Buku, Resensi

Kisah Cinta yang Melulu Indah Itu Kata Siapa?

Oleh: Mutia Senja

 “Bu, maafkan Nur. Kumohon, maafkan Nur. Hari ini Nur umur dua puluh delapan, tapi Nur nggak bisa menikah sekarang,” ujar Nursri dengan bibir bergetar sambil memeluk ibunya (hal. 90). Nursri; tokoh utama dalam cerpen Amanatia yang dijadikan judul buku ini; Waktu untuk Tidak Menikah—menjadi menarik di mata para pembaca. Khususnya di kalangan kaum muda yang dilema dengan pertanyaan: kapan nikah?

Berharap mendapatkan semacam solusi dari kebimbangan “untuk tidak menikah” mendadak terbesit ketika: mendapati pengalaman orang-orang yang justru kesulitan menghadapi rumah tangga, penghasilan yang belum dikatakan cukup untuk membangun sebuah keluarga, status jomlo yang memunculkan kebingungan akan menikah dengan siapa, atau persoalan hati karena gagal move on dengan mantan—sedangkan mantan lebih dulu berumah tangga dengan orang lain dan tidak mungkin membujuk untuk diajak balikan. Semoga Tuhan memberkati kalian!

Seluk beluk percintaan yang “rumit” dikumpulkan Amanatia dalam empat belas judul cerpennya yang dirangkum dalam blurb buku ini: di belahan bumi lain, ada yang tersungkur patah hati ditinggal kekasih. Ada yang kehilangan banyak hal dalam waktu yang berdekatan. Ada yang memilih hidup sendirian bersama dua kucing liar. Ada yang tiba-tiba ingin menghubungi mantan kekasihnya. Ada yang mencintai diam-diam dan berakhir ditolak mentah-mentah. Ada yang tak siap berpisah, sekali pun sudah menabung kesiapan itu jauh-jauh hari. Ada yang selalu mencintai tapi tak pernah bisa menerima, hingga persoalan ada yang menikah, lalu ingin berpisah.

Pada Jarak yang Memisahkan Kami—pun, saling mencintai benar-benar tidak sederhana, kau percaya? (hal. 100). Justru permasalahan hubungan jarak jauh (long distance relationship), rentang usia terlampaui jauh, juga gelar dan status sosial tidak mungkin sesederhana saling mencintai lalu ingin menghidupi. Itu sebabnya, penulis kelahiran Malang ini menuliskan: kadang-kadang, memang selalu ada waktu untuk tidak berkasih. Untuk tidak bercinta, untuk tidak menikah. Lagi pula, kisah cinta yang melulu indah itu kata siapa?

Pernyataan tersebut membuat Amanatia menciptakan tokoh seorang mahasiswi dengan pembicara seminar super sibuk di bagian 8: tak ada dari kami berdua yang menyangka bahwa pada akhirnya kami saling jatuh cinta dan memiliki hubungan yang sulit didefinisikan. Di usiaku yang berjarak sembilan tahun lebih muda darinya, aku benar-benar tak habis pikir mengapa ia bisa jatuh cinta padaku (hal. 96). Pada akhirnya, tokoh si perempuan dalam cerita ini mengungkapkan kegelisahannya: belum 24 jam ditinggalkan, sudah menangis lagi. Aku hanya menatap layar dan tak menyentuhnya. Berharap ia membalas dan mengabarkan bahwa ia baik-baik saja di sana, tapi ia tak membalas. Mungkin sibuk. Mungkin pula enggan (hal.102).

Lebih menyesakkan lagi, ketika disuguhkan ceritanya bertajuk Baru Menjadi Ibu—sebagai pemilik rahim, perempuanlah yang pada akhirnya menanggung kepuasaan birahi (entah dari salah satu atau kedua belah pihak). Maka tak heran jika W. Sanavero menuliskan kegelisahannya dalam Perempuan yang Memesan Takdir. Prosa yang menyingkap sisi lain perempuan perihal mamaknai cinta, kenangan, keluarga, budaya, pernikahan, bahkan hubungan manusia dengan Tuhan—meskipun cara pandang perempuan tetaplah berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Berbeda kisah dengan pemikiran laki-laki. Saya teringat Kisah Sedih Kontemporer (IX) dalam Kumcer Bakat Menggonggong, Dea Anugrah menyiratkan kesedihan perihal cinta yang “lucu” sehingga patut ditertawakan dengan “gonggongan” atau umpatan kecil saat Shalani Nafasha setelah dua tahun mengirimkan pesan tersirat bahwa ia telah memiliki momongan kepada Fredrik—pria yang mengaguminya. Berbeda konteks dengan Kurniawan Gunadi perihal cinta diam-diam kepada seseorang yang ia cintai hingga dituliskannya dalam sekumpulan cerita Lautan Langit. Baginya, menikahi dan mengarungi lautan kehidupan bersama adalah solusi tepat untuk mengimplementasikan rasa cinta.

Lalu apa yang terlintas ketika membaca judul buku ini? Apakah dengan meghindari kerumitan tersebut kita hanya mampu memilih untuk tidak menikah? Lalu dengan memilih untuk tidak menikah kita akan terlepas dari belenggu masalah? Lalu bagaimana menjalani kehidupan sebagaimana Nursri, menjelang hari pernikahannya yang tinggal beberapa jam harus dihadapkan dengan persoalan yang membuat pikirannya kacau. Perempuan itu, akhirnya memilih hidup dengan anak semata wayangnya di Timalayah tanpa harus menikah. Kini baginya, tidak ada yang lebih penting dari mengurus anak satu-satunya—tanpa perlu lagi menghadirkan sosok lelaki dalam kehidupannya.

Membaca buku Amanatia Junda, saya mengimani bahwa yang terjadi di masyarakat perihal cinta, rumah tangga, atau hubungan sosial tidak semudah menikmati cerita di negeri dongeng. Di Lantai Tiga Beringharjo, misalnya. Kita akan mendapati penulis dengan cerdik menceritakan beragam karakter yang barangkali kita temui di kehidupan para pedagang. Menceritakan seorang janda yang memilih tinggal sendiri setelah ditinggal pergi suaminya ke luar negeri. Kisah perempuan yang sarat dengan kesedihan—seumpama baginya, hidup dengan hewan peliharaan lebih menyenangkan dibandingkan menjalani hidup yang baru bersama pasangan baru, pun dengan persoalan yang baru pula.

Tidak hanya itu, penulis mengikhtiarkan pemahamannya bahwa laki-laki harus paham seluk-beluk perempuan. Maka dengan tegas pun lugas, pengarang menciptakan sebuah cerita Perkara di Kedai Serba-Serbi. Tidak tanggung-tanggung, Amanatia menuliskan secara gamblang lewat sosok Dina; perempuan yang terpaksa menceritakan kesialan di hadapan kekasihnya. Bagi saya, ini merupakan bagian rumit bagi perempuan untuk menunjukkan apa yang seharusnya disembunyikan. Tapi seketika saya sepakat bahwa tidak ada yang salah dengan ilmu pengetahuan. Maka, sah-sah saja.

Terlepas dari latar belakang pengarang, saya yakin bahwa Amanatia merupakan sosok yang kuat. Terbukti dari hampir keseluruhan cerpennya, selalu dimunculkan konflik yang membuat perempuan selalu menanggung “getah” dari kesialan lelaki. Namun dimunculkan solusi tentang bagaimana tokoh tersebut mengambil peran untuk tetap selow menghadapi kehidupan. Baginya, ia hanya perlu membaca ulang peristiwa-peristiwa lama yang membuat dirinya berspekulasi: aku masih lebih beruntung daripada dirinya. Atau semacam rasa syukur dan kebijaksanaan untuk tidak memperlihatkan kelemahan. Sehingga ia memilih berjalan terus sesuai kehendak hatinya sendiri.

Merasa dicurangi dengan judul buku ini sebab berbeda situasi dengan Nursri, saya tetap mendapatkan bekal untuk sekadar merenungkan kembali mengapa menikah menjadi bagian penting bagi hidup manusia. Terlepas dari cinta, terlepas dari tuntutan keluarga, dan terlepas dari persoalan apapun, waktu untuk tidak menikah bagi saya hanyalah persoalan “waktu”. Itu sebabnya mengapa banyak sekali perkara terjadi, baik yang melibatkan masa lalu, masa sekarang, bahkan masa depan. Maka sampailah kita kepada pertanyaan perihal: kapan waktu untuk tidak menikah—dan setiap orang berhak atas jawabannya masing-masing.

Ini seperti prinsip cinta yang diceritakan Cak Nun pada sebuah kesempatan perihal Umbu Landu Paranggi—beliau mengimani bahwa cinta sejati adalah cinta yang tak boleh dibatalkan dengan sebuah pertemuan, apalagi sampai melakukan kontak fisik dengan pernikahan. Salah satu prinsip Umbu sehingga ia tetap mencintai seorang wanita tanpa pernah memilikinya sama sekali, namun ia tetap mencintainya. Bagaimana bisa? Bukankah cinta dan pernikahan saling beriringan? Bertanyalah sambil menyelami setiap lembar buku ini dan temukan jawabannya.

Bagi siapa saja, buku ini sengaja lahir untuk ditimang khalayak luas. Bukan hanya dikhususkan kaum jomlo yang terlanjur malas untuk menikah atau kaum patah hati yang mengutuk dirinya sendiri dengan beragam alasan. Sebab cerita demi cerita yang dihidangkan Amanatia sangatlah realistis dengan kehidupan nyata. Maka bagi siapa saja yang masih memiliki cinta, nikahilah buku ini sebelum waktu memaksa kita menikahi sepi.

Mutia Senja, lahir di Sragen, Jawa Tengah. Bergiat  di Sekolah Menulis  Sragen  dan  Komunitas  Sangkar  Literasi. Hobinya menulis sesuka hati. Buku  puisi tunggal Manahan Selepas Hujan, terbit Mei 2018. Blogger di aksaramutiasenja.blogspot.com, Instagram: @mutia_senja, e-mail: [email protected], nomor HP 085713027400,

Cerpen

Kejahatan Sempurna

Cerpen Dadang Ari Murtono

Jam delapan lebih empat belas pagi, Sam sarapan lahap sekali. Remah-remah roti berhamburan dari mulutnya yang tak henti mengeluarkan suara decap. Ponsel di samping piringnya bergetar. Nul sibuk dengan pulpen dan kertas di sisi meja yang berseberangan dengan tempat duduk Sam.

“Halo.” Sam mengusap mulutnya. “Iya, tentu aku bisa. Itu urusan kecil. Jadi, jadi. Aku tidak lupa. Tidak, tidak. Kau tidak perlu kuatir. Sebentar lagi aku berangkat. Ya, aku sedang sarapan. Ya, akan lebih cepat selesai bila kau tidak menggangguku dengan panggilanmu. Ya, aku akan bersama Nul. Tentu dia bisa. Dia harus bisa. Tidak, tidak. Ya, tunggu saja. Baiklah, sampai jumpa.”

Sam mengembalikan ponsel ke tempat semula.

“Siapa?” Nul meletakkan pulpen dan  mengangkat kepala.

“Hanya urusan kecil,” jawab Sam. “Apa yang kau kerjakan?”

“Hanya beberapa pekerjaan sepele. Kau tahulah, membenahi pilihan kata dan tanda baca. Juga memperbaiki logika. Ide selalu datang tanpa bisa kita duga-duga. Kau tahu itu. Hal-hal wajar bagi seorang penyair.”

“Syukurlah. Sudah selesai?”

“Ya. Kau bisa menganggapnya sudah selesai. Atau sebaliknya, kau bisa menganggapnya sama sekali belum selesai. Menulis puisi adalah hal yang unik. Kau pahamlah apa maksudku. Tapi sudahlah, kudengar kau menyebut-nyebut namaku tadi.”

Sam menggelengkan kepala. Mulutnya masih sibuk mengunyah potongan terakhir roti. Tangan kanannya meraih gelas susu. Hanya dengan sekali tenggakan kasar, ia menandaskan isi gelas yang tinggal separuh itu.

Nul bangkit. Lantas mengambil serbet dan berjalan ke meja makan. “Kau sudah selesai dengan sarapanmu?”

“Tentu. Kau bisa membereskannya,” ujar Sam. Ia mengambil sebatang rokok. Lantas menyulutnya. Sebuah ritual yang selalu ia kerjakan sehabis makan.

“Kau belum mengatakan kenapa kau menyebut-nyebut namaku dalam percakapanmu tadi.”

“Kau akan tahu, Nul Sayang. Kau sudah lihat apa yang ada di atas kulkas?”

“Apa?” Nul menengok ke arah kulkas. “Aku tergesa-gesa menyiapkan sarapanmu sementara pikiranku penuh dengan kata-kata baru sejak aku bangun tidur tadi. Aku membuka kulkas buru-buru hanya untuk mengambil susu. Aku tidak sempat memeriksa isi kulkas dengan seksama.”

“Di atas kulkas. Bukan di dalam kulkas.”

Nul mengangkat piring. Mengelap meja. Lantas membawa piring ke wastafel. Meletakkannya begitu saja. Lalu ia menuju kulkas.

“Apa ini?”

“Bukalah.”

Nul membuka kotak kardus kecil berwarna coklat itu. Ia tertegun untuk beberapa detik.

“Apa ini, Sam? Tumben kau begitu manis?”

“Kau lupa? Ada surat kecil di situ. Bacalah.”

Nul memang menemukan secarik kertas di bawah cincin emas yang bersarang di dasar kotak itu. Ia membuka lipatan kertas tersebut. Ada empat kata yang tertera di sana. Selamat Ulang Tahun, Sayang.

“Demi Tuhan, Sam. Aku lupa kalau sekarang ulang tahunku. Terima kasih, Sayang. Aku benar-benar tidak bisa membayangkan apa jadinya aku tanpamu.”

“Kau akan tetap jadi penyair hebat, Sayang. Ayolah, siapkan dirimu. Aku punya sesuatu yang lain untuk merayakan hari luar biasa ini.”

“Oh, Sam. Apa lagi? Sebuah kejutan yang manis dalam sehari sudah cukup menakjubkan bagiku.”

“Ayolah Nul. Kau tidak berulang tahun setiap hari.”

“Tunggu sebentar. Lima menit.”

Nul berlari ke kamar. Nyatanya, ia mengingkari janjinya sendiri. Ia menghabiskan dua puluh dua menit untuk memilih baju dan mengenakan riasan. Ia kemudian keluar dengan pakaian andalannya—celana jeans dan kemeja kotak-kotak biru. Pipinya bersemu merah. Bibirnya dipulas lipstik coklat. Rambutnya dibiarkan tergerai.

“Bagaimana Sam?”

“Sempurna. Kau tak pernah terlihat secantik ini.”

“Ah, jangan berlebihan. Aku sudah sering memakai ini.”

“Ya. Tapi kali ini, entah mengapa, kau terlihat menakjubkan. Mungkin efek dari hari baik.”

“Bukan. Ini efek dari kejutan dan sikap manismu.”

“Oke. Tak masalah apapun itu. Kita harus segera pergi.”

“Kemana?”

“Aku meminta Marni buka lebih awal. Khusus buat kita.”

“Oh, Sam. Aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Ini benar-benar hari yang sempurna.”

Mereka keluar dari rumah. Belok kiri. Berjalan dua blok. Lantas belok kanan. Lurus hingga tiga ratus empat puluh meter. Belok kiri sejauh empat puluh meter. Lalu berhenti di depan sebuah kedai.

“Aku tidak punya banyak uang untuk membayar Marni agar menghias kedainya dengan bunga-bunga. Jadi, kumohon maafkan aku bila kau tidak menemukan hiasan yang tidak seperti biasanya. Tapi aku berjanji kepadamu, kau bisa minum sebanyak apapun wiski yang kau mau.”

“Kau yang terbaik, Sam. Kau yang terbaik,” Nul mendaratkan sebuah ciuman di pipi Sam.

Marni menyambut mereka dengan senyum termanis yang pernah mengembang di mulutnya. Perempuan tiga puluhan tahun yang masih betah melajang itu tampil dengan segala kebesaran dan keanggunannya. Gaun merah berdada rendah, memperlihatkan sebagian payudaranya yang berkilauan.

“Kau cantik sekali, Marni,” kata Nul. “Kau lebih terlihat sebagai orang yang dirayakan ulang tahunnya ketimbang aku.”

“Aku tak ingin membuat pestamu berantakan,” jawab Marni. “Selamat ulang tahun. Aku tak tahu ini ulang tahunmu yang keberapa. Dan aku tidak ingin bertanya. Bukankah tidak sopan bertanya usia kepada perempuan?”

“Tiga puluh tiga, Marni. Tidak apa, toh, cuma kita bertiga di sini.”

Sam menggeser kursi. Membanting pantatnya di sana. Lantas mengeluarkan rokok dari saku bajunya.

“Sialan, korekku ketinggalan,” keluhnya.

Marni merunduk di balik meja bar. Ketika kepalanya kembali muncul, ia berkata sedikit keras, “Tangkap ini, jagoan.” Sam dengan tangkas menangkap korek api yang melayang ke arahnya.

“Kau tak pernah mengecewakan, Marni.”

“Ya. Kaulah yang selalu mengecewakan. Kau nyaris membikin jantungku copot sepagi ini. Kau tahu, Nul, aku benar-benar kuatir kalau Sam lupa bahwa dia harus membawamu ke sini untuk merayakan ulang tahunmu. Karena itu aku tadi meneleponnya.”

“Kalian merencanakan ini dengan sangat hebat,” kata Nul seraya tertawa kecil. “Baiklah. Mari kita mulai. Apa arti perayaan ulang tahun tanpa sedikit alkohol?”

“Sabar manis. Aku sudah menyiapkan wiski yang luar biasa. Kau akan menyukainya. Dan untukmu, Sam, seperti biasa, vodka yang ganas.”

“Kau memang yang terbaik, Marni.”

“Eh, tunggu dulu,” kata Marni. “Karena Sam memintaku membuka kedai lebih awal khusus buat kalian dan Sam juga bilang tak ingin ada orang lain selain kita bertiga di sini, kupikir kalian memang menginginkan semacam privasi dan jauh dari gangguan. Apakah tidak sebaiknya kalian mematikan ponsel? Atau kalian mau merekam pesta ini dan memacaknya di media sosial?”

Sam mengangkat bahu. “Aku ingin momen berharga seperti ini kami nikmati sendiri saja. Tak perlu ada orang lain yang tahu. Kau tahu kan, berdasarkan sebuah penelitian yang pernah aku baca, orang-orang yang suka memamerkan kemesraan dengan pasangannya di media sosial cenderung menyimpan masalah dan tidak harmonis? Yah, tapi karena ini adalah pesta Nul, semua terserah kepadanya. Bagaimana Nul?”

“Aku setuju denganmu, Sam Sayang. Hubungan kita baik-baik saja. Sangat baik, malah. Kita benar-benar pasangan yang harmonis. Bukankah kau juga berpikir begitu, Marni?”

“Tentu. Tentu saja. Aku tidak pernah melihat ada pasangan yang lebih harmonis ketimbang kalian.”

Gelas berdentang. Nul minum dan tertawa. Sam minum dan mengepulkan asap rokok dan tertawa. Marni menuangkan minuman dan ikut minum bersama mereka—sekali ia mengambil dari botol jatah Nul, dan sekali dari botol jatah Sam.

“Kau tak boleh minum terlalu banyak, Marni. Kau harus memastikan kami tidak terlalu mabuk dan melakukan hal buruk,” kata Sam.

“Jangan kuatir. Aku bisa menjaga diriku. Nah, sekarang giliranmu, Nul. Kau harus minum lebih banyak karena ini hari istimewa buatmu.”

“Tentu saja. Aku akan minum langsung dari botol.”

Mereka tertawa. Mereka tertawa. Dan mata Nul mulai merah.

“Ia sudah hampir menghabiskan isi botolnya.”

“Ya, Marni. Dan aku menepati janjiku padamu. Inilah saatnya.”

“Tidakkah kita mesti menunggu beberapa saat lagi, Sam?”

“Ini sudah cukup. Nul sudah sangat mabuk. Enam tahun kami bersama dan itu sudah cukup membuat aku mengenali detail-detail kecil dari dirinya. Aku tahu ketika matanya sudah seperti itu, itu artinya ia sudah benar-benar mabuk. Sini, mendekatlah.”

“Oh, Sam, jantungku berdebar-debar. Ini luar biasa. Sensasi yang menakjubkan. Ini benar-benar kejahatan yang sempurna.”

“Ya, ya. Sebuah kejahatan yang sempurna. Tak ada sensasi yang lebih luar biasa dari ini. Berselingkuh di depan mata orang yang kita selingkuhi.”

Mata Nul berkabut. Samar-samar, ia melihat tangan Sam meraih dan menarik kepala Marni. Lantas ciuman. Lantas pakaian yang tanggal. Nul mengucek-ucek matanya. Kepalanya semakin berat. Dan nanti, setelah pengaruh alkohol menguap dari batok kepalanya, ia tidak akan mengingat kebrutalan birahi yang terjadi di depan matanya.
***

Dadang Ari Murtono, lahir dan tinggal di Mojokerto, Jawa Timur. Bukunya yang sudah terbit antara lain Ludruk Kedua (kumpulan puisi, 2016) dan Samaran (novel, 2018). Saat ini bekerja penuh waktu sebagai penulis dan terlibat dalam kelompok suka jalan.

Redaksi ideide.id memberikan honorarium kepada penulis yang karyanya dimuat meskipun tidak banyak.
Kirim karyamu sekarang juga di SINI

Buku, Resensi

Selamat Tinggal Berantakan!

Oleh: Al-Mahfud

Pernahkah kita berpikir jika kebiasaan kita dalam meletakkan, merapikan, atau membereskan barang-barang di rumah turut berdampak atau memengaruhi kehidupan kita secara umum? Pekerjaan meletakkan, menyimpan, dan membuang barang ternyata bukan perkara remeh yang bisa diabaikan. Aktivitas sehari-hari yang jarang mendapat perhatian serius tersebut ternyata membawa dampak luar biasa jika kita bisa memahami fungsi dan seninya dengan baik.

Melalui buku ini, Marie Kondo, seorang konsultan kerapian yang mengelola bisnis kerapihan terkemuka di Tokyo akan mengajak kita memahami lebih dalam terkait aktivitas berbenah atau beres-beres barang. Pencetus metode berbenah ala KonMari ini mengungkapkan betapa banyak orang terjebak dalam kebiasaan keliru dalam beres-beres. Sehingga di samping membuat ruangan menjadi tak nyaman dipandang, juga berpengaruh terhadap suasana, emosi, bahkan pandangan dan pemikiran penghuninya.

Ruangan, entah di rumah atau kantor yang rapi dan bersih tentu lebih menciptakan suasana nyaman ketimbang ruangan yang berantakan. Inilah pentingnya berbenah. Namun, kegiatan beres-beres tak sesederhana kelihatannya. Banyak orang mungkin berhasil membuat ruangannya nampak bersih dan rapi, namun kerap kali hal tersebut tidak bertahan lama. Beberapa hari kemudian, orang menjumpai ruangannya kembali berantakan dan semrawut. Di sini pentingnya membiasakan prinsip-prinsip penting dalam berbenah. “Orang cenderung berantakan karena memegang prinsip-prinsip yang keliru seputar kegiatan berbenah,” tulis Marie.

Bertolak dari realitas tersebut, Marie menjabarkan berbagai prinsip penting seputar seni beres-beres. Pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh selama bertahun-tahun mendalami dan menggeluti bidang ini membuat penjelasannya begitu mengalir, kaya, dan menarik. Pengalaman berinteraksi dan melihat berbagai permasahalan dari para klien dalam menata dan mengatur barang di rumah membuat pemaparan Marie menjadi berisi dan penuh dengan kasus-kasus konkret, lengkap dengan berbagai solusi dan tips untuk mengatasinya.

Penyebab utama sebuah ruangan menjadi berantakan adalah perilaku menyimpan yang berlebihan atau tidak efisien. Marie melihat kecenderungan manusia modern, terutama di Jepang, dan Amerika, yang gampang membeli dan menimbun barang yang sering jauh melampaui kebutuhannya. Ia mengelompokkan orang-orang yang susah menjaga kerapihan menjadi tiga jenis. Yakni tipe “tidak tega membuang”, tipe “lalai mengembalikan”, dan tipe “kombinasi”. Berdasarkan pengalaman mengamati para klien, Marie menyimpulkan 90% nya masuk dalam kategori ketiga, yaitu tipe kombinasi alias lalai menyimpan sekaligus tidak tega membuang. 10% sisanya adalah tipe “lalai menyimpan”.

Marie menjelaskan, berbenah yang efektif hanya terdiri dari dua aktivitas esensial, yakni membuang dan menentukan di mana harus menyimpan barang. Dan di antara keduanya, membuang harus didahulukan. Akan tetapi, jika barang-barang tersebut masih layak dan bisa digunakan, kita bisa menyumbangkannya pada orang yang lebih membutuhkan.

            Pada kenyataannya, banyak orang lebih memilih menyimpan barang ketimbang membuang. Marie mengingatkan agar kita berhati-hati dengan istilah “menyimpan” barang karena dalih “masih bisa dipakai nanti”, atau “mungkin suatu saat ada gunanya”, atau “mungkin buku ini nanti saya baca jika ada waktu luang” dan sebagainya. Sebab, kerap kali hal-hal yang menjadi alasan tersebut tidak pernah terjadi dan barang-barang tersebut akhirnya memang tidak pernah lagi digunakan.

Marie memberi pilihan menyimpan atau membuang barang. Dalam menyimpan, di buku ini ia memberi tips memilah dan menyimpan barang yang sebaiknya berdasarkan kategori bukan lokasi, bagaimana menyortir barang, tips menyimpan dan melipat pakaian, merapikan buku-buku, pernak-pernik, hingga uang receh dan barang lain yang kerap memenuhi ruangan.

Keajaiban

Hal yang menarik dari kegiatan berbenah adalah dampak yang diakibatkannya. Marie menjelaskan, banyak keajaiban dirasakan para klien setelah menerapkan prinsip berbenah yang ia ajarkan. Selain ruangan lebih rapi dan bersih, berbenah ternyata juga menyimpan manfaat bagi pemikiran dan cara pandang seseorang. “Salah satu keajaiban berbenah adalah membuat kita percaya diri akan kemampuan kita dalam mengambil keputusan,” tulisnya (hlm 171).

Aktivitas beres-beres pada gilirannya memang mengasah pemikiran dan pandangan seseorang, baik secara etis, estetis, hingga efisiensi dan efektivitas dalam menjalani kehidupan. Ketika kita menyortir, memilih dan memilah barang mana saja yang perlu disingkirkan dari suatu tempat serta yang mana yang harus disimpan, di situ ada proses berpikir dan mengasah kecakapan mengambil keputusan.

Sedangkan, ketika kita berupaya menata dan menyimpan barang secara efisien dan lebih rapi, di sana kreativitas dan rasa estetis kita diasah. Ketika barang-barang tertata rapi di tempatnya dan ruangan menjadi bersih dan terasa nyaman, mood kita menjadi lebih baik. Perasaan positif ini merupakan modal berharga untuk menunjang aktivitas sehari-hari agar lebih bergairah dan produktif.

Prinsip dan tips yang dituangkan Marie memberi banyak pengetahuan menarik, terutama seputar seni berbenah. Memang, sekilas ada tips-tips yang kelewat “ketat” dan kurang relevan jika melihat keadaan ruangan di rumah-rumah di Indonesia yang relatif lebih longgar dibandingkan kondisi di Jepang. Namun, buku ini tetap menyimpan banyak pengetahuan berharga tentang bagaimana hidup yang lebih rapi, disiplin, dan efektif. Lewat buku ini, kita juga menyadari bertapa besar manfaat dari aktivitas berbenah. Saatnya berbenah dan mengucapkan selamat tinggal pada berantakan!

Al-Mahfud, penikmat buku, dari Pati.  
Menulis artikel, esai, dan ulasan buku di berbagai media massa.  

Cerpen

Bayi Lelaki yang Menjadi Bola Api

Cerpen: Rin Ismi

Kemarau menjadi penanda hari ketika aku keluar dari selangkangan Emak. Siang itu matahari serasa tepat berada di atas ubun-ubun. Suhu udara mencapai tiga puluh sembilan derajat Celcius. Emak tak sempat melahirkan di bidan. Beliau merasakan kontraksi luar biasa saat sedang memasak di dapur dan seketika pecah ketuban. Emak berteriak dengan sisa tenaga. Para tetangga berdatangan membantu persalinan. Sebagian lagi tergopoh-gopoh memanggil Mak Praji, dukun bayi terkenal di kampungku.

Emak dibaringkan di amben—semacam ranjang—dapur yang terbuat dari bambu. Wajahnya memerah selama proses mengejan, seakan berjuang keras mengeluarkan bongkahan bara. Begitu pun Mak Praji dan beberapa orang yang membantu. Tubuh mereka dipenuhi peluh. Siang itu, aku menjelma bayi lelaki yang lahir di pinggiran kota berjuluk Serpihan Neraka. Aku menangis tapi lebih serupa lolongan kemarahan. Mbah Juna, tetangga sebelah rumah Emaklah yang mengumandangkan adzan dan iqamah di kedua telingaku.

“Udah disiapin nama belum, Tin?” tanya Mbah Juna menyerahkanku ke gendongan Emak.

“Udah, Mbah. Namanya Raka Geni,” jawab Emak lemah seraya menerimaku dan mendekapku untuk segera disusui.

Untuk pertama kalinya, kutatap wajah Emak. Inilah wanita yang mengandungku selama sembilan bulan. Dan kini harus merasakan beban berat menjadi ibu seorang diri. Sementara Ilham, kakakku yang baru berusia empat tahun terus bertanya tentang Bapak. “Kenapa Bapak dibakar, Mak? Emangnya ayam apa dibakar?” tanyanya polos ketika pelan-pelan diceritakan bahwa Bapak telah tewas. Seisi kampung kasak-kusuk membicarakan Emak sebagai si Titin malang yang suaminya dibakar hidup-hidup karena dituduh mencuri.

Tapi tenang saja, Mak. Raka tidak akan membiarkan Emak bersedih lagi. Itu janjiku pada Emak. Akan kucari makhluk-makhluk laknat itu dan memastikan mereka menebusnya kontan. Tubuhku menggelepar seperti kejang membuat Emak histeris ketakutan. Ia memanggil-manggil Mak Praji yang masih membersihkan sejumlah kain sisa persalinan. Suhu tubuhku terus memanas, memanas, dan memanas hingga seluruh pakaianku mulai terbakar. Aku menggulung diri, terbang menjadi lingkaran bola dengan pijar api merah menyala. Aku memelesat mencari jejak kehidupan terakhir Bapak dua bulan lalu saat aku masih di perut Emak. Di bawah sana kulihat Emak tampak syok, orang-orang di sekitarnya ikut menengadah menatapku dengan seribu tanya. Ada yang bilang aku ini bayi setan, ada yang mengatakan aku lahir untuk balas dendam, ada yang terus mengucapkan takbir. Terserah mereka sajalah.

Di ceruk tepi jalan inilah Bapak mengembuskan napas terakhir. Pada sore nahas itu Bapak hendak mengantarkan amplifier yang telah diservis ke rumah pelanggannya tak jauh dari Pasar Muara Bakti. Beliau mampir sejenak ke sebuah musala untuk menunaikan shalat ashar. Agar tak dicuri orang, Bapak mengangkat amplifier itu dari jok motor dan membawanya serta ke dalam mesjid. Selepas shalat, seseorang melihat tanpa bertanya dulu langsung meneriakinya maling.

Dalam sekejap bapakku menjadi bulan-bulanan warga. Sambil berlari menyelamatkan diri ke kampung sebelah, Bapak berusaha menjelaskan duduk perkara sebenarnya. Tetapi massa kian banyak, Bapak dikepung dari berbagai arah. Perut dan punggung Bapak dijotos bogem mentah. Ketika jatuh tersungkur, kepala Bapak diinjak-injak. Seluruh tubuhnya jadi sasaran tendangan. Kata makian terdengar bersahutan. Wajah Bapak sudah babak belur, dengan suara parau masih mencoba menjelaskan. Tapi tak ada satu orang pun yang mendengarkan.

Seperti Tuhan, mereka sibuk menjadi hakim dadakan. Dalam keramaian, mereka mendapat suntikan keberanian melebihi aparat. Merasa berhak menentukan hukuman dan menghabisi nyawa seseorang. Tak cukup melihat bapakku meregang nyawa, seseorang—yang bagiku sudah dirasuki iblis—menyiram bensin ke tubuh Bapak dan membakarnya hidup-hidup. Tubuh Bapak menggeliat kepanasan namun tak satu pun sudi menolong. Mereka bersorak mengumpat puas. Akhirnya maling ini mati di tangan mereka. Ya, bapakku tewas dengan sejukur tubuh gosong. Kabar itu cepat tersebar.

Andai Bapak memang mencuri, pantaskah diperlakukan keji begitu? Beranikah mereka melakukan hal yang sama pada maling duit rakyat yang duduk di kursi dewan sana? Saat mayat Bapak tiba di rumah, Emak jatuh pingsan berkali-kali. Tak percaya jika tulang punggung keluarga ini dilenyapkan secara brutal. Terlebih perut Emak kian membuncit mengandungku. Sejak saat itu, airmatanya sering tak terbendung jika mengingat kematian Bapak. Aku meresapi setiap kesedihannya. Setiap sari pati nutrisinya yang masuk ke tubuhku berubah menjadi percikan api. Aku bertekad untuk menghapus kesedihan Emak jika lahir kelak. Seseorang harus membayar airmata Emak dengan harga yang mahal. Uang sebanyak apa pun tidak akan mampu menghidupkan kembali Bapak. Maka biar impas, nyawa harus dibayar nyawa.

Di bawah sana kulihat si Somad, lelaki berwajah sengak yang menyiramkan bensin ke tubuh Bapak. Dia masih muda, tapi sudah hendak berlagak jadi begundal kampung. Baik, akan kutunjukkan bagaimana rasanya dibakar hidup-hidup. Kebetulan dia sedang mengisi bahan bakar di sebuah warung kelontong. Dengan santai dia menyalakan sebatang rokok sambil kembali menstarter motor. Aku memelesat ke arahnya, membakar habis rokok itu. Somad terkejut. Spontan dia melepas rokok itu dan jatuh ke tangki yang belum sempat ditutup. Seketika api berkobar lalu menjalar ke celana pemuda itu. Aku menikmati momen saat dia panik berusaha menyelamatkan aset di antara selangkangannya. Dalam hitungan menit, motornya terbakar hebat dan meledak. Somad terlempar dengan luka bakar serius. Kobaran api di  celana cepat melebar ke seluruh pakaiannya.

“Tolooooonggg! Tolooooonggg!” lolong Somad tak kuasa menahan panas.

Sejumlah orang datang berusaha memadamkan api dengan menyiramkan air ke tubuh Somad. Tapi siapa pun yang berusaha menolongnya ikut tersambar. Aku telah menyulap air itu menjadi bensin hingga api kian ganas. Mereka berlompatan tak terkendali seperti api yang menari-nari. Aku tertawa menyaksikan histeria mereka dari ketinggian. Satu demi satu dari mereka tewas terbakar. Semesta mendukung amarahku. Angin terus berembus. Sekecil apa pun gesekan akan menjadi api.  Mentari berkontribusi menyumbangkan terik layaknya siang bolong, padahal hari masih pagi.

Dalam sekejap kampung itu menjadi serpihan neraka yang sesungguhnya. Setelah puas menuntaskan kesumat, aku terbang ke rumah Emak. Menjadi Raka Geni yang mungil menggemaskan. Emak terus berucap syukur melihat bayinya kembali, mendekapku dalam buaiannya, ditemani Ilham yang urung jua berhenti bertanya tentang Bapak. Hanya perlu hitungan detik untuk membuat kabar terbakarnya satu kampung yang menewaskan seluruh warganya tersebar. Aku tersenyum. Beginilah dendam bekerja. Cara Raka Geni, bayi lelaki yang menjadi bola api.***

Rin Ismi, pegiat literasi, tinggal di Cikarang Utara, Bekasi.

Redaksi ideide.id memberikan honorarium kepada penulis yang karyanya dimuat meskipun tidak banyak.
Kirim karyamu sekarang juga di SINI

Buku, Resensi

Memorabilia Visioner Si Perempuan Kuli Bangsa

Oleh: Anton Suparyanta

Kemunculan buku ini di pengujung tampuk jabatan kementerian NKRI, cukuplah menjadi goresan memorabilia. Tahun politik ini segera akan mengubahnya kembali. Isi buku tak begitu istimewa, tetapi lentingan dan pijar pikir si perempuan Susi justru menjadi bara bagi para perempuan di Indonesia. Kodrat perempuan tidak semata-mata ditakdir menjadi babon yang kolot. Atau melulu menjadi pecundang di tengah kemiskinan perempuan cerdas tanah air. Kinilah saat zaman perempuan melenting menjadi jago.

Miskinnya figur trengginas (visioner) di tanah air menggugah Presiden Jokowi jengah mengolah bahari. Cap negara maritim adalah jemawa para pakar. Panen ikan melimpah milik cukong dan tengkulak yang menjadi pecundang negara. Nelayan tetap nelangsa. Kemelut ini menyulut insting Jokowi mengincar perempuan “beride gila” Susi Pudjiastuti. Semula Susi kontroversi menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan.

“Pak Jokowi, saya surprised, Bapak angkat saya jadi menteri. Bapak kok percaya pada saya?” kata Susi.

“Ya, saya memang butuh orang “gila” untuk melakukan terobosan. Saya senang cara kerja Bu Susi dalam jam-jam pertama, membuka kesadaran publik tentang potensi laut Indonesia yang dicuri asing. Saya yakin Bu Susi berkarakter melayani, seperti sigap menggendong ibu yang sudah sepuh ini,” kata Jokowi seraya mengunggah foto Susi ke medsos.

“Saya terima pekerjaan ini, dengan pengalaman 33 tahun di perikanan dan 10 tahun di penerbangan, mudah-mudahan membantu Indonesia menjadi lebih baik. Membangun ekonomi mandiri dan menumbuhkan kebanggaan diri,” pungkas Susi (hlm 138).

“Kegilaan” Susi bagi Jokowi adalah visinya yang out of the box. Karakter ini gayut dengan gaung slogan: kerja, kerja, kerja! “Ide gila”-nya menjadi fighting spirit, kawah candradimuka inspiring woman, super woman, atau wadona pinunjul yang menyabet puluhan gelar penghargaan lokal, nasional, pun internasional. Susi menjadi orang ketiga peraih gelar Doktor Honoris Causa dari ITS Surabaya setelah Hermawan Kertajaya dan Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini.

Buku ini menjadi bernas bagi generasi milenial yang sadar berpikir kritis dan tidak dibuai gawai teknofil. Biarlah Rhenald Kasali atau Hermawan Kertajaya berkoar tentang ancaman era disrupsi 4.0 yang serba digital dan melelahkan bibir. Anutlah visioner Menteri Susi dari kecil, remaja, dewasa, muda, tua, hingga ribuan tahun ke depan. Susi berani melakukan pilihan “gila” dan memimpikan hal besar yang dinilai “gila” menurut segelintir pakar.

Filosofi keheranan sebagai warisan buah kecerdasan dari filsafat Yunani seakan-akan menaungi langkah Susi. Susi kecil hobi berdiri berlama-lama di tepi pantai Pangandaran. Heran, kagum, takjub ia menatap laut lepas tanpa batas. Angan melambung tinggi, ia membayangkan diri sebagai ratu penjaga laut dengan sekian kapal selam yang bisa mengawasi rahasia alam di palung samudra. Ketika dewasa, ia sungguh menguasai luasnya lautan dan dipercaya menjaganya (hlm 2).

Dari SD, SMP, hingga kelas II SMA, Susi berprestasi. Ia jago berbahasa Inggris, bahkan suka belajar bahasa Belanda. Kosakata dan dialog bahasa asing diperoleh dari hobi membaca novel classic romance seperti karya-karya William Shakespeare dan Agatha Christie. Ia haus literasi seperti komik, majalah, seri filsafat, Mahabarata. Gilanya lagi sewaktu kelas VI SD, ia sudah menyukai filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre. Jusuf Muda Dahlal, Frederich Engels, Das Kapital Karl Max, Adam Smith, Il Principe-nya Machiavelli pun dibacanya (hlm 44). Junilnya Susi ini diinisiasi teman sebangku kelas I SMA, Dwikorita Karnawati, yang menjadi Guru Besar Teknik dan Longsoran serta mantan rektor UGM.

Susi remaja kukuh meninggalkan bangku kelas II SMA, padahal orangtuanya juragan tajir. Susi membundel banyak impian. Berawal dari jatuh-bangun bakul ikan, ia menjadi pengusaha sukses yang bisa mengekspor sendiri hasil tangkapannya. Impian terbesarnya memiliki pesawat terbang sendiri untuk mengoperasikan usahanya. Fakta mencatat, Susi sukses memiliki puluhan pesawat terbang perintis, Cessna Caravan, dengan jenama Susi Air beserta sekolah penerbangan, Susi Flying School berdiri tahun 2008. Ia sukses mengekspor hasil tangakapan lautnya dengan merek Susi Brand.

Susi disindir tidak nasionalis. Nalarnya, dari 179 pilot, 175 pilotnya asing. Ia beralibi cerdas, banyak pilot Indonesia lulusan terbaik tidak berminat gabung Susi Air. Mereka bermental feudal dan gengsi. Mereka prestisius jika langsung memiloti Boeing Airbus. Mereka enggan terbang ke daerah-daerah pelosok Indonesia. Pilot asing bervisi beda: Indonesia eksotis, Susi Air menjamin kesejahteraan lebih. Manajemennya banyak orang asing. Butakah anak bangsa tercinta?

Hikmah kesuksesan ini, Susi menjamin dengan resolusi kritis. Memimpikan hal besar (yang menurut sebagian orang) dianggap “gila” dan tak mungkin terwujud bukanlah sesuatu yang salah. Kesalahan terbesar justru jika kita hanya berhenti pada mimpi tanpa mau berusaha mewujudkan impian. Pendidikan memang penting, tetapi mengarungi hidup yang terpenting adalah integritas atau kejujuran dan dibarengi sikap disiplin dalam segala hal (hlm 51).

Buku ini mengantar pembaca ke tapak-tapak Susi masa kecil, keberanian, jiwa kepemimpinan, kewirausahaan, dan empati pada Indonesia. Misi-visi Susi: kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas; “jalasveva
jayamahe”
, di laut kita jaya!***

Anton Suparyanta, alumnus FIB UGM, editor buku PT Intan Pariwara Klaten-Jateng

Cerpen

Setelah Tersesat di Perut Ju

Cerpen Jeli Manalu

Rindu adalah rasa sakit yang kita pelihara. Semakin sakit semakin nikmat, dan percintaan ini memang mustahil sebab kita di luar manusia. Akan tetapi manusia selalu ada dalam pikiran serta perasaan kita, hingga suatu waktu kita ingin seperti mereka, yang sesekali berdebat, beberapa kali marah serta merajuk, setelahnya hidup kembali tak berjarak. Hanya, kamu lebih suka berkelana daripada tinggal. Datang kadang-kadang, berangkat tak terencana lalu aku tetap bertahan di belakang rumah lelaki itu. Apa memang karena kita berbeda, ataukah si pencipta kita sengaja membuat kita begitu padahal kita juga ada hasrat ingin dimiliki atau memiliki selamanya.

“Tetapi, aku merasa belum pernah jadi diriku,” katamu, tenang, namun ada getir yang perlu kupahami.

“Kenapa?” tanyaku.

“Aku selalu terombang-ambing. Diombang-ambing masa, diombang-ambing situasi.”

“Tapi kamu lebih beruntung dariku. Kamu bisa pergi semaumu. Ke langit, ke hutan, ke laut, ke mana saja. Kamu bisa masuk ke rumah orang-orang tanpa ada melarang. Barangkali, kamu satu-satunya yang berhak menikmati isi bumi. Aku sempat berpikir, kamu sudah tak lagi ingat padaku.”

“Kenyataan aku selalu kembali. Itu karena aku merindukanmu.”

“Tapi kamu pergi terlalu lama. Sangat lama. Aku, kamu tahu? Aku kesepian.”

Mendengarku yang merajuk, kamu segera melingkupiku, menjelajahiku mulai dari  pinggir kolam ke tengah kolam, ke tumbuhan kecil yang daunnya disinggahi sepasang capung. Aku ingin selamanya seperti ini: merasakanmu dan kurasakan kau juga merasakanku.

“Tetapi kamu lebih beruntung dariku,” kilahmu lagi.

“Kenapa?”

“Apa kamu tahu kesedihan macam apa yang paling nikmat di dunia?”

Kurenungkan kata-katamu, rasanya belum pernah kamu bicara semanusiawi ini. Kita memang bukan manusia. Bukan hewan. Bukan pula tumbuhan.

“Ketika kamu tak dapat menangis sementara kamu sangat ingin menangis.”

“Ummmm….”

“Um?”

“Ketika kamu tak dapat menangis sementara kamu sangat ingin menangis? Kalimat yang aneh.”

“Kamu tidak mengerti?”

“Aku tidak mengerti. Bahasamu terlalu sulit dicerna. Tapi ngomong-ngomong dari mana kamu dapat kata-kata itu? Apa kamu pernah menyusup ke sebuah universitas seperti yang pernah kita dengar dibicarakan lelaki itu lalu kamu masuk kelas dan pura-pura jadi udara dingin agar ruangan tidak berisik oleh kipas kertas digunakan para wanita, hanya supaya kamu bisa menguping suatu ilmu penting?”

“Kadang-kadang.”

“Lalu ilmu apa yang kamu sukai?”

“Banyak. Mungkin salah satunya filsafat.”

“Apa itu filsafat? Kedengarannya menarik.”

“Aku tidak tahu. Orang-orang menyebutnya begitu.”

 Kita lalu tertawa dalam bahasa kita di mana orang-orang bisa menyebutnya sebagai desau angin, bisa pula gemericik air. Kemudian sesosok lelaki bermuka muram muncul dari mulut pintu dengan kantong hitam yang langsung dicampakkan pada kita.

Glasakk! Glkglkglkglkglk.

Lelaki itu tak memperhatikan kita. Tapi kita melihat tangan gadis kecil ditarik-tarik wanita bersepatu pantofel.

“Eis, ikut Ibu hari ini,” kata wanita yang ujung kiri roknya membuat kerucut sampai setengah jengkal di atas lutut.

“Eis harus ikut Ibu hari ini,” katanya, sekali lagi.

Gadis kecil itu menarik tangan sendiri dengan gaya anak-anak yang lagi tak suka diusik.

“Eis ikut Ibu hari ini!”

“Eis dengan ayah saja, Bu.”

“Tidak bisa. Eis sudah seminggu dengan ayah.”

“Tapi Eis mau sama ayah ….”

Muka si wanita menjadi jelek walau tadi riasannya membuat ia kelihatan menggoda, walau tadi, barangkali, lelaki itu ingin mengatakan hal yang telah lama dipendam-pendam hingga debaran jantungnya begitu keras begitu dahsyat. Adakah lelaki itu rindu, tanyaku. Kamu tidak jawab. Wanita itu justru tampak semakin jengkel. Buru-buru ia mendekat ke si lelaki. Dari bibir ungunya melengkinglah suara, “Ju, kamu bilang dong sama Eis. Bujuk dia. Bujuk dia!”

Lelaki yang kemudian kita kenal sebagai Ju mulai melunak. Ia membujuk-bujuk lengan gadis bermata jernih dengan rambut dikepang dua. Ia elus-elus kepalanya, dan bahkan menari lucu seperti seorang balerina.

“Hari Sabtu Eis Ayah jemput. Sekarang Eis temani Ibu dulu, ya?”

“Tapi ….”

“Sabtu pasti Ayah jemput.”

“Janji?”

“Janji.”

Setelah Eis menautkan kelingking ke jemari Ju, Ju mengantar Eis ke Toyota Starlet merah tua. Mobil pun melaju. Ju berdiri di pintu memandangi dua orang pergi bersama benda yang kini hanya tampak seperti tungau bergerak. Satu orang yang akan selamanya ia cintai—gadis itu. Dan seseorang yang pernah mencintainya—wanita itu.

“Aku sudah sangat sering menyaksikan hal-hal seperti ini,” katamu sendu. “Manusia memang begitu. Perasaan manusia selalu berubah-ubah.”

“Berubah-ubah? Apa maksudnya dengan perasaan yang selalu berubah-ubah?”

“Sewaktu jatuh cinta, ada kalanya jadi durhaka. Yang satu lari dari rumah masa kecil. Satunya lagi menyangkal ayah-ibu. Manusia suka menipu diri: berseru atas nama cinta seolah paham apa itu cinta. Pada kadar terendah cinta tak lebih dari selembar keset usang yang tinggal menunggu waktu untuk dilemparkan. Si lelaki letih bekerja. Si wanita lelah mengurus anak, mengeluhkan atap bocor, cucian selalu banyak serta punggung kerap sakit. Keduanya jenuh. Keduanya menghabiskan waktu untuk urusan yang ujung-ujungnya menimbulkan kalimat yang berakhir dengan tanda seru. Akibatnya mereka lupa cinta. Mereka lupa untuk bercinta.”

“Tapi kita tidak akan begitu, ‘kan?” tanyaku, meyakinkanmu, dan mungkin kamu menganggapku mulai manja lagi. Karena aku terus membicarakan betapa suramnya kehidupan para manusia, betapa tidak jelasnya perasaan orang-orang dan ternyata hati manusia bisa juga berpindah-pindah: berurbanisasi, bertransmigrasi bahkan berimigrasi, kamu tahu harus melakukan apa. Kamu mendekapku, erat-erat, semakin erat, yang bila orang melihat kita maka akan tampak semacam ombak-ombak kecil: peristiwa keintiman kita.

**

Sabtu kali ini terasa sejuk sekali. Meski begitu langit barat serupa kain satin berwarna keemasan. Seekor burung keluar-masuk pohon, sementara para berudu dan sekumpulan organisme menyembunyi di tubuhku yang kembali dingin.

Lelaki itu masuk ke rumah. Terdengar suara pintu yang lagi marah, entah memukul atau dipukul. Tapi itu sama-sama pukulan. Lalu kupanggil kamu yang tak lagi kurasakan bersamaku.

“Cinta!” teriakku, ke pohon kelapa yang buahnya sangat banyak. Aku mengira kamu ada di sana. “Cintaku, kembalilah! Sini, sini temani aku saja.”

Ju keluar lagi. Dibantu cahaya mengintip dari mulut pintu, kulihat lelaki itu meremas perut. Aku mencium aroma alkohol yang berahi. Ia lemparkan botol bir kosong kepadaku. Juga, ia tumpahkan sekantong puntung rokok bau bercampur lendir makanan amis. Dasar Ju sialan! Senangnya membuang sampah sembarangan.

“Tapi di mana kamu, Cintaku?”

Ju berguling-guling. Tampaknya ada sesuatu membuat keributan di ulu hati Ju. Mungkin tidak persis di ulu hati, tetapi ia kesakitan di bagian bawah dada. Dan pula, suara aneh di mulutnya menjelaskan kalau ia ingin muntah sepuasnya, meski muntah agaknya menundah-nunda terjadi.

 Ju mengambil batu, melemparkannya ke rumah tetangga. Sudah tiga kali Ju melakukannya. Ketiga sangat keras. Saat mengambil batu keempat si tetangga pun datang. Tetangga itu sangat damai hatinya. Air wajahnya teduh dan sudah sangat paham akan Ju.

“Kau hanya kena angin duduk. Jangan terlalu banyak begadang dan hiduplah baik-baik,” kata si tetangga.

Saat larut akan apa yang kulihat di teras belakang rumah Ju sekonyong-konyong sentuhan deras menjalari tubuhku. Aku kaget, “Maafkan aku, Sayangku,” katamu, dengan nada menyesal, “Aku mencoba masuk ke tubuh Ju, dan ternyata tersesat selama berjam-jam dalam perutnya.”

“Di perut Ju? Untuk apa melakukannya?”

“Aku ingin tahu inti masalahnya. Lelaki itu pernah selingkuh. Si wanita membalasnya dengan cara berselingkuh. Tetapi Ju tidak tahu kalau pembalasan itu cuma bohongan.”

“Bagaimana kamu tahu itu?”

“Sebelum menerobos tubuh Ju aku mencari wanita itu lebih dulu.”

Aku tercengang, kaget dan tidak habis pikir. Kehidupan manusia sungguh sulit dipercaya. Berputar-putar, berkelok-kelok, bergelombang, tapi itu kenyataan.

Setelah gelap berlalu hari Minggu tiba lagi. Embun meninggalkan bunga pecah seribu. Matahari memantul dari jendela nako. Kita melihat Ju membuka pintu dalam keadaan sehat walafiat.

“Ayah!” gadis manis tiba-tiba muncul dan langsung melompat ke pangkuan Ju.

“Kenapa Eis tidak tunggu sampai Ayah jemput?”

“Ibu ajak Eis, Ayah. Lihat, Ibu beli balon besar. Ibu bilang, kita akan mengirimnya ke langit.”

Ju menatap lama ke wanita yang berdiri di tengah halaman. Ada tiga balon di tangannya. Merah semuanya. Di bagian luar kita membaca tulisan: Ju, Sis, Eis. Wanita itu memegang balon bertanda ‘Ju’. Ju memegang balon bertuliskan ‘Sis’. Anak itu memegangi nama sendiri. Kita turut bahagia meski berdebar-debar menunggu peristiwa berikutnya.

Mula-mula balon melewati jendela, lalu atap genteng, lalu sejajar dengan antena televisi. Aku, selamanya kolam kecil di belakang rumah Ju yang tak pernah surut merindukanmu. Kamu pengembara yang tak mau luluh. Hai, angin, kasihku, sebagaimana kedirianmu yang bukan dirimu sendiri, aku bergejolak menatapmu terombang-ambing bersama tiga balon besar berwarna merah menuju langit. **

Riau, Juni 2016-2018

Jeli Manalu lahir di Padangsidimpuan, 2 oktober 1983. Tinggal di Rengat-Riau. Buku kumcer terbarunya Kisah Sedih Sepasang Sepatu. Bisa dihubungi di WA: 085278619906. 
Email: [email protected],  Facebook: Jeli Manalu, IG: @jelimanalu



Redaksi ideide.id memberikan honorarium kepada penulis yang karyanya dimuat meskipun tidak banyak.
Kirim karyamu sekarang juga di SINI

Cerpen

Ayah Saya

Cerpen: Artie Ahmad

Banyak orang mengatakan, saya ini anak yang jauh dari kata beruntung. Ibu saya pergi entah ke mana, meninggalkan saya yang masih butuh kasih sayangnya waktu itu. Pagi belum benar-benar datang, ketika perempuan yang merasa bernasib paling malang di dunia itu mengendap-endap perlahan. Satu tas yang sesak oleh pakaian dia tenteng di pundak sebelah kanan. Saya yang melihatnya pergi hanya menatapnya diam-diam. Ibu menaruh jari telunjuk tangan kanannya di bibir. Meminta saya agar tak ribut.

Ayah masih bergelung di dalam kain sarung ketika ibu hilang ditelan kelokan jalan. Saya masih menatap kepergiannya, meski bayangnya tak tampak lagi. Itu kali terakhir saya melihat ibu, untuk seterusnya, saya tak pernah berjumpa lagi dengannya. Hanya terkadang ibu datang menyambangi saya dalam mimpi. Di dunia nyata, ia sama sekali tak pernah muncul.

Selepas kepergian ibu di pagi buta itu, ayah menjadi lelaki yang selalu dirundung duka berkepanjangan. Entah apa yang dirasakan ayah, saat mendapati ibu ‘minggat’, ayah tak mengucapkan sepatah kata pun. Dia sering duduk berlama-lama di beranda, mungkin menunggu ibu pulang, atau pak pos yang membawa kabar dari ibu.

Ayah menjadi sosok yang berantakan. Ia masih bekerja di pelelangan ikan, tapi lepas bekerja, dia sering menghabiskan waktunya di kedai tuak. Sejak kepergian ibu di pagi buta itu, ayah tak lagi mengajak saya bicara. Ayah masih menyiapkan makan, dan menyekolahkan saya sebagaimana anak-anak pada umumnya, tapi dia tak pernah bercengkerama atau sekadar berbincang dengan saya. Mungkin ayah marah dan kesal kepada saya lantaran saya melihat ibu pergi, tapi tak berusaha menahannya, tapi saya tak pernah menanam benci kepadanya. Meski ayah berubah, tapi saya berusaha tetap berada di sampingnya, walau ternyata tak mudah.

***

Sebelum ibu pergi, rumah kami senantiasa terbakar. Bukan terbakar sebagaimana mestinya, adanya kobaran api yang melalap dinding papan rumah kami. Bukan terbakar seperti itu. Rumah kami kerap terbakar lantaran amarah yang sering tersulut dari kepala ayah dan ibu. Keduanya sering bertengkar, baik karena hal kecil maupun hal yang dirasa genting. Apapun bisa menyulut amarah hingga berkembang menjadi pertengkaran. Ibu seringkali mempermasalahkan periuk yang sering dingin ketimbang mendidih dengan nasi yang ditanak di dalamnya. Api memang sering menyala di tungku, membakar kayu hasil mengais di hutan pinggir desa, tapi hanya untuk memanaskan air, bukan untuk memasak nasi atau sayur. Jikapun ada nasi, tapi kami hanya memakannya dengan garam atau ikan asin pemberian nelayan di pelelangan. Ayah dianggap tak becus bekerja. Ibu selalu marah, mengoceh tentang apa saja yang dirasa tak sesuai dengan hatinya.

            “Cobalah abang lebih giat bekerja! Biar kita tak melulu memanaskan air. Lagipula anak kita itu tak mungkin hanya diberi makan dengan garam dan ikan asin.” sungut Ibu satu hari ketika ayah pulang tak membawa uang cukup.

            “Aku sudah giat bekerja, tapi rezeki hanya sebatas itu. Mau bagaimana lagi?” tanggap ayah lantas meninggalkan ibu yang masih bicara.

Pertengkaran pecah lagi di penghujung sore itu. Ibu terus bicara sekenanya. Ayah tak mau begitu saja menerima semua cercaan istrinya yang keras meruntut perihal kerjanya selama ini. Meski ayah sudah merasa membanting tulang sekuat tenaga. Tapi upah menjadi buruh pengangkut ikan di pelelangan memang tak seberapa. Bahkan ayah sering menganggur, jika jumlah ikan yang didapat nelayan tak memuaskan. Ayah  hanya pekerja paruh waktu di pelelangan ikan, yang bisa saja diberhentikan sewaktu-waktu.

Selepas bekerja ayah mengambil air di sungai, atau mencari kayu bakar di hutan. Kayu bakar itu ditumpuk di samping rumah. Sesekali ayah mencari pekerjaan sampingan lainnya, untuk menambah pendapatan, tapi seringnya ayah tak mendapatkan apa-apa setelah seharian mencari peruntungan.

Saya masih sering mendengar ibu berkeluh kesah. Jika ada yang bisa memenangi lomba mengeluh dan marah, mungkin ibulah orangnya. Ayah yang terasa tertekan lebih banyak diam. Meski begitu, rumah kami tetap saja masih terbakar oleh amarah oleh keduanya. Amarah yang meletup-letup, seakan siap menghanguskan seisi rumah itu baru redup ketika ibu meninggalkan rumah diam-diam itu.

***

Banyak orang membujuk saya agar saya meninggalkan ayah Mereka mengatakan bahwa kemalangan saya sebagai anak harus diakhiri. Mereka juga mengatakan bahwa pada akhirnya ayah akan menjadi beban saya suatu hari nanti. Terlebih dia punya kebiasaan mabuk. Meski dia akhirnya berhasil menjadi salah satu pelelang ikan, tak menyurutkan pandangan mereka.

Meski begitu ayah ttetap tak mengajak saya berbicara. Sudah sekian tahun berlalu, tapi dia tetap membisu. Saya yang justru mengajaknya berbicara, meski tak mendapat jawaban dari bibirnya, tapi saya tahu ayah selalu mendengarkan apa yang saya katakan. Saat-saat saya merasa hidup tertekan, sesekali saya memikirkan omongan orang-orang. Tapi kemudian saya menepiskannya. Betapa kurang ajarnya saya bila sampai meninggalkan ayah sendirian.

Ayah sangatlah keras kepala. Banyak sudah nasihat yang diberikan sanak saudara kepadanya. Tapi ternyata tuak dan kemabukan tetap dianggapnya sebagai  pelampiasannya. rang-orang sudah sering melihat ayah terduduk setengah sadar di pinggiran jalan. Sebagian dari mereka ada yang berusaha membangunkan ayah, tapi kebanyakan tak peduli. Saat itulah saya yang membangunkan, lalu membawanya pulang. Tubuh ayah yang tinggi besar sangat berat. Saya menarik kerah bajunya kuat-kuat sembari, memanggil-manggil namanya.

“Biarkan saja, nanti juga bangun sendiri!” teriak Wak Ajo, pemilik warung kopi di seberang jalan.

            “Siapa dia? Tetanggamu?” Tanya seorang pengendara sepeda motor yang berhenti.

            “Dia ayah saya,” jawab saya sembari terus berusaha membangunkan ayah.

Sampai waktunya kesadaran ayah terjaga, dan saat itulah dia akan berusaha bangun lalu berjalan terhuyung-huyung. Sebisa mungkin saya memapah ayah. Tapi tubuh ayah yang besar membuat saya kewalahan hingga beberapa kali kami terjatuh. Kejadian seperti itu hampir terjadi tiap hari. Melihat ayah terkapar setengah sadar, menarik kerah bajunya untuk membangunkannya, dan memapahnya pulang tak ubahnya hal rutin yang selalu saya kerjakan saban hari.

Saya kerap berpikir, apa yang harus saya kerjakan untuk ayah. Beberapa tahun lagi usia saya akan matang. Apakah ayah juga akan seperti ayah-ayah lainnya, yang merasa kehilangan ketika putrinya dipinang seorang pemuda? Tapi selama ini ayah mendiamkan saya, meski dia masih bertanggung jawab merawat saya.

Meninggalkan ayah dan pergi ke kota terkadang menjadi primadona di rencana saya. Tapi ketika melihat ayah seakan terkungkung dalam kesepian panjang, lagi-lagi keinginan itu saya tepis. Ayah mungkin bukan ayah terbaik di atas dunia, tapi setidaknya dia tidak meninggalkan saya selama ini. Ibu yang selama ini saya harapkan kembali, sampai saat ini tak mengirim sebuah kabar pun. Entah di mana dia sekarang, tak ada yang tahu, tak ada yang pernah melihatnya lagi.

Orang-orang mengatakan mungkin ayah saya hampir gila. Dalam waktu-waktu tertentu para tetangga melihat ayah bicara sendiri, padahal saat itu dia sedang tidak mabuk. Saya sering mendapat aduan macam-macam tentang ayah. Setelah mendapat aduan begitu, biasanya saya mengajak ayah bicara, meski tanggapannya selalu sama, hingga saya seperti sedang bermonolog.

***

Hari itu ayah tampak lain. Dia berdandan rapi, tak seperti biasanya. Saya hanya mengamatinya dengan tatapan sedikit takjub dan heran.

            “Ayah akan pergi sebentar. Hari ini ibumu sepertinya pulang,” ucap Ayah perlahan.

Dadaku bergetar. Kali itu ayah mengajak saya berbicara. Saya seperti melihat ayah dalam dimensi yang berbeda. Perlahan langkah saya mengikutinya dari belakang. Di tengah jalan saya melihat ayah tertawa-tawa sendiri, dia seperti tak menghiraukan orang-orang di sekitarnya. Sesekali ayah bicara, meski tak ada lawan bicaranya. Saya semakin cemas melihatnya. Terlebih ketika ayah berlari ke tengah jalan tepat ketika sebuah mobil berwarna hitam melintas cepat. Ayah terpental lalu terkapar tak sadarkan diri. Orang-orang seketika berhamburan berlari mendekat. Saat itu tak ada yang bisa saya lakukan, selain menarik kerah bajunya dan berucap berulang-ulang, “Ayo bangun, Ayah. Kita pulang..”

***

Artie Ahmad, lahir dan besar di Salatiga. Novel terbarunya ‘Sunyi di Dada Sumirah’ Penerbit Buku Mojok, Agustus 2018. Kumpulan cerita pendek pertamanya segera terbit.


Redaksi ideide.id memberikan honorarium kepada penulis yang karyanya dimuat meskipun tidak banyak.
Kirim karyamu sekarang juga di SINI

Film, Resensi

Setan Jawa: Merekam Pesugihan

Oleh: Bima Widiatiaga

Usaha untuk mendokumentasikan pesugihan lewat tulisan ilmiah, sudah dilakukan oleh beberapa penulis. Tim Lembaga Riset Kebudayaan Areng-Areng, meneliti tentang ritual pesugihan di Gunung Kawi. Luzman Abdau, meneliti tentang ritual pesugihan di Gunung Kemukus. Terakhir, adalah Onesius Otenieli Daeli, yang menulis pesugihan dalam perspektif antropologis.

Meski tak banyak, setidaknya pesugihan terekam dalam kajian ilmiah, tak hanya berada dalam pusaran folklore. Pada tahun 2016, usaha untuk merekam pesugihan, tercipta dalam bentuk visual. Adalah Garin Nugroho, sineas termahsyur yang telah malang melintang di dunia sinema Indonesia, yang membuat film bertema pesugihan, berjudul Setan Jawa.

Film ini dibuat eksklusif, dibuat untuk merayakan 35 tahun Garin Nugroho dalam pusaran perfilman Indonesia. Film ini juga diputar secara eksklusif, tidak diputar di dalam bioskop-bioskop. Dan yang terpenting, film ini bukan film komersil yang diharuskan mencari penonton sebanyak jutaan orang.

Film Setan Jawa, pernah diputar di Teater Jakarta, Teater Besar ISI Surakarta, Auditorium Universitas Sanata Dharma, Erasmus Huis Jakarta dan diputar pula dalam gelaran International Gamelan Festival (IGF) 2018. Selain itu, Setan Jawa juga melanglang buana di luar negeri, diputar di Australia, Singapura, Inggris, Kanada, dan Jerman.

Kembali ke kata eksklusif. Ya, film ini tidak ada di situs unduhan film ilegal. Misal ada, dijamin tak sampai lima menit, anda langsung memberhentikan film ini setelah anda unduh. Setan Jawa merupakan film bisu hitam putih, untuk merasakan atmosfer mistisme film ini, anda harus mendengarkan pula dengan iringan gamelan dan suara merdu pesinden. Cara untuk melihat film ini adalah dengan menyaksikannya langsung. Beruntung saya sudah menyaksikan pertunjukan film ini pada 15 Juli 2017 di Teater Besar ISI Surakarta.

Film Setan Jawa merupakan produk kolaborasi seni antara seni film, tari, musik, dan teater. Ditambah pula unsur sejarah dan mistisme Jawa sebagai story-telling film ini. Garin Nugroho bekerja sama dengan para seniman terkemuka untuk menggarap Setan Jawa. Rahayu Supanggah, komposer gamelan terkemuka seantero negeri, menggarap latar musik yang menjadi kunci film Setan Jawa. Rahayu Supanggah memimpin puluhan pengrawit dan pesinden seperti Peni Candra Rini. Sementara untuk penata tari, digarap oleh Luluk Ari Prasetyo dan  Heru Purwanto. Lalu, Asmara Abigail didapuk sebagai tokoh utama film Setan Jawa.

Unsur cerita pesugihan menjadi hal yang tak kalah penting dalam film Setan Jawa. Garin Nugroho pun melakukan riset mendalam dan mengorek pengalaman masa kecilnya tentang pesugihan. Pesugihan Kandang Bubrah menjadi tema pesugihan yang diambil. Pesugihan tersebut merupakan pesugihan yang dipilih oleh seseorang untuk mencari kekayaan secara singkat. Tumbalnya adalah orang itu sendiri yaitu bagian tubuh orang tersebut akan dijadikan soko guru rumah yang ditinggali bila perjanjian pesugihan dilanggar atau ahli waris tidak kuat. Hal ini dilukiskan oleh Cipto Waluyo dalam lukisan Pesugihan Kandang Bubrah, medio 1940-an.

Film Setan Jawa menampilkan sosok seorang Asih (Asmara Abigail) sebagai sosok putri keturunan ningrat di medio awal abad ke-20. Asih jatuh hati terhadap seorang lelaki yang kelak akan menjadi suaminya. Namun, sang suami hanyalah seorang kawula alit dengan ekonomi pas-pasan. Pekerjaannya adalah pembuat dan penjual sapu di pasar. Awal perjumpaan mereka adalah saat Asih sedang berbelanja di pasar. Sang lelaki melihat keanggunan dan kecantikan Asih saat perempuan itu turun dari delman. Asih dan sang lelaki saling bertatapan muka, jatuh cinta pada pandangan pertama.

Sang lelaki pun mencoba untuk melamar Asih kepada sang Ibu. Namun, sang Ibu menolak karena calon suami Asih adalah seorang rakyat biasa yang miskin. Sang lelaki tidak patah arang, dia mencoba untuk menggaet Asih dengan menaikan derajatnya. Ya, tidak punya unsur darah biru, ia pun menaikan derajatnya dengan menjadi orang kaya. Ia pun melakukan ritual Pesugihan Kandang Bubrah. Tak lama, ia melamar lagi sang kekasihnya. Ibunya pun merestui Asih dengan calon suami karena status kekayaannya.

Namun, prahara menimpa kedua pasangan suami istri itu di tengah perjalanan perkawinan mereka. Si suami jatuh sakit, rumah mereka sering diganggu setan, dan bagian-bagian dari rumah mereka banyak yang hancur tanpa sebab. Asih merasakan penderitaan akibat sang suami yang meraih kekayaan dengan cara pesugihan. Akhirnya, sang suami meninggal, tidak kuat menghadapi terkaan akibat efek samping pesugihan. Jiwa sang suami akhirnya dijadikan tumbal pengisi soko guru rumahnya.

Dalam film Setan Jawa ditampilkan pula simbol-simbol pesugihan seperti bulus dan yuyu. Tembok rumah yang semakin lama semakin terkelupas juga menjadi simbol bahwa perjanjian Pesugihan Kandang Bubrah dilanggar. Terakhir, Asmara Abigail didatangi oleh setan-setan yang mengganggu dan hendak mengambil nyawa suami Asmara Abigail yang dulunya melakukan ritual Pesugihan Kandang Bubrah. Juga yang tak kalah penting, unsur-unsur budaya Jawa seperti lampah dhodhok, sikap sembah, dan penggambaran perbedaan status sosial masyarakat Jawa, ditampilkan dalam Setan Jawa. Hal ini membutkikan bahwa Setan Jawa merupakan film yang berupaya menampilkan budaya Jawa klasik yang sekarang jarang dijumpai.

Kolaborasi unsur seni dan folklore pesugihan menjadikan film ini dirasa istimewa untuk disaksikan. Meskipun Setan Jawa merupakan film bisu tanpa dialog, penonton bisa mengerti alur cerita dari gerak tari di dalam film tersebut ditambah dengan alunan gamelan dan suara sinden yang mencekam. Dan yang terpenting, dari film Setan Jawa, terdapat usaha dari berbagai pihak untuk merawat dan merekam kebudayaan Jawa. Film Setan Jawa menjadi historiografi dalam bentuk visual dan layak untuk diapresiasi.

Bima Widiatiaga, Lahir di Pontianak, 10 Februari 1994. Merupakan lulusan S1 Ilmu Sejarah UNS. Aktif di kegiatan keilmuan sejarah, seperti pernah aktif di Forum Mahasiswa Sejarah UNS (2015-2016) dan komunitas sejarah Solo Societeit. Bima juga menjadi bagian dalam penulisan buku “Lokananta: Sejarah dan Eksistensinya”

Redaksi ideide.id memberikan honorarium kepada penulis yang karyanya dimuat meskipun tidak banyak.

Kirim karyamu sekarang juga di SINI