benda bukan apa yang diciptakan untuknya, melainkan apa yang kita lakukan dengannya. Dan terkadang, ironi adalah semacam cara untuk memahami kebenaran. Jadi, saat melihat pulpenmu dijadikan untuk mengganjal pintu, tersenyumlah. Ada kisah lebih dalam dari sekadar fungsi. Ada sebuah ironi kecil yang menawan.

___________________

Yuditeha. Penulis dan penyanyi puisi.

Ragam

BUKU, DEBU, KERINGAT

Subuh yang tidak memberi dingin. Beberapa hari yang lalu, dingin berkuasa atas malam, dini hari, dan pagi. Aku pun ikhlas berkeringat akibat tak bercumbu dengan kipas angin dan mesin pendingin udara. Aku hanya percaya angin yang masuk lewat pintu dan jendela, Angin yang tidak membawa pesan-pesan gaib dari langit.

Jumat, 26 September 2025, aku makin berkeringat setelah subuhan. Yang dilakukan adalah menggerakkan tubuh untuk buku dan debu. Aku harus merapikan rumah. Ribuan buku yang berserakan ditumpuk sembarangan, ditaruh di pinggiran. Keinginan agar ada ruang luas untuk duduk banyak orang.

Siksa terbesar adalah debu dan kotoran yang bersama buku-buku. Pagi dimerdukan suara burung dan ayam. Aku merusaknya gara-gara bersin yang keras dan cempreng. Padahal, jam-jam sebelum aku pulang ke rumah menjelang 12 malam, aku pun sudah bersin-bersin di gedung olahraga, tempat aku menyapu dan mengepel demi mendapat rezeki.

Pagi itu bersin menyiksa bersumber buku dan debu. Aku sebenarnya marah dan menyesal telah lama menelantarkan ribuan buku di rumah. Kutukan diberikan padaku melalui buku-buku. Aku telah khianat atau ingkar. Buktinya, buku-buku itu morat-marit. Beberapa buku terkena air hujan. Ada buku-buku yang tampak bekas dikerikiti tikus-tikus. Pemandangan yang buruk. Semua terjadi seolah menjadi perbuatan dosa. Akulah yang mendosakan diri gara-gara buku. Kutukan belum habis.

Pada saat menumpuk dan mengangkat buku berpindah tempat, aku melihat lagi buku-buku yang selama ini aku ingin baca ulang atau semestinya menjadi dagangan di media sosial. Buku-buku yang telah bersamaku belasan tahun, lama tidak mendapat sentuhan dan tatapan mata. Aku tak lagi mendoakan mereka. Aku lupa bersenandung bersama buku-buku agar arwah para pengarang tidak dihajar sedih dan nestapa. Setengah tahun lebih, aku seperti pengkhianat besar atau sosok munafik terhadap buku-buku. Setelah subuhan, tubuhku dipaksa bersama lagi buku dan debu. Aku yakin bakal keok dan berduka.

Pukul 8 pagi, orang-orang berdatangan, memarkir sepeda motor di pinggir jalan dan pekarangan. Tubuhku sudah lelah dan pikiran tak keruan. Aku minta mereka menata sepeda motor secara rapi. mengajk mereka masuk rumah. Tikar dan karpet sudah aku gelar meski tampak sesak terhimpit rak dan tumpukan buku.

Aku biarkan belasan orang di rumah. Yang aku lakukan adalah mencuci pakaian sambil bersenandung pelan. Lelahku harus diselamatkan oleh air dan lagu-lagu picisan. Pagi itu matahari menyengat. Yang diam dan bergerak bakal berkeringat. Mencuci sedikit menghindarkan sumuk.

Di ruangan yang bau buku dan debu, aku bercerita di hadapan 30-an mahasiswa. Mereka tampak bingung dan ragu mendengar kata-kata yang terucap. Aku malah melihat ada mahasiswa yang memperbaiki matanya. Maksudku, ia menggunakan alat untuk merapikan bulu matanya. Ada pula yang mengeluarkan cermin untuk memastikan wajah masih cantik. Bedak di tangan. Mataku melihat kesibukan-kesibukan yang aneh saat mereka berada dalam kepungan buku.

Aku khawatir mereka bakal pingsan dan mampus. Maka, aku berseru agar tangan mereka jangan menyentuh buku. Bersin! Aku peringatkan agar mereka jangan mengotori tangan dan bersin. Di sela aku berbagi cerita mengenai tulisan dan manusia, aku menyempatkan memberi nasihat tidak bijak: “Jangan terlalu dekat buku-buku! Berdoalah agar besok wajahmu tidak jerawatan! Konon, debu mengakibatkan jerawat.” Mereka tampak tersenyum tidak ikhlas.

Beberapa mahasiswa tampak memiliki keinginan besar mengetahui apa-apa yang terucap mulutku. Menyimak! Mereka pun berani membaca kalimat-kalimat yang ditulis di kertas. Para mahasiswa yang tidak takut debu, tabah dalam bersin, dan yakin tidak jerawatan berhak mendapat hadiah. Beberapa novel aku berikan kepada yang membuat tulisan dan membacakan di ruangan terkutuk ribuan buku. Dua jam berlalu, mereka pun pergi. Aku tergeletak di atas tikar sambil menanti panggilan dari masjid untuk sholat dua rekaat. Siang pun melelahkan.

Malam aku dijanjikan menikmati lelah. Di gedung olah raga, menepati janji menjadi tukang sapu dan mengepel. Malam itu ada jadwal “Kubu Kleco” bermain badminton di lapangan utara, mulai pukul 8 malam. Aku mengenal mereka sejak lama. Beberapa kali mereka menikmati Jumat malam disahkan kerkeringat, berteriak, dan saling ejek dalam lakon bulutangkis.

Dua orang tampak “sombong”. Malam yang seharusnya sehat berkeringat malah dinodai batang-batang rokok yang menyala. Mereka memang perokok yang tidak mau cuti. Yang menimbulkan kepastian mereka sombong adalah buku. Satu orang menikmati kopi dan rokok. Di tangannya, aku melihat ia memegang mesra buku berjudul Istanbul garapan Orhan Pamuk. Aku sebenarnya ingin mengingatkannya bahwa Orhan Pamuk bukan pemain bulutangkis. Orhan Pamuk itu pengarang yang membuatku cemburu setinggi tujuh lagit. Aku yang membaca novel-novel dan esai-esainya merasa “dihinakan” di jurang kebodohan dan kepicikan.

Mengapa ia membaca Istanbul saat Jumat masih meminta keringat? Dugaanku saja, ia mungkin bakal mencari beasiswa untuk melanjutkan studi ke Turki. Ia tidak ingin terpuruk di Solo tanpa jaminan mendapat kekasih dan bisa makan bebek goreng sebulan sekali. Minggat ke negeri asing bisa menjadi penyelamatan. Benarlah bila ia mau khatan Istanbul yang ditulis Orhan Pamuk secara puitis.

Satu lagi lelaki yang melepas kaos. Sosok yang pamer sedang menanggung kegemukan. Kaos dan bajunya cepat sesak. Ia mengerti sedang gendut. Malam itu ia memegang buku berjudul Mitologi garapan Roland Barthes. Pikirku, Roland Barthes menulis tentang gulat, bukan bulutangkis. Mengapa lelaki yang rajin merokok itu malah membuka halaman-halamam Mitologi setelah bermain bulutangkis? Aku ingin mengatakan bahwa buku di tanganya bisa menumbulkan sesat. Selama ini aku mengetahui dirinya sembrono menghabiskan uang untuk berbelanja buku. Ia pasti menjadi keparat jika terus membaca buku dan betah dalam obrolan keintelektualan.

Malam yang jahanam gara-gara dua lelaki membaca Istanbul dan Mitologi. Aku menyumpahi mereka agar menjadi batu di Kalipepe atau berubah menjadi semut di Siberia. Dua lelaki yang tidak pantas diidamkan oleh perempuan yang ingin bahagia dan mendapat hiburan. Dua lelaki itu sepertinya mengartikan hidup cukup kopi, rokok, dan buku. Padahal hari-harinya amburadul.

Jumat berlalu, datanglah Sabtu, 27 September 2025. Siang, aku mengajar murid-murid SMP. Sebuah novel aku jadikan sebagai hadiah. Siang itu kami berbagi cerita mengenai kebodohan-kebodohan dalam mengikuti pelbagai mata pelajaran di sekolah. Aku mengaku kepada mereka pernah bodoh dan tidak naik kelas. Pengakuan yang menjadi hiburan bagi mereka, yang akhirnya berani memamerkan lembaran hasil ujian. Nilai-nilai yang buruk tapi mereka tidak menyesal. Bodoh kadang menghibur dan menciptakan tawa absurd.

Sore, aku berkeringat lagi sebagai tukang sapu, tukang ngepel, dan pelayan di kantin. Di gedung olahraga, tubuhku harus bekerja bersama debu dan kotoran. Sore itu membahagiakan saat teman datang. Sebelumnya, kami sudah kencan untuk bertemu. Duduk sambil minum es teh, kami berbagi cerita mengenai nasib dan mengimajinasikan binatang-binatang. Yang terpenting adalah aku menyerahkan novel gubahan Amin Maalouf yang berjudul Nama Tuhan yang Keseratus. Aku mendapatkan rezeki dari penjualan buku. Yang berlebih adalah obrolan kami menjelang senja.

Aku menikmati senja bareng lagu-lagu asmara. Dua lapangan aku bersihkan, yang utara dan selatan. Para pemain masih berada di lapangan tengah, yang berakhir pada pukul 18.00 WIB. Aku menyempatkan melihat mereka yang tampak semringah dan tertawa. Kaum muda yang memilih main bulutangkis ketimbang menjadwalkan pacaran. Mataku kaget melihat di kubu mereka ada buku. Yang tampak adalah novel-novel Tere Liye. Beberapa orang adalah pembaca novel, yang menggemari Tere Liye. Aku pun mendekat minta izin bergabung bareng mereka untuk obrolan. Sejenak, aku tambah minta izin untuk memotret kehadiran novel-novel Tere Liye di pinggiran lapangan badminton.

Percakapan maghrib yang seru. Telingaku sudah mendengar azan maghrib. Obrolan yang memusat buku. Aku bawakan buku-buku yang menjadi bacaanku. Dua buku yang sempat mereka pegang dan baca adalah The Sun an Her Flowers, Matahari dan Bungaa-Bunganya (Rupi Kaur) dan 700+ Kata-Kata Inspiratif Para Wanita Hebat (Carolyn Warner). Dua buku bersama mereka saat aku tinggal untuk shalat dan meladeni para pembeli di kantin. Yang terdengar di kantin adalah lagu Nadin Amizah dan Iwan Fals yang berjudul “Untukmu”. Tanpa malu, aku iku bersenandung: Katakan padaku/ andaikan kau tahu/ tolonglah kau katakan itu/ lawanku, temanku, saudaraku, keluargaku/ pun aku// siang berganti malam/ terdengar panggilan-Nya/ suara anak-anak kecil yang pergi ke langgar/ menghampiri yang dewasa di sana/ tanpa tahu apa-apa/ melangkah dengan riang gembira. Sebelumnya, lagu itu aku nikmati di Mangkunegara, beberapa bulan yang lalu saat aku dan teman-teman menikmati konser yang megah.

Malam itu aku ingin bahagia. Hari-hariku bertemu para pembaca buku. Mereka masih membuatku bergairah dan mengurangi pengkhianatan terhadap buku-buku. Rombongan pemain di lapangan tengah pamitan sambil membuat permintaan agar Sabtu yang akan datang aku membawakan novel-novel. Mereka mau meminjam meski aku memiliki niat untuk memberikan saja agar senang. Ada yang malah meminta untuk diadakan obrolan buku. Aku balik memberi guyonan kepada mereka: “Jangan telantarkan kekasihmu! Bulutangkis dan buku akan membuatmu dibenci kekasih.” Mereka malah menjawab sambil tertawa: “Saya tidak punya kekasih!” Malam yang berbahaya. Mereka yang suka buku pasti lupa khasiat Sabtu malam. Mereka terbukti tidak mementingkan orang-orang yang harus dicintai tapi memilih berkeringat dan menikmati novel-novel bergelimang nasihat. [] Durjana

Puisi

Puisi Riska Widiana

KEPADA SELURUH SAJAK

Aku berterima kasih kepada seluruh sajak

Ia diciptakan seperti ibu 

Atau seseorang yang memiliki pelukan besar

Bersedia melapangkan dirinya

Menampung banyak cerita

Yang tak seharusnya di dengar

Oleh telinga-telinga kehidupan

Kepada seluruh sajak

Teruslah berumur panjang

Tempat orang-orang pulang

Saat tak ada wadah cerita berlabuh

Riau, 2025

___________________

SEMENANJUNG MALAM

Risik angin malam yang sendu

Menggerakkan laut di dadamu

Kau membuka jendela

Melepas resah jauh ke punggung ombak

Ombak yang beradu

Di bawah segala kerinduan

Keheningan membentang luas

Di bawah cahaya bintang

Kata-katamu berloncatan

Bagai anak-anak Ikan dilepas

Menyusuri setiap teluk

Berisikan ruang-ruang rindu

Cahaya bulan pecah

Malam itu, laut tersenyum padamu

Kau tersenyum kepada laut

Ia memeluk seratus kerinduan

Riau, 2025

___________________

MALAM YANG ENTAH JADI APA

Kepada apa lagi kau bersandar

Selain ruang-ruang sepi yang abstrak

Tiang-tiang tiada tapi ada

Kau melabuhkan seluruh perasaan

Sesekali, malam menjelma ibu

Kau jatuh dalam pelukan hangatnya

Menjadi tempat bercerita

Melabuhkan seluruh sedih

Sesekali malam menjelma hantu

Yang mengintaimu dari bilik kecemasan

Kau ingin mengakhiri malam panjang

Lewat mimpi yang tenang

Tapi, dunia di kepala

Tak bisa membuka pintu lain

Kau terus terjaga dengan segala kesedihan

Hingga satu malam kau tenggelam

Riau, 2025

___________________

BUNGA-BUNGA KAKTUS DI PADANG GURUN

Dunia terus berbisik di telinga

Hingga kau terlena

Dalam kisah-kisah panjangnya

Seperti dongeng

Menidurkan dan mimpi-mimpi kaktus

Tumbuh di dada yang tandus

Dunia terus berbisik

Dengan bermacam kenikmatan

Bunga-bunga berduri

Mekar dalam hati yang sukar

Jiwa menjadi ladang gulma

Dusta berbuah delima

Dunia memeras madu

Ke cawan-cawan semu

Kau mabuk

Terminum anggur dunia

Hingga hidup seperti dalam mimpi indah

Kau lupa bangun

Tersadar, pintu pulang terbuka lebar

Riau, 2025

___________________

SENDIRIAN

Hatimu bagaikan sepotong daging segar

Lalu disayat sedikit demi sedikit

Dalam keadaan bunga mekar

Di bibirmu yang pualam

Tak boleh ada sakit

Tersyairkan dengan jerit

Harus tabah dengan mata tersenyum

Meski dada bergemuruh hebat

Menolong, meraung, terisak

Tak ada tempat bersandar baik

Di dunia penuh intrik

Selain kepada Tuhan bajik

Dirimu pun akan lemah

Pada akhirnya

Kesendirian akan terus melahirkan

Banyak sunyi dan hening

Memeluk seratus kesedihan

Tak terpecahkan

Riau, 2025

___________________

SENDIRIAN 2

Sendirian dan sunyi adalah dua teman karib

Ia juga teman bisu yang mendengarkan

Seluruh kisah-kisah pilu mengharukan 

Kadang kau meleleh bagai es musim dingin

Menahan kesakitan sendiri

Duri-duri di hati terus menusuk

Kau menunggu sendirian

Barangkali ada seseorang atau keadaan

Datang membawa sebuah jalan besar

Di tangannya yang berbunga mawar

Tapi, lagi-lagi kau mencair kembali

Menjadi musim dingin tanpa ujung

Tak temukan sesuatu yang bisa

Membawamu pergi jauh

Batu-batu seakan tumbuh lalu jadi bukit

Memenuhi dada dan sesak

Kau ingin bernapas lapang

Tanpa ada yang ditahan

Seakan bernapas dalam air

Kau ingin membuka tirai yang selama ini samar

Menatap terang matahari

Sinar cemerlang bulan

Dunia tanpa mengutuk

Kau tak mencaci dirimu sendiri

Riau, 2025

___________________

Riska Widiana. Berdomisili di Riau kabupaten Indragiri hilir. Karyanya termuat ke dalam media cetak dan online seperti Klasika kompas, Suara Merdeka, Rakyat Sultra, Republika, Babel post, Merapi, Lombok post, Pontianak Post, Bangka post, Nusa Bali, Waspada Medan, Sarawak Malaysia, Harian SIB, Haluan Padang, Radar Kediri, Radar Madiun, magrib id. Ayo Bandung.com. Litera SIP, Langgam pustaka, Maca Web, Cendana News. Dunia santri, Barisan co. Metafor id. Bali politika, Marewai. Com. Majalah elipsis, Hadila, semesta seni Dll. Juga di antologi seperti (FISGB 2022) (Hari Puisi Indonesia, Masyarakat jember 2022) (Suatu hari dari balik jendela rumah sakit, Bali 2022) (Dokterku Cintaku, Denpasar 2022) (100 Tahun Chairil Anwar, 2022) (Madukoro Baru 1, 2022) (Negeri poci 12. Raja kelana, 2022) (puisi sepanjang zaman, Satria Publisher 2022) (Sebagai juara satu dalam lomba tingkat Nasional, Jakarta dan Kolaburasi)  (Peraih Anugerah sebagai juara satu, Negeri kertas 2022) kategori puisi terbaik nasional oleh penerbit Alqalam batang dan Salam Pedia, 2021) Alamat Facebook; Ri-Ana, Instagram riskawidiana97 alamat email [email protected]