Cerpen

Kami Harus Pulang ke Rumah

Cerpen Aris Rahman P. Putra

Jep adalah salah satu teman yang dapat kupercaya, maka aku  berinisiaif mengajaknya bersama Med untuk melihat rumah Bik Merian, tempat yang sebetulnya terlarang untuk kami kunjungi. Ben kerap menceritakan tentang kebiasaan mengerikan Bik Merian.

“Kau tahu, Bik Merian suka dengan anak kecil seperti kalian! Kalian akan direbus dalam sebuah kuali besar dan akan dijadikan sop bening!” kata Ben.

“Mengapa ia melakukan itu?” tanya Med agak gemetar.

“Untuk dijadikan ramuan awet muda!”

Apa yang dikatakan oleh Ben tentang Bik Merian membuat Med berjanji untuk tak pernah bermain di sekitar rumahnya, apalagi sampai memasuki pagar. Tapi itu sama sekali tidak menurunkan rasa penasaranku. Kupikir ia sedang berupaya membohongi kami. Sama seperti kebohongannya tentang danau di belakang sekolah yang menjadi tempat tinggal Kadal Buntung atau keberadaan Macan Berkepala Manusia di hutan Jati.

Maka dari itu, pagi-pagi sekali aku mengajak Med dan Jep untuk mengintai rumah Bik Merian. Tapi sebagaimana bisa ditebak, Med menolak ajakanku mentah-mentah.

“Aku tak ingin dijadikan sop bening!”

“Tak akan ada yang menjadikanmu sop bening, Med!”

“Apa kau lupa apa yang pernah diceritakan Ben?”

“Apa kau benar-benar percaya apa yang dikatakan Ben?”

“Oh, ya, Tuhan, apa kau tak percaya apa yang dikatakan Ben, Ris?”

“Ayolah … apa kau tidak penasaran dan ingin membuktikannya sendiri?”

Sementara aku dan Med berdebat, Jep masih terdiam memandangi setumpuk buku bacaan yang ada di kamar kami. Ia memerhatikan sampul dan membuka beberapa buku dan tak lama kemudian menaruhnya kembali di tempat semula.

“Gimana menurutmu, Jep?” tanyaku.

Jep tampak kaget dan segera mengalihkan pandangannya dari tumpukan buku itu. “Oh, Ris. Kau tentu tahu di sana juga ada banyak kucing garong!”

“Apa yang perlu ditakutkan dari kucing garong?”

“Kucing garong bisa lari kencang, memiliki kuku yang cukup tajam untuk mencongkel bola matamu, dan memiliki taring seperti pisau untuk mencincang daging empuk seperti punya kita.”

“Dari mana kau dapat informasi seperti itu?” tanya Med.

            “Jangan bilang kau mendengarnya dari Ben?” potongku.

“Aku memang mengetahui hal itu dari dia. Dia tinggal di sini lebih dulu daripada kita bertiga dan dia mengenal desa kecil ini seperti ia mengenal saudaranya sendiri.”

Mendengar jawaban itu aku sedikit muak. Memang benar bahwa Ben tinggal di daerah ini lebih dulu  dan juga ia setahun lebih tua dari kami. Beberapa saat lalu ia berkata padaku bahwa ada Kadal Buntung di danau belakang sekolah. Aku yang tak langsung percaya pun sepulang sekolah langsung pergi mengamati danau hingga langit nyaris gelap, tapi aku hanya melihat ikan kecil-kecil dan kodok dan sama sekali tidak melihat kadal raksasa berwarna hijau yang menyembul dari dalam air. Mulai sekarang, selama apa yang dikatakan Ben tak terbukti, aku tidak akan memercayai apa pun yang keluar dari mulutnya. Seseorang tidak bisa lagi dilarang melakukan sesuatu tanpa diberi penjelasan mengapa ia tak boleh melakukan hal tersebut, apalagi diberi penjelasan yang sama sekali tidak masuk akal, itu sama saja pembodohan! 

“Baik, lupakan soal apa yang telah dikatakan Ben,” kataku kemudian. “Bagaimana kalau kita membuktikannya sendiri?”

“Apa kau sudah gila, Ris?” kata Med.

“Tidak, tidak, aku bakal menyusun strategi agar kita bisa tetap dalam kondisi aman. Atau kalau perlu, aku akan mengajak Ben.”

“Baiklah, tapi ingat, kita mesti sudah pulang sebelum langit gelap.” kata Jep sambil menatap langit dari jendela kamar

Sebelum genap pukul tiga siang, kami dan Ben sudah sepakat untuk melakukan penyelidikan terhadap rumah Bik Merian. Pada awalnya ia bersikeras tak mau menemani kami karena ia tak mau berakhir menjadi sop bening. Ia mengatakan kembali pada kami bahwa Bik Merian adalah seorang dukun yang menguasai ilmu tenung, lalu bersembunyi ke desa kami untuk melarikan diri setelah membunuh seorang gadis berusia 12 tahun dan merebusnya menjadi sop bening untuk ramuan awet muda. Ia berkata bahwa apa yang akan kami lakukan cukup gila dan berbahaya. Namun, setelah aku memaksanya dengan sedikit menyindir bahwa ia hanya seorang penakut yang hobi membual, ia kemudian setuju untuk ikut dengan kami. Karena bisa jadi penyidikan ini akan benar-benar sangat berbahaya bagi kami, maka masing-masing dari kami berinisiatif untuk membawa barang-barang yang mungkin akan sangat dibutuhkan saat penyelidikan.

Ben membawa segenggam bawang putih yang ia ambil dari dapur rumahnya. Ia berkeyakinan bahwa Bik Merian tidak akan suka dengan anak yang bau bawang. Jadi ketika nanti ia tertangkap oleh Bik Merian, Ben akan buru-buru makan bawang putih itu supaya Bik Merian melepaskannya dan tidak menjadikannya sebagai sop bening. Itu ide yang baik, setidaknya bila apa yang diperkirakan Ben benar, kami bisa minta bawang putih kepadanya dan kami bisa menyelamatkan diri. Tapi aku sendiri tak benar-benar yakin dengan bawang putih karena kupikir itu hanya mempan untuk drakula dan Bik Merian bukan drakula. 

Jep tentu lain cerita, ia pulang ke rumah dan kembali lagi dengan membawa tasbih. Ia merasa yakin bahwa dengan membawa tasbih tersebut, ia akan terhindar dari energi yang jahat atau marabahaya apa pun yang mengancamnya. 

Sementara itu, aku dan Med memilih membawa barang-barang kesayangan kami. Aku membawa topi Timnas dan Med dengan boneka dinosaurus berwarna ungu. Jep dan Ben mengatakan kepada kami bahwa benda-benda yang kami bawa sama sekali tak akan berguna. Tapi aku dan Med sendiri memiliki alasan kenapa harus membawa barang tersebut. Ya, bila memang nantinya kami akan benar-benar menjadi sop bening. Aku dan Med sangat berharap bahwa barang-barang itulah yang akan membuat orang tua kami mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

Setelah semua sudah berkumpul di depan pagar sekolah, aku mulai menyusun rencana. Dalam hal ini, aku akan menjadi pemimpin dalam operasi yang kuberi nama “Kami Harus Pulang ke Rumah”.

“Baik teman-teman, mari kumpul,” kataku. “Jadi begini, misi yang akan kita lakukan ini sangat mudah. Yang perlu kita lakukan adalah menyusup ke rumah Bik Merian, melakukan penyelidikan, lalu pulang ke rumah sebelum langit gelap.”

“Lalu, gimana kita bisa masuk ke rumahnya?”  tanya Jep ragu. 

“Emm … kita bisa lewat pagar di samping rumahnya.”

“Bagaiamana cara kita bisa meloloskan diri dari kucing-kucingnya?”

“Astaga, tak ada yang perlu ditakutkan dari kucing-kucing itu, Jep!”

“Apa kalian tak tahu kalau kucing-kucing Bik Merian bahkan bisa membunuh anjing?” timpal Ben.

“Baiklah, kita bisa membawa beberapa batu di saku celana masing-masing.”

“Apa itu cukup?” tanya Jep.

“Setidaknya kita berempat. Kita bisa saling menjaga. Apa ada lagi yang perlu ditanyakan?”

Semua menggeleng dan kami pun segera memulai operasi yang akan kami lakukan. Rumah Bik Merian letaknya tak terlalu jauh dari sekolah kami, namun cukup terpencil dan terpisah dari rumah yang lain. Kami berjalan dengan perasaan campur aduk hingga kemudian kami melihat rumahnya yang tampak gelap dan muram, seperti istana milik penyihir dalam kartun yang tiap Minggu kami tonton. Pada dindingnya kau akan dapat melihat tanaman-tanaman hijau merambat dan pohon-pohon besar dengan dedaunan yang berserakan di halaman dibiarkan begitu saja. Pagarnya telah berkarat sementara kaca jendelanya telah pecah di beberapa bagian. Atap rumahnya berlubang di sana-sini. Dan seperti yang dikatakan Ben dan Jep,  ada beberapa kucing hitam berkeliaran di dalamnya.   

Aku masuk lebih dulu melalui celah di pagar samping, lalu disusul Jep, Med, dan Ben yang terakhir. Kami berupaya melangkah seperlahan mungkin agar tidak menarik perhatian kucing-kucing Bik Merian. Setelah sampai pada sebuah pohon, kuperintahkan mereka untuk berhenti sejenak. Aku sendiri merangkak menuju jendela yang berhadapan langsung dengan pohon tersebut dan mengintip keadaan di dalam rumah.

Kupikir, apa yang selama ini kubayangkan tentang Bik Merian tak terlalu jauh dengan apa yang kulihat sekarang. Kemuraman yang tampak di luar rumah, tak terlampau berbeda dengan apa yang ada di dalam. Sofa yang mestinya bewarna putih, dipenuhi debu-debu dan bekas terbakar di beberapa bagian. Jahitannya juga telah robek sehingga kapas-kapas bertebaran di atasnya. Mejanya penuh dengan robekan-robekan kertas.

“Bagaimana, Ris?”

Aku menoleh dan mengacungkan jempolku kepada teman yang lain.

“Ben, coba kau cek pintu belakang.”

“Aku sendiri?”

“Jep akan bersamamu.”

“Lalu bagaimana dengan kau?”

“Aku akan melihat pintu depan dan mencari pintu masuk lain. Kau ikut denganku, Med. Tigapuluh detik lagi kita harus kembali ke sini.”  

Dalam sekejap kami segera berpencar.

Aku memegangi lengan kanan Med dan kami mengendap-endap menuju halaman depan rumah, mencoba merangkak melewati rerumputan dan dedaunan kering. Sementara tangan kirinya masih memegang erat boneka kesayangannya.

“Sedikit cepat, Med.”

Med kemudian berhenti dan menarik kaosku.

“Apa sebaiknya kita pulang saja, Ris?”

“Apa maksudmu?”

“Kubilang kita sebaiknya pulang saja.”

            “Kita sudah sejauh ini dan kau mengajak untuk pulang?”

“Ya, kita sudah melangkah sejauh ini dan sebaiknya kita segera pulang.”

“Kenapa?”

“Perasaanku tidak enak …”

“Oh, ayolah, kau hanya takut. Sini, pegang tanganku.”

“Tidak, Ris, aku benar-benar merasa tidak enak.”

“Kalau kau memang ingin pulang, sana pulang sendiri!”

Aku tak menghiraukan Med dan terus merangkak menuju bagian depan rumah. Apakah Med benar-benar akan pulang, aku sudah tak lagi mempedulikannya. Semua rencana yang kususun telah berjalan dengan baik dan dalam tahap ini, aku telah semakin dekat dengan kebenaran.

Syukurlah di halaman tak ada kucing-kucing sehingga tak ada lagi yang perlu ditakutkan. Semua benar-benar berjalan lancar. Langkah terakhir yang perlu dilakukan adalah membuka pintu ini dan mengetahui semuanya.

Aku menjinjit dan berusaha mengintip keadaan di dalam rumah melalui kaca yang ada di pintu depan. Dan, apa yang sedang kulihat sekarang benar-benar tak dapat dipercaya.   

Di salah satu kamar di samping toilet, terlihat Bik Merian sedang bercakap-cakap dengan seorang laki-laki di atas ranjang, dan yang mengagetkan, laki-laki itu mirip ayah Ben, Pak Rasmusin. 

Rambut Bik Merian terlihat berantakan dengan hanya mengenakan pakaian dalam saja. Sedang ayah Ben juga terlihat bertelanjang dada meski ia memakai celana dalam. Mereka terlihat bahagia dan apa yang sedang mereka lakukan tampak seperti sepasang orang dewasa yang telah menikah.

Aku masih penasaran dengan apa yang terjadi sehingga kuputuskan untuk menyelinap ke dalam. Pintu depan tak terkunci sehingga mudah untuk dibuka. Aku mengendap-ngendap masuk dan lekas besembunyi di bawah meja di ruang tamu. Dari sini, aku dapat mendengar percakapan Bik Merian dan ayah Ben meski agak samar-samar.

“Jadi kapan kita akan menikah?”

“Sebentar lagi …”

“Dulu juga kau bilang begitu, sebelumnya juga, sebelumnya juga…”

“Kali ini aku serius. Aku telah mengurus surat cerai.”

“Benarkah?”

“Tentu benar, sayang.”

“Bagaimana keadaan anakmu, Ras?”

“Ia akan ikut ibunya.”

“Mengapa tidak kita rawat dia, Ras? Aku bosan dengan kucing-kucing.”

 “Ia takut denganmu, ia menganggapmu dukun tenung.”

 “Apa penampilanku semenyeramkan itu Ras?”

“Tidak, kau adalah wanita tercantik yang pernah kukenal. Namun harus kuakui aktingmu sangat bagus hingga dapat mengelabui anak kecil, bahkan setiap orang. Juga keadaan rumah ini … sempurna, sangat sempurna!”

“Tapi aku ingin merawat seorang anak Ras. Aku bosan dengan kucing-kucing.”

“Kita akan memilikinya segera. Kalau perlu kau akan melahirkan 3 atau 4 anak dan kita akan memulai hidup yang baru bersama-sama, meninggalkan masa lalu masing-masing.”

Percakapan yang sedang kudengar benar-benar terdengar jelas dari sini dan aku benar-benar terkejut mendengar apa yang sedang dibicarakan meski aku tak memahami seutuhnya. Namun sialnya, seekor kucing peliharaan Bik Merian terlihat datang mendekat dan mengeong ke arahku.  Spontan aku berusaha melarikan diri dan berhasil keluar dari pintu dan menghambur ke luar rumah secepat yang kubisa. Di pohon, kulihat Ben dan Jep sedang menungguku dan aku memberi isyarat kepada mereka agar segera keluar dari tempat ini. Sampai di depan sekolah kami menghentikan langkah kami dan menarik napas sejenak.

“Ada apa sebenarnya, Ris?”

“Tidak apa-apa. Kurasa kita harus segera pulang ke rumah. Setelah ini aku akan membuatkan kalian es jeruk. Emm … dan untukmu Ben, kuharap kau jangan terlalu memercayai apa yang dikatakan oleh ayahmu.”

“Sebenarnya apa yang baru kaulihat, Ris?”

“Tidak, tidak ada apa-apa. Kuharap Med telah sampai di rumah sekarang. Kuharap di lain hari ia berhasil mencegahku berbuat aneh-aneh. Kuharap Kadal Buntung benar-benar ada. Ah, mari kita segera pulang.” ***

(2019)


Aris Rahman P. Putra, lahir di Sidoarjo, 12 Juli 1995. Alumni Universitas Airlangga Jurusan Antropologi. Kumpulan cerpen perdananya berjudul Riwayat Hidup Sebuah Pistol di Kawasan Mulholland Drive diterbitkan oleh Penerbit Basabasi.

Puisi

Puisi Redovan Jamil

Gadis Pelesir

malamku tergantung lebam

meringsut dalam gelap

merangkul tiang-tiang menjulang kota

dilafal doa menolak bala

tentang gadis yang suka berkelana

mengalir deras pada lekuk sungai di kepala

“jauh mata memandang, terulur panjang jalan

dikau selalu melipat datang. ingin berlama dalam pangkuan”

aku terus memuja kemungkinan

menandai setiap kabar dari pelesir

mengabarkan utuh dalam puing sajak ini.

2018


Sedalam Mencintai

#

cinta yang tumbuh menjulang

berebut sinar matahari dari sela lubuk hati

pancaran sebesar bola langit

tertancap erat ke akar-akar

ke kerak tanah yang dalam

ke hulu sungai yang purba

sejauh pandang ke ujung seberang

#

pada sore hari

dikau menjadi jingga di ujung selat

menghubung ke pulau perantauan

antara menetap atau terus berlayar

derai ombak menjilat-jilat

hembusan napasmu gegas

sejurus ke hati yang hampir pupus

dalam liang tuju yang abstrak

#

dikau menjadi tuju dalam temu

mengelak rasian

ingin yang nyata

tiada pelipur lara

bermuara segala harap.


Puisi Bulan April

tak terbilang hadirnya gerimis

pinggang gunung berselimut kabut

wajahmu seketika mendekam jauh ke dasar angan

pucuk ranting membelai rambutmu yang tergerai tercium angin

aku luruh, gigil dipagut dingin

waktu ke masa lalu. alir dera ke hulu jantung

pada barisan dedaunan di pinggir jalan

aku padamu kelak akan berpulang

“cinta memang begitu. celakalah orang berhenti mencintai

hiasannya yang ranum; asing, resah, gila, terlupa, melupa dan terpenjara kata”

selebihnya pulangkanlah ke awal puisi ini!

2019


Pelepah Matamu

di pelepah matamu rindu luruh

setakat beku ke relung paling dalam

berkunjung pada gorong-gorong yang basah

menuju tualang yang panjang

sekian waktu kamu memenangkan segala pertarungan

mulai dari musim tangkapan ikan ramai

hingga tongkang  patah kuduk

imbasnya jua: urung pedagang hilir-mudik di pantai lumpur.

2018


Direbut Waktu yang Enggan Berlalu

malam yang panjang

dalam denyut nadi

terpukul nyali dirangkul tangsi

memburu lecut resah

mengambang kata-kata

tak ada bisik kabar

atau sekadar berbalas surat

suara-suara sumbang menyapa telinga

menukik ke ujung tangis

tanpa cerita, atau hanya berkisah menegak dini hari

tak ada kopi, loncatan malam yang lambat berlari.

2018


Perihal Hati

perihal hati

aku telah sematkan erat

terpaut buhul mati

terikrar pada prasasti

di dinding kamar ia menggantung hingga berlumut

pada gorong-gorong ia seumpama lentera

pada tanah ia penyejuk dalam kerontang

pada gunung ia jadi lembah yang dialiri sungai biru

padamu bermuara segala tuju.


Mencintaimu dalam Segala Waktu

pada tualang hidup

ada yang sirna ditelan cinta

sekian yang tumbuh dan pergi, begitu juga yang datang

aku memilih tidak pada semua hal itu

yang datang pasti akan pergi

yang pergi pun akan ada pengganti

yang tumbuh menjulang, lalu tua dan rapuh

yang berlalu akan berujung temu

aku ingin jadi diriku sendiri

mencintaimu bersama segala usia

tanpa ampun. tak ada pamrih dan janji-janji.


Detektif Cinta

: sherlock holmes

semalam yang lebam aku berkhayal seumpama seorang detektif

aku jadi sherlock holmes saja

membuka tabir hatimu

menguak segala misteri perihal cinta

lengkap dengan rasa kecewa

jatuh yang disengaja dalam pangkuanmu

terluka yang paling manis, dan rindu yang candu

setelah menjadi detektif cinta, tugas semakin menggunung

bertubi-tubi aku jatuh cinta kepada wanita

ditemukan banyak hati yang rapuh

cinta yang omong kosong

hingga dusta yang merajalela

tak ada yang benar-benar baik perihal cinta

apalagi terpaut dua hati insan yang terjebak waktu yang fana

percayalah, usai puisi ini tutup usia aku ingin melupa

lupa atas permainan kata, memanis  rasa

dan adonan janji dalam bungkuknya nafsu.

puisi ini tetap saja ingin ditulis

mengabarkan hasil riset cinta seorang sherlock holmes gadungan

di tengah kota, pada gang-gang sempit cinta diobral semena-mena

busung buah dada hingga ingin pecah kutang berenda

bibir gincu bata, lentik berarak alis mata

ialah yang akan dipilih lelaki pelumat nestapa

pada remang malam akan terasa nikmat

setakat akhirnya menjalar ke wisma-wisma

begitulah cinta, memenangkan pikir

meruntuhkan akal, dan terjebak nafsu muslihat.


Cintaku Tumbuh di Bibir Sampan Leper

kita berdua kala itu

mengitari ilalang dan kanal-kanal merah

penuh takzim menyaksikan pacu sampan leper

orang-orang bertalu sorak semarai untuk peserta lomba

“ayo-ayo! yang kompak! saat berputar arah harus cepat!”

lumpur memantulkan gema suara riuh

seusai surut mengikis pantai

di udara suara hatiku bergelombang

bersiul lirih cinta yang dalam

seolah-olah rasa itu tersangkut di pipihnya bibir sampan

berpacu bersama degup orang yang berkayuh kemenangan

nuh, kekasih

di seberang tersangkut segala harapan

mengarungi segala kemungkinan yang retak

“dekap aku erat-erat! dengar genderang jantungku”

jangan pisah dilempar ke dasar ratapan

aku luruh, kekasih

dalam candamu yang meramu malu-malu

ingin hidup sekali saja

tapi waktu denganmu selamanya.

2019


Sajak Lamaran

tahukah, Anelis

pada senyummu yang menguntai aku bergelantung

sudah habis pikir tak ada selain padamu jua muara tuju

segala temu, angin mendesir dalam ingin

rindu berpacu dalam alir air

pada hujan yang pecah di atap rumah

di tahun yang sudah ingin tutup usia

aku ingin meminangmu, Anelis

di hari ulang tahunmu

pada minggu ketiga november

jadilah kau tawananku

tawanan hidup hingga renta

dik, Anelis. aku akan datang ke rumahmu

bersila di hadapan orangtuamu

menghamba untuk diperestui

dipersatukan tentang kita

tentang segala congkak yang ada

percayalah, engkau tawananku yang paling lembut

ditanam segala pokok bunga di depan kamar kita kelak

tentu bunga itu akan menjadi sahabatmu

merawatnya adalah menyemai keabadian di antara kita

Anelis

musim bisa berubah-ubah

tapi cintaku tetaplah ada

pacuan mungkin saja berbalik haluan

tujuku padamu jua.

2019


Redovan Jamil, lahir Padang Benai salah satu kampung kecil di Sumpur Kudus, Sumatera Barat. Ia adalah salah satu penggiat literasi pedalaman dan pengelola di TBM Hamfara Library. Terpilih menjadi Penggiat Literasi 2019 dan diundang Residensi Penggiat Literasi di Yogyakarta. Ia juga tergabung di Komunitas Daun Ranting. Tergabung dibelasan antologi bersama, baik nasional maupun internasional. Abun-abun yang Abrak (2018), Purata Publishing adalah buku tunggal pertamanya. Karya dan tulisannya tersebar dibeberapa media seperti Riau Pos, Media Haluan, Magelang Ekspress, Radar Cirebon, Harian Singgalang, Rakyat Sumbar, Palembang Ekspres dan media online lainnya. Bisa dihubungi ke nomor 085265781291/ WA, email [email protected], IG @redovan_jamil dan Facebook atas nama Redovan Jamil.

Cerpen

Kupu-Kupu di Kamar Mei

Cerpen Tiqom Tarra

Aku tidak tahu bagaimana kupu-kupu itu muncul dan memenuhi setiap jengkal kamar Mei, kakak perempuanku. Mereka hinggap di lemari, beterbangan di atas ranjang, dan berkerumun di meja rias. Aku pikir ratusan kupu-kupu itu berasal dari taman bunga tak jauh dari rumah kontrakan Mei, tapi aku salah; tak ada taman bunga di sekitar permukiman di mana Mei menyewa sebuah rumah. Kupu-kupu itu tidak berasal dari mana pun, melainkan muncul begitu saja di kamar Mei seolah mereka berkembang biak di sana.

“Kakak memelihara kupu-kupu?” tanyaku saat pertama kali memasuki rumah kontrakan Mei. Sudah empat tahun ini Mei merantau ke ibu kota untuk melanjutkan pendidikan di bangku kuliah sembari bekerja.

Ini pertama kalinya aku mengujungi Mei. Dia selalu menolak ketika aku atau keluargaku yang lain ingin mengunjunginya. Namun, kali ini Mei mengiyakan permohonanku untuk tinggal sementara di kontrakannya sembari menghabiskan waktu libur sekolah.

Ketika kutanya perihal kupu-kupu di kamarnya, Mei tidak menjawab. Dia hanya tersenyum dan mengatakan bahwa mereka semua hanya menemani dirinya.

“Sepi sekali karena jauh dari keluarga,” ucapnya.

Aku bisa mengerti. Hidup jauh dari keluarga demi melanjutkan pendidikan dan membantu ekonomi keluarga tidaklah mudah. Jujur, aku salut padanya; dia membiayai sendiri kuliahnya dengan bekerja, dan sebagai anak tertua Mei selalu mengirim uang untuk membantu keluarga dan adik-adiknya. Apalagi sepeninggalan Ayah ekonomi keluarga kami terus memburuk.

Mei menjadi kebanggaan Ibu. Setiap hari, Ibu bercerita tentang Mei yang kelak akan menjadi seorang sarjana. Kadang, aku cemburu ketika Ibu selalu membangga-bangga Mei secara berlebihan, tapi Mei memang telah melakukan segalanya demi pendidikan dan keluarga.

Setiap pagi jumlah kupu-kupu di kamar Mei terus bertambah hingga aku tidak bisa menghitung saking banyaknya. Ketika Mei keluar kamar, banyak sayap kupu-kupu yang patah menempel di tubuhnya, tapi dia tidak peduli. Mei hanya akan langsung masuk ke kamar mandi untuk membilas semua sayap-sayap itu.

“Pasti pekerjaan Kakak berat, ya?” basa-basi aku bertanya ketika kami menyantap nasi uduk untuk sarapan.

Mei terlihat sangat kelelahan dan aku baru tahu kalau dia pulang bekerja pukul tiga dini hari. Pasti sangat melelah, apalagi paginya Mei harus kuliah.

“Kakak sudah terbiasa. Ini tidak seberat yang kamu pikirkan,” jawabnya.

Ah, kakakku ini memang benar-benar pekerja keras. Diam-diam aku berdoa semoga aku juga bisa sepertinya; menjadi kebanggan Ibu dan keluarga.

“Hari ini aku harus langsung ke tempat kerja. Kamu tidak perlu menungguku pulang.”

Setelahnya Mei pergi dan hingga pukul lima dini hari dia belum juga pulang. Aku tentu khawatir meski berulang kali Mei mengatakan dia memang biasa pulang pagi karena kerja sif malam. Namun, tetap saja aku khawatir. Bagaimanapun, Mei adalah perempuan, dan berada di luar ketika malam sangatlah berbahaya.

Aku beranjak dari kamarku kemudian membuka pintu kamar Mei. Di sana kupu-kupu makin banyak jumlahnya, berebut tempat, berputar-putar di atas ranjang seperti angin puting beliung.

“Dari mana sebenarnya kalian berasal?” gumamku diikuti suara kunci yang diputar. Tak berapa lama Mei muncul dari balik pintu dengan wajah kusut kelelahan.

“Kamu tidak tidur?” tanya Mei sembari melangkah masuk. “Bukankah aku sudah bilang untuk tidak menunggu?”

“Aku bukan tidak tidur, tapi sudah bangun. Ini sudah subuh, Kak.”

Mei tidak menjawab. Dia hanya membuang napas berat sebelum menutup pintu kamar dengan ribuan kupu-kupu di dalamnya. Mei tidak keluar setelahnya. Dia baru keluar ketika hari sudah beranjak senja.

“Selesai makan Kakak ingin kamu ke minimarket depan gang untuk beli beberapa kebutuhan dan jangan pulang sebelum jam sepuluh.” Mei memberiku beberapa lembar uang dan daftar belanjaan.

“Kenapa aku tidak boleh pulang sebelum jam sepuluh?”

Mei tidak menjawab. Dia hanya melanjutkan makan, sedangkan aku diselimuti banyak pertanyaan tentang kakakku ini. Apa yang sedang disembunyikan Mei?

“Besok aku ingin melihat tempat kerja Kakak.” Entah apa yang aku pikirkan ketika mengatakan itu. Namun, aku tahu Mei menyembunyikan sesuatu dariku.

“Untuk apa?” Kali ada nada kesal yang begitu kentara dari suara Mei. Dia mendengus sebelum meletakkan sendoknya ke piring yang menimbulkan suara nyaring. “Bukankah kamu ke sini untuk liburan?”

“Aku hanya ingin tahu tempat kerja Kakak.”

“Tidak perlu. Sekarang pergilah ke minimarket dan jangan kembali sebelum jam sepuluh.”

Setelahnya tidak ada pembahasan lagi; Mei beranjak ke kamar, membanting pintu kamar dan tidak keluar lagi. Dan itu bukan terakhir kalinya Mei bersikap sedemikian rupa ketika aku membahas tentang tempat kerjanya. Mei selalu menghindari pertanyaanku.

***

Aku tahu ada yang disembunyikan Mei dariku. Di malam-malam tertentu dia menyuruhku ke minimarket dan tidak mengizinkanku pulang hingga waktu yang dia tentukan? Aku tidak tahu apa sebenarnya pekerjaan Mei. Dia selalu marah ketika aku memaksa untuk ikut ke tempat kerjanya. Kenapa dia selalu pulang pagi? Dan yang membuatku terus berpikir adalah mengapa kupu-kupu di dalam kamarnya kian banyak seolah akan meledakkan kamar itu? Ada yang aneh antara Mei, pekerjaannya, dan ribuan kupu-kupu di kamarnya.

Sejujurnya, ada satu kesimpulan yang diam-diam aku pikirkan tentang Mei. Namun, memikirkannya saja membuatku sedih. Tidak mungkin Mei melakukannya. Tapi lagi-lagi dia memintaku ke minimarket dan tidak boleh pulang sebelum pukul sepuluh malam.

Demi menyudahi rasa penasaranku, kuhentikan langkah. Aku harus mendapat jawabannya malam ini juga, maka aku berbalik arah. Setengah berlari aku menuju rumah kontrakan Mei. Di sana ada sebuah motor terparkir, padahal ketika aku berangkat ke minimarket tadi belum ada motor itu. Segera aku membuka kunci pintu dan melangkah masuk.

Mungkin harusnya aku tidak perlu kembali ke rumah Mei dan tetap bertahan di minimarket seperti perintahnya. Atau mungkin harusnya aku tidak perlu datang menyusulnya ke perantauan dan tetap di kampung dengan segala kebanggaan tentang kakakku itu. Namun, di sini, tepat di depan kamarnya aku melihat kenyataan tentang Mei.

Ketika kubuka kamar itu, aku melihat ribuan kupu-kupu beterbangan menyesaki kamar Mei. Kupu-kupu itu lahir dari dua tubuh di atas ranjang yang sedang mereguk kenikmatan.***


Tiqom Tarra, lahir dan tinggal di Pekalongan. Cerpen-cerpennya pernah dimuat di Media Indonesia, detik.com, Gogirl, Fajar Makassar, Harian Solopos, Radar Surabaya, dan ideide.id. Buku kumpulan cerpen perdana Anak Kecil yang Memamerkan Bayinya dan Orang Dewasa yang Menyimpan Biji Mentimun di Saku Celana (JWriting Soul, 2018).

Buku, Resensi

Pengenalan dan Penambahan

Oleh Bandung Mawardi

Pekerjaan serius dan besar dibuktikan Anton Kurnia berupa Ensiklopedia Sastra Dunia. Buku berukuran besar dan tebal pantas mendapat pujian. Ikhtiar semakin mengenalkan sastra dunia ke pembaca di Indonesia. Buku itu biru, memberi ajakan berkelana dengan penasaran dan ketakjuban mengenali para pengarang tenar dari pelbagai negara, dari masa ke masa. Ensiklopedia cenderung ke tokoh meski agak memberi uraian mengenai buku dan pemerolehan penghargaan. Keinginan mengenali pengarang tak lekas bermula di sampul buku. Di situ, pembaca tak usah berharap melihat foto para pengarang. Gambar di sampul anggaplah penghiburan, sebelum pembaca terjerat di renungan atau terpana tak berkesudahan.

Buku dipersembahkan ke pembaca di Indonesia yang bernafsu membaca ratusan buku sastra dari pelbagai negara dan memiliki daftar pengarang pujaan. Di Ensiklopedia Sastra Dunia, kita masih mendapat lega bahwa ada nama-nama pengarang asal Indonesia “diakui” termasuk pengarang bertaraf internasional: Pramoedya Ananta Toer dan Eka Kurniawan. Jumlah memang sedikit ketimbang para pengarang asal Jepang, Tiongkok, Amerika Latin, Rusia, Prancis, Jerman, Inggris, Spanyol, Arab, India, Afrika, dan Amerika Serikat. Buku susunan Anton Kurnia itu memang pantas meresmikan dua pengarang Indonesia di tatapan sastra dunia, tak cuma lingkup nasional.

Sekian nama pengarang besar sudah dikenalkan melalui terjemahan-terjemahan, sejak awal abad XX. Dulu, para pengarang di masa 1920-an sudah getol menerjemahkan sastra dunia ke bahasa Indonesia. Pada masa 1950-an, kerja penerjemahan itu semakin menguat untuk menjadikan sastra dunia terbaca atau tebar pengaruh di Indonesia. Pesta sastra terjemahan terasa di masa 1970-an. Buku-buku persembahan para pengarang meraih Nobel Sastra dan Pulitzer Prize berlimpahan dalam edisi terjemahan bahasa Indonesia. Sekian babak menentukan pengenalan pengarang dan buku sastra bertaraf internasional itu tercatat rapi dan dokumentatif dalam buku berjudul Dari Khasanah Sastra Dunia (1985) susunan Jakob Sumardjo. Buku sudah langka, tak ada di daftar pustaka dalam Ensiklopedia Sastra Dunia. Anton Kurnia mungkin pernah membaca tapi sengaja tak memilih jadi referensi.

Pada 1991, pembaca atau peminat sastra Prancis dimanjakan dengan penerbitan Kamus Karya Sastra Perancis susunan M Bouty. Kamus bermutu memuat ulasan buku-buku sastra Prancis dan cuilan-cuilan biografi. Kamus dibaca dengan pengenalan ke buku-buku tercatat penting di sejarah kesusastraan Prancis atau dunia. Buku itu pernah digunakan dalam pengajaran sastra di sekolah dan penuntun bagi penerjemah. Buku juga berwarna biru tapi tak dipilih Anton Kurnia sebagai referensi.  

Kita menemukan para pengarang Prancis mendapat perhatian besar di Ensiklopedia Sastra Dunia. Pembaca berkenalan dengan Albert Camus, Alexander Dumas, Anatole France, Andre Breton, Andre Gide, Andre Malraux, Antoine de Sain-Exupery, Arthur Rimbaud, Emile Zola, Francois Mauriac, Guillaume Apollinaire, Guy de Maupassant, Honore dan Balzac, dan lain-lain. Anton Kurnia memiliki cara kerja dan selera berbeda untuk mengenalkan para pengarang dunia ke pembaca di Indonesia. Ia menjelaskan: “Sebagai sebuah ensiklopedia sederhana dan pengantar menjelajah khazanah sastra dunia, buku ini memuat ikhtisar sejarah sastra dunia sejak ribuan tahun lampau, profil 335 sastrawan terkemuka dari pelbagai penjuru dunia dan zaman.” Bahan-bahan diperoleh dari buku, majalah, koran, situs internet, ensiklopedia digital, dan catatan pribadi.

Pembeli dan pembaca Ensiklopedia Sastra Dunia dijanjikan mendapat pengantar bermutu. Di halaman 38, kita melihat foto dan membaca profil Andre Gide (1869-1951), pengarang asal Prancis. Ia meraih Nobel Sastra 1947. Pembaca di Indonesia sudah bisa membaca gubahan Andre Gide melalui terjemahan Chairil Anwar berjudul Pulanglah Si Anak Hilang (1948). Dulu, sastra dunia lekas terbaca dan memikat para pengarang di Indonesia tak perlu menunggu lama di edisi terjemahan bahasa Indonesia. Novel pertama Andre Gide berjudul La Orte etroite (1909). Novel apik dan sudah difilmkan berjudul La symphonie pastorale (1919). Kita beruntung meski terlambat mendapat edisi terjemahan bahasa Indonesia oleh Apsanto Djokosujatno, dijuduli Simfoni Pastoral (1987) terbitan Djambatan.

Kita pun disuguhi profil peraih Nobel Sastra 2017 bernama Kazuo Ishiguro. Nama sudah dikenali para pembaca di Indonesia meski tak setenar Haruki Murakami. Novel-novel gubahan Kazuo Ishiguro sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia tapi tak selaris terjemahan novel-novel Haruki Murakami. Dua pengarang itu bersaing meraih Nobel Sastra, berbeda resepsi umat pembaca di Indonesia. Anton Kurnia menginformasikan ke pembaca: Kazuo Ishiguro dilahirkan di Nagasaki, 1954. Ia hijrah ke Inggris, tekun menulis cerpen dan novel. Sekian novel telah terbit dan mendapat penghargaan: A Pale View of Hills (1982), An Artist of the Floating World (1986), The Remains of the Day (1989), Unconcoled (1995), dan When We Were Orphans (2000).

Pengarang sudah meraih Booker Prize, Nobel Sastra, dan Pulitzer Pirze memang belum menjamin mendapat pembaca fanatik di Indonesia. Pada masa lalu, ada nama-nama besar meraih Nobel Sastra dan Pulitzer Prize tapi jarang diperbincangkan di kalangan sastra Indonesia. Buku mereka sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Nasib mereka belum untung. “Sial” berlanjut gara-gara tak dikenalkan Anton Kurnia meski cuma uraian singkat.   

Pada 1972, terbit buku berjudul Barabas gubahan Par Lagerkvist, peraih Nobel Sastra 1951. Novel mula-mula terbit di Swedia (1950) itu “dituturkan kembali dalam bahasa Indonesia” oleh B Simorangkir. Pembaca buku berpenampilan sederhana terbitan BPK Gunung Mulia beruntung mendapat secuil biografi pengarang. Par Lagerkvist lahir di Swedia, 1819. Selama hidup, ia pernah tinggal di Denmark, Prancis, dan Italia. Pada 1930, ia menetap di Stockholm, Swedia. Barabas telah diterbitkan di Indonesia tapi tak menjadi sumber perbincangan dan memicu kekaguman. Buku itu berlalu.

Para pembaca sastra dunia pernah pula disuguhi buku berjudul Desa Kita. Buku drama tiga babak gubahan Thorton Wilder itu diterjemahkan oleh Bakdi Soemanto, diterbitkan Sinar Harapan, 1992. Penerjemah memberi keterangan mengenai penulis dan buku. Desa Kita itu terjemahan dari Our Town (1938). Buku menjadi pemenang Hadiah Pulitzer. Pengarang asal Amerika Serikat itu semula menulis novel berjudul The Bridge of San Luis Rey (1928), mendapat pula Hadiah Pulitzer. Buku berjudul Desa Kita sulit laris dan belum menjadikan umat sastra dan teater di Indonesia untuk (semakin) mengenali Thorton Wilder.

Dua pengarang tak mendapat halaman pengenalan atau dimunculkan dengan foto di Ensiklopedia Sastra Dunia. Dua nama itu cuma ada di daftar peraih Nobel Sastra dan Pulitzer Prize. Kita tak usah menggugat Anton Kurnia atas pengabaian dua pengarang besar asal Swedia dan Amerika Serikat. Kita mendingan menuliskan profil mereka di kertas lalu menaruh di sela-sela halaman buku.

Sejak mula, Anton Kurnia sudah menginsafi: “Buku semacam ini tentu juga akan memicu kontroversi—mengapa penulis ini tidak dimasukkan…” Pengerjaan Ensiklpoedia Sastra Dunia memiliki patokan-patokan belum tentu dimufakati para pembaca. Anton Kurnia pun mengingatkan bahwa pemilihan pengarang ditentukan pencapaian dan pengaruh buku-buku dalam peta sastra dunia. Pekerjaan serius dan besar sudah dipersembahkan ke pembaca. Kita mengaku “untung” saja ketimbang sewot tapi malas mencari informasi-informasi tambahan. Begitu.  


Bandung Mawardi, Kuncen Bilik Literasi. Penulis di pengenangpuisi.wordpress.com

Puisi

Puisi Bruno Rey Pantola

Kepada Laut

Angin berembus perlahan

Menelurkan hawa-hawa dingin

Segara merapal seuntai kenangan

Dalam deru ombak nan kejam

Kepadamu laut yang biru

Cintaku kandas pada terjal lekukmu

Lenyap di antara busa putih

Menjelma garam, asin di pinggir pantai

Bersanding dengan leretan bakau

Aku ingin sebuah jumpa

Yang tempo hari dijanjikan petang

Namun tersisa kepala bulan

Yang terbaring di ufuk timur jauh

Tiada sentuhan mesrah di ujung bibir

Kecuali asin yang mengalir dari pelupuk mata

Dan kepadamu laut, aku ingin menyambangi

Nelayan, agar menuntun sampan ke seberang pulau

Namun, kau menjelma jarak-jarak

Seluas rinduku berkelana.

Kepadamu laut, aku ingin

Berlayar ke dalam doa Sang Amoi

Yang terhimpit di dalam ribu-ribu

Gulunganmu.

Yogyakarta, 2019.


Agatha

Agatha memeluk angin

Di suatu malam yang dingin

Menerobos gelap yang meringkuk

Di antara dahan-dahan dadanya.

Dua helai waktu direnggutnya dari hari;

Pagi dan senja, terlahap oleh rindunya,

Meritualkannya sebagai kenangan akan aku

Dan menyulamnya menjadi penantian panjang.

Di hadapan tetua adat

Aku berdiri kokoh mengulum air liur

Menerawang angkasa di dalam dada Agatha

Lalu menikam waktu agar segera pudar.

“Oh, Agatha yang menawan

Hasratku pupus di atas tandus tanah

Terhuyung bagaikan duyung tak berdayung

Pasrah terhadap gelombang. Lenguh. Lalu lusuh

Terkapar di atas tradisi yang berbelit-belit.”

Yogyakarta, 2019.


Telah Lama

Telah lama aku menjadi teratai di atas permukaan kolam

Berteman dengan cipratan-cipratan ombak kecil yang disebabkan oleh angin

Belaian mentari kadang membuatku bertumbuh lebih subur

Sebab, ada metamorfosis di dalam tubuhku yang tak kunjung

Menyelam ke dasar hatimu yang tersimpan rapi dengan endapan lumpur

Di dasar kolam.

Akar-akar ingatanku menjadi ambangan angan yang tak pernah menyentuhmu

Namun, ia mengetuk pintu permukaan kolam sepanjang hari berlalu.

Aku berdoa di atas ombang-ambing hidupku. Tiada lain selain kematian

yang menyamar menjadi parit ikan di sekelilingku.

Telah lama aku di sini.

Menanti malam, menjumpai siang, bercengkerama dengan sawang,

Menerewang langit, mendustai senja, dan membiarkan sekelompok

Serangga menyerang dengan taring-taring mungilnya__mengahuncurkanku perlahan.

Telah lama menyendiri di sini.

Bersama serabut-serabut rambutku yang kadang kuuraikan sebagai

Keyakinan akan sebuah cinta.

Sedangkan kau makin hari menjadi sesuatu yang sukar kutakar.

Yogyakarta, 2019.


Seperti Malam

Seperti malam

Kau hinggap di antara dedaunan

Mengibaskan nafas alam dalam tidurku

Menyimpan mimpi di atas kepalaku lalu menjelma cicak di plafon.

Seperti malam

Berbaring di sampingku dengan sepotong lenan

Yang kau tangkupkan dengan tubuhku dan bantal merah itu,

Membopong igauanku ke luar rumah dan anjing melolong rindu

Seperti malam

Sepi

Sunyi

Lenyap

Lelap

Yogyakarta, 2019.


Menyudahi Rindu

Pagi hari di Timor

Matahari turun di atas kabin pesawat

Kulihat rambutmu bertangkupan dengan sinarnya

Meliuk-liuk elok memenuhi mataku

Di suatu terowongan tak berjejak

Kurasakan hangatmu yang kian terekat

Walau sua masih menanti beberapa menit

Untuk mempertemukan senyum kusut kita

Pesawat mendekat

Rindu menepi sejenak

Detak-detak dada menghitung detik-detik

Memungut segala penat, menyumburkannya ke tepi jendela

Sesudah kutapakkan kaki di tanah Timor

Kau mengumbar-umbar lantunan angin merdu

Ke seluruh kupingku

Lalu mendekap tubuh ini menjadi satu.

Rindu terkulai di tanah

Pandangan menembus dada

Dan tiada yang kosong di sana

Kecuali rindu.

Yogyakarta, 2019.


Di Bawah Tatapan St. Rafael

Ada satu potret masa lalu

Yang kutempelkan di dalam sal kenangan

Juga masih terpampang rapi di tembok kamar

Atau masih dalam memori handphone

Malam-malam datang

Ia bertandang

Menyambangi doaku yang khusyuk

Kepada st. Rafael

Potret itu berwarna coklat

Mungkin tubuh St. Rafael atau alam yang keriput

Atau saat-saat di mana jiwa-jiwa menjemur pakaian

Mungkin pula mendung yang berdusta terhadap matahari

Di suatu waktu

Aku melihatnya benar-benar cokelat

Di bagian-bagiannya terkena tiris hujan

Namun wajah di dalamnya masih segar

Di suatu hening

Kukenang-kenang dalam alunan merdu lagu “feot honi”

Ternya kita pernah mengeratkan jari-jemari

Di bawah tatapan patung St. Rafael.

Yogyakarta, 2019.


Mencintai Dua Perempuan

Cintaku berjumpalitan di atas tubuh-tubuh ayu

Menguntit cara bercinta kakek yang sangat kurang ajar

Bagaikan negara yang otoriter dan menindih

Namun terasa adem di atas kepedihan

Setiap saku celanaku yang berjumlah dua

Terisi duit dan cincin emas

Kusisakan satu untuk Si Jelita

Dan lainnya untuk Si Niny

Cinta memang tak sesenang itu

Kadang mengegerung-gerung mengharapkan kepastian

Kadang mati di ujung bibir dan itu yang kunamakan cinta.

Sebab, mencintai dua orang dalam rongga kegelapan yang dalam.

Terngiang gemelutuk gigi penuh nafsu.

Di ujung jalan menuju pernikahan

Aku mengetuk-ngetuk dinding dadaku

Dan dua orang meregang cintanya di tepi ngarai hatiku yang kelam

Lalu wafat. Meninggalkan keranda dankain kafan bagiku.

Yogyakarta, 2019.


Di Balikpapan

Sebelum kapal berangkat dari pelabuhan

Kulihat namamu terurai di dermaga

Membiarkan ombak mengelus-elusnya

Kadang menjilat-jilatnya hingga ujung-ujung hurufnya sirna.

Aku menjarah kenangan ke dalam kepalaku

Sedangkan di dada, kurebahkan tubuhmu yang hangat

Sehangat usai menidurimu di bangkai perahu

Du ujung pulau.

Di sana, kita pernah menyeduh sembilu menjadi secangkir perpisahan

Lalu menenggaknya bergantian hingga tersisa karang-karang piatu

Berseliweran dihempas angin laut, sepanjang waktu

Dan suatu ketika, kuharap kau menunaikan kangenmu ke dalam sebuah kapal pelni

Yang tak jauh dari tatapanmu dari bibir segara.

Aku ingin kembali

Namun waktu tak pernah menjanjikan pertemuan

Ia hanya melangkah maju walau tertatih

Dan umur kita dipotongnya sedikit demi sedikit.

Yogyakarta, 2019.


Selepas Hujan

Selepas hujan

Aroma tanah

Ringkihan kuda

Jeritan burung

Bekas kaki anjing

Puisi anomali

Eskapisme sastra

Dan tamparan kesunyian

Kau purna.

Yogyakarta, 2019.


Di Kupang

Alam menggigil sendiri

Pantai Oesapa dipenuhi orang-orang

Bir-bir berjejer di atas meja

Kita kedinginan di atas kerikil pantai

Mengurai pasir

Menakar angin dan

Memilin dusta.

Siapa yang ingin ini berlalu?

Dentang lonceng.

Angelus menyatukan kita lalu melerai kita.

Yogyakarta,2019


Bruno Rey Pantola, lahir di Lospalos, Timor Leste, 23 Maret 1997. Buku puisinya “Sendu di Desa”. Beberapa puisinya dimuat di Tribun Bali, Pos Kupang, Apajake, Viktory News, Horison Dipantar dan media lainnya.

Puisi

Puisi Sengat Ibrahim

Sabda Hujan

kalau kamu dalam keadaan sendirian

maka siapkan rindu sebelum hujan

biar bisa bermain-main dengan kesepian yang disempurnakan.

kalau kamu sedang berduaan

maka siapkan payung sebelum hujan

biar bisa bermain-main dengan kehangatan yang direncanakan.

Jogjakarta, 2019


Hujan 1

terima kasih hujan engkau masih tahu jalan menuju bumi

terima kasih bumi engkau masih tabah memilih manusia sebagai isi.

Jogjakarta, 2019


Hujan 2

semua hujan yang turun dari langit selalu sama yaitu air

yang mencoba menghapus semua bekas kenangan di luar pikiran.

Jogjakarta, 2019


Hujan 3

dingin dan angin sedang berdiskusi alot dengan rindu

semoga saja mereka mendiskusikan aku dan kamu.

Jogjakarta, 2019


Doa Menolak Tidur Malam

1

semoga dingin yang menyerang tubuhku

terbuat dari keinginanmu untuk memelukku.

2

semoga dingin yang memelukku semakin

memperpanjang kebutuhanku akan kehadiranmu.

3

semoga dingin yang bercampur dengan kenangan

bersamamu akan menjadikan aku—orang sempurna

yang tetap butuh disempurnakan olehmu.

4

semoga dingin yang membungkus kulitku

tidak sampai mengganggu keberadaanmu di dalam diriku.

5

semoga malammu yang penuh dengan diriku atau malamku

yang selalu berisi dirimu tidak menjadikan kita lupa bahwa

malam yang paling sempurna di dunia adalah malam

yang berisi aku dan kamu.

Jogjakarta, 2019


Doa Sebelum Tidur Malam

dalam mimpi, semoga kita tidak pernah berketemu

sebab aku membutuhkan yang lebih nyata dari itu.

Jogjakarta, 2019


Doa Ketika Diserang Rindu

semoga dalam semua rindu yang datang padaku

selalu ada kamu di dalamnya.

Jogjakarta, 2019


Kangen

kangenku

sudah sampai pada puncak

di mana aku harus membiasakan diri

menjadi kehancuran.

maka kubiarkan

kangen yang menentukan sendiri

memilih kangen ke siapa

semoga saja kangenku menjadi kangenmu.

Jogjakarta, 2019


Tutorial Rindu

satu-satunya cara terbaik menikmati rindu, cuma satu:

menjauhlah hidup sebisa mungkin dariku.

Jogjakarta, 2019


Alangkah Malang Nasibku

sudah lebih dari dua jam

aku dikeroyok segerombolan rindu

hingga seluruh tubuhku babak belur.

aku berterik-teriak minta tolong tapi

tak ada satu pun orang yang mau menolongku.

alangkah malang nasibku.

Jogjakarta, 2019


Sengat Ibrahim, Lahir di Sumenep Madura, 22 Mei 1997. Menulis puisi dan cerita pendek. Bertuhan pada Bahasa, merupakan buku puisi pertamanya. Sekarang menetap di Jogjakarta sekaligus bekerja sebagai Pemangku Adat Literasi & Taman Baca Masyarakat di Lesehan Sastra Kutub.

Cerpen

Ingatan Pohon Pisang

Cerpen Dewi Sukmawati

Setelah berkali-kali aku membaca catatan harian ibu. Masih saja belum kutemukan catatan di mana aku lahir dan siapa yang memberiku nama. Sungguh itu hal yang sulit. Bagaimana aku bisa mengerjakan tugas rumah dari ibu guru? Pada siapa aku harus bertanya? Aku tak punya ibu, aku pula tak punya ayah. Yang kupunya hanya paman galak bertubuh besar dan kekar. Mana mungkin pamanku bisa kuajak berbicara serius? Dia terlalu sibuk dengan kupu-kupunya. Mulai dari kupu-kupu yang cantik, yang langsing, yang mewah, yang kalem, dan yang centil. Kadang aku bertanya dalam diri. Apa ibuku salah satu dari mereka? Buku yang kata pamanku ini warisan ibuku juga tak membantuku sama sekali.

Buku catatan ibuku hanya sibuk membicarakan ritual pohon pisang. Di mana diceritakan buyut, nenek, dan ibuku selalu menanam pohon pisang di usia 17 tahun. Dan setelah pohon pisang berbuah dan beranak, pohon itu mati. Meninggalkan buah dan anaknya pada tuan besar. Tuan besar memakan manis buah pisang dan memindah anak pohon pisang atau menjualnya ke tuan lain. Sungguh ini membingungkan. Bagiku yang masih duduk di bangku SD. Mungkinkah saat aku besar nanti jadi pohon pisang, atau kupu-kupu juga? Entahlah. Aku hanya punya paman di dunia ini. Mungkin aku akan menurut saja padanya.

***

Beberapa hari sebelum Murlin akan menikah, dia melihat calon suaminya jajan di pasar malam dekat taman suram. Karena peristiwa malam itu pula pernikahannya gagal. Dan Murlin memutuskan untuk menjadi jajan di pasar malam dekat taman suram. Di usianya yang masih 17 tahun, bukan hal mudah melakukan itu. Dia pun tak punya ibu atau ayah. Dia hanya memiliki satu pohon pisang yang dulu ditanamnya. Dia merasa hidupnya seperti pohon pisang. Berbuah tanpa ayah. Beranak tanpa ikatan. Dan bertakdir sampai pada keturunan terakhir.

Setiap pulang dari pasar. Murlin selalu bicara dengan pohon pisangnya sebelum masuk ke rumah dan mencatat peristiwanya dalam buku catatan. Pada waktu kemudian, pohon pisangnya berbuah, persis dengan manis dan larisnya Murlin dipesan. Saat pohon pisang beranak dan mati meninggalkan anaknya. Murlin pun demikian, beranak dan mati meninggalkan anak perempuannya. Anak pohon pisang, anak Murlin dan catatan harian Murlin kini dijaga dan dirawat oleh lelaki berbadan besar dan kekar yang beristri juragan kupu-kupu malam yang tak pernah suka pada pisang.

Mungkin anak pisang itu akan beranak pisang saat dewasa. Anak murlin pula akan menjadi ratu malam. Lalu melahirkan dan meninggalkan anaknya kembali pada tuan berkalung emas, berjas, dan berdasi. Sepeti buku panduan yang telah dicacat oleh ibunya di 17 tahun usianya. Ingatan pohon pisang ini memang sudah menjadi garis. Hanya akar pisang yang tahu, kapan garis itu terputus setelah lama berkembang biak di dalam tanah dunia malam.


Dewi Sukmawati lahir di Cilacap, 21 April 2000. Sekarang sedang menempuh pendidikan di IAIN Purwokerto Fakultas Ekomoni dan Bisnis Islam. Aktif di SKSP IAIN Purwokerto dan KSEI IAIN Purwokerto. Beberapa karyanya dimuat Antologi dan Media Massa.

Cerpen

Sebuah Arloji dan Kenangan di Dalamnya

Cerpen Drei Herba

Baru kali ini seorang laki-laki datang dengan permintaan aneh. Bagi tukang reparasi sepertiku, hanya sedikit peristiwa tak masuk akal pernah menyasar. Ingin kutolak andai sorot mata laki-laki dihadapanku itu tak lebih dulu mencegah. Tetapi bagaimana mungkin mengabulkan permintaan musykilnya, memperbaiki arloji sekaligus kenangan di dalamnya?

“Ini pemberian kekasihku.” Tangannya menyodorkan sebuah arloji bulat berwana biru tua dengan strap rubber hitam menyulur sepanjang enam atau tujuh senti. Bukan arloji branded, juga tak terlihat begitu istimewa. Hanya arloji pasaran seharga di bawah seratus ribuan.

“Tolong perbaikilah.” Tatapannya memohon. “Aku akan membayar berapa pun biayanya.” Mataku yang menatap jam tangan segera beralih memandang ke arahnya. Ucapan terakhirnya itu sama sekali tak simetris dengan penampilannya yang tak mengesankan. “Saya memang tidak punya uang saat ini, tapi saya berjanji akan segera membayarnya,” timpalnya setelah membaca caraku memandang.

Aku menggaruk rambutku yang tak benar-benar gatal. Aku memang tukang reparasi arloji, tapi memperbaiki kenangan di dalamnya? Itu bukan keahlianku. Itu soal masa lalu, dan masa lalu selalu tentang waktu. Sementara arloji hanya alat menakar, membaca bentuk waktu yang abstrak.

Ingin sekali aku mengkhutbahinya, namun ucapanku kembali tertahan oleh sorot matanya. Aku kembali pura-pura memeriksa tiap inci arloji itu. Jarumnya masih terlihat normal, sedikit menatih karenq terdorong oleh langkah jarum paling tipis.

Dengan menahan sebisaku, setidaknya, aku dapat merawat harapannya lebih panjang. Lagi pula, ia tak benar-benar ingin memperbaiki arloji ini, ia hanya ingin bercerita. Tapi sorot mata itu, justru membawaku pada ingatan sepuluh tahun silam; ingatan yang tak sepenuhnya terhapus.

Air mataku dengan sendirinya rebah, menyeka kaca arloji yang terlihat mulai kusam ini. Peristiwa itu membawaku kemari. Aku berpikir apakah bentuk sorot mataku saat itu sama dengan sorot mata laki-laki di hadapanku ini?

Hal itu bermula dari kedatangan kabar yang menabrakku. Tak ada gerimis, malam teramat sunyi untuk mengalamatkan pertengkaran. Tapi, tepatkah peristiwa itu disebut pertengkaran? Bukankah itu hanya kepasrahan, malam saat membuka surat darinya, menerima kabar tentang pertunangan Mayda.

Apakah aku marah? Tidak! Tentu saja! Bagaimana caraku marah? Toh, itu hanya sebuah surat. Tidak langsung terucap dalam sebuah pertemuan.

Aku nyaris lupa obsesiku tentang arloji, melihat bagaimana caranya memutar serta mendengar suara tiktoknya memekik. Sepuluh tahun lamanya, sejak kali pertama mereparasi arloji, lalu kemudian sorot laki-laki ini, menggugah kenangan itu kembali.

Kala itu aku penasaran sekalipun jarum yang terus berjalan tapi akan selalu membawa kembali ke tempat asal. Tapi, jarum yang sama tak dapat mengembalikan kenangan ke tempat ia berawal. Jarum itu saja yang berjalan sirkular, melingkar. Tidak dengan kehidupan yang kujalani, perjalanan linear tanpa ujung pangkal.

Aku terlalu sibuk dengan kenanganku, sampai lupa bahwa laki-laki di depanku ini, masih terus menanti dengan gelisah. Masih terselip harapan dari tanganku yang pura-pura serius memeriksa arlojinya, “Kawan, arlojimu bisa kuperbaiki, tapi sulit rasanya bila sekaligus membenahi kenangan di dalamnya?”

“Tidak bisakah memutar balik arah jarumnya?” nadanya terdengarseparau harapannya yang kini mulai mengikis, “bukankah dengan begitu akan membawaku kembali ke masa lalu?”

Dulu aku juga pernah berkeinginan seperti itu. Aku ingin bilang itu mustahil, tapi sorot matanya kembali menahan bibirku. Aku masih ingin merawat harapannya. Hanya itu yang dimiliki, satu-satunya alasan tetap melanjutkan hidup. Lalu, aku harus mengutara dusta seperti apa lagi?

Kini bibirnya terbata-bata bercerita peristiwa pada sebuah malam. Dingin kemarau telah membawa birahinya. Di ranjang yang tinggal kerinduan, ia luapkan bertubi-tubi ciuman. Bibirnya, ibarat kapal yang kini mendarat ke dermaga bibir kekasihnya. Temaram lampu dan sprei menjadi saksi sepasang tubuh itu saling merengkuh. Bersahutan. Membuncah. Mendesah.

Air matanya patah, tertarik gravitasi, rembas perlahan ke pipinya. Malam itu, perjumpaan terakhir, bahkan dalam sebuah perpisahan yang tak pernah tuntas terucap.

“Kekasihmu mati? Benar bukan? Kecelakaan?” sergahku.

“Tidak! Tapi,” katanya lagi, “toh tak ada bedanya. Aku tetap sama-sama kehilangan.”

“Maksudnya?”

Ia lanjutkan ceritanya, kekasihnya akan pindah kerja, dan keesokan harinya ia mengantar. Sementara, ia masih juga tak lulus-lulus kuliah, dan hanya bisa menghadiahi kekasihnya itu dengan potongan puisi. Tapi potongan kata itu tak lagi bisamenahan. Sebulan berikutnya, kabar tak mengenakkan dan yang tak disangka-sangka itu mengiang.

Setelah menggoret kenangan, dan kemudian kenangan itu mengakar pada dirinya. Kekasihnya justru pergi meninggalkan, lalu bertunangan dengan rekan kerja barunya. Laki-laki yang baru semingguan ia jumpai.

Lalu terdiam ia, suasana menjadi begitu sunyi, menyayat. Aku juga diam.

Seumpama belati, cerita itu kini juga mengiris kenanganku, mencacahnya perlahan, kembali merobek luka itu.

Surat malam itu juga tak pernah kusangka-sangka. Itu kira-kira terjadi sebulanan setelah kekasihku memutuskan pulang ke rumahnya. Sebelumnya, ia jatuh ke dalam pundakku. Air matanya rebah, “Ayahku bilang, kerjaku di sini tak menghasilkan apa-apa. Bukankah keberhasilan tak selamanya harus ditakar dengan materi?”

“Lalu bagaimana? Biaya hidup di kota memang mahal, sulit bila hanya ditambal hanya dengan mengajar”

“Kata ayah dengan aku kembali, mungkin akan jauh lebih menghasilkan.” Ia masih ingat percakapan itu, sebelum sebulan kemudian, menerima surat yang sama. Aih, betapa kini kenangan itu kembali datang menyiksaku.

Aku tatap kembali laki-laki di hadapanku, ia masih tetap menunggu, padahal aku hanya pura-pura memperbaiki arlojinya.

“Apakah kamu yakin dengan cara kembali ke masa lalu akan menyudahi segalanya?” aku coba meyakinkan, namun matanya segera menatapku.Lekat.

Ia tak menjawab. Aku yakin pikirannya kini sekacau pikiranku saat itu, “aku hanya tak ingin memulai apa yang tak bisa aku akhiri”

“Lantas?”

“Aku hanya ingin mengakhiri sebelum memulainya, sebelum ia menjadi peristiwa, sebelum ia menjelma kenangan yang menyika” katanya lagi, “anda bisa memperbaiki arloji saya kan? Saya tidak tahu mengapa itu bisa rusak padahal saya belum pernah memakainya.”

“Bagaimana mungkin anda tak pernah memakai pemberian kekasih anda? Apa anda tak menyukai pemberian itu? Lalu untuk apa membawanya kemari?”

“Ah, tidak.” Elaknya, “Justru dengan cara itu saya menjaganya. Saya tidak ingin kalau nantinya arloji ini akan lecet. Lagi pula, coba bayangkan, apakah arloji ini cocok untuk orang seperti saya ini?” senyumnya menyeringai. Itu senyum pertama yang kudapat dari laki-laki ini.

“Sebetulnya, arloji anda tidak rusak, hanya perlu mengganti dengan batrei” aku mulai lebih terbuka, “hanya saja, sulit rasanya dengan permintaan terakhir anda”

“Bukankah anda sudah bertahun-tahun bergelut dengan arloji? Apakah anda tak benar-benar punya cara? Tolong, jangan sembunyikan keahlian itu dari saya!”

Lagi-lagi, ucapan laki-laki itu kembali mengantar kenanganku. Aku tak pernah menyukai arloji, dan bekerja seperti ini juga bukan cita-citaku. Tapi kekasihku, membuat itu lain, membuatku ingin merawat waktu. Arloji yang pernah ia berikan memang tak pernah kupakai, tapi itu karena aku tak ingin menghitung waktu kebersamaan dengannya.

Namun, setelah menerima surat malam itu, setelah kepergian Mayda justru membuatku ingin mengembalikan waktu yang dulu pernah kurawat. Aku ingin menghapusnya.

Aku terhenyak tiba-tiba, sebuah kesadaran mendesak kepalaku. Aku menatapnya, ia balik menatapku. Kami saling bersitatap. Lekat.

“Bagaimana kamu berpisah dengan kekasihmu?” tanyaku sambil tetap memeriksa arloji yang sedari tadi telah berhasil memotret semua kenanganku.

“Dua hari lalu, kekasihku mengirimi surat” Ia kembali bercerita, “tepat sebulan setelah perpisahan itu, kekasihku memutuskan tunangan dengan rekan barunya. Dapat kumaklumi, aku memang tak kunjung lulus kuliah” sorot mata itu kembali layu, perih.

Aku terperangah, mataku terbelalak. Cerita laki-laki itu terlalu sempurna untuk sebuah kebetulan dengan kisahku.

“Apakah kekasihmu bernama Mayda?” tanyaku.

Ia diam dan tak segera menjawab. Segera kuburu sorot mata itu, aku ingin memastikan, menatapnya lebih tajam lagi. Namun,tak kudapatiapa pun dihadapanku. Hanya cermin. Sebuah cermin memantulkan seogok wajah dengan sorot mata begitumuram. Kemudian, seorang dalam cermin itu menuding ke arahku, “Bisakah memperbaiki arloji sekaligus kenangan di dalamnya?”


Drei Herba T. Tinggal di Jogja. Menulis esai, cerpen dan puisi.

Buku, Resensi

Narasi Futuristik Kepala

Oleh Setyaningsih

Ada suatu anekdot ihwal kepala yang beredar di masa sekolah. Guru selalu mengatakan untuk melepaskan kepala di rumah atau tidak usah membawa kepala ke sekolah setiap kali murid terlihat lungkrah melenakan kepala di meja. Melepaskan kepala di sini benar-benar lebih dekat ke arti harfiah, bukan secara metaforis mewakili tindakan untuk tidak menggunakan isi kepala (otak) atau berpikir. Namun, begitu membaca novel eksperimental Cara Berbahagia Tanpa Kepala (2019) garapan Triskaidekaman, melepas kepala yang sungguh-sungguh memisahkan kepala dari badan memang menjadi peristiwa yang sangat realis.

Kepala adalah penanda eksistensial. Secara birokratis, kepala mengingatkan pada jabatan-jabatan penting, seperti kepala pusat, kepala negara, kepala sekolah, kepala desa, kepala keluarga, dan kepala-kepala lain yang berada di tempat tertinggi untuk membawahi setiap (anggota) badan. Kerja (berpikir) yang dilakukan kepala pun sering lebih dihargai daripada kerja (bertenaga) dari badan. Bisa dikatakan segala ritual komersial sampai spiritual, paling bisa dialami kepala. Triskaidekaman menulis, “Kepala adalah sumber segala mudarat dan ide keparat. Rumah segala kisah Ayah pengecut bertempat, segala uang di mata dan pukas Ibu, dan kitaran orang yang cuma berpura-pura sayang. Sedangkan badan cuma bisa menurut. Kepala paling rajin terpelihara—sebut saja sampo, calir muka, maskara, hingga celak, dan gincu merona. Badan belum tentu. Kepada beda di setiap orang—terima kasih Muka—hingga setiap baru berkenalan, selalu kepala yang dilihat duluan” (hal. 5).

Triskaidekaman tidak secara gamblang menyebutkan penahunan peristiwa meski cerita jelas terjadi di Jakarta sebagai kota percaturan sengit hidup para kepala. Dalam narasi futuristik ini, teknologi tidak lagi hadir untuk membantu, manusia sendiri sudah menjadi tubuh mekanis yang bekerja selayaknya komputer. Anggaplah pembayangan futuristik bukan hal mengagetkan, semacam layanan ketubuhan; pijat, perawatan wajah, sulam alis, atau perbaikan ukuran kelamin, tentu dengan upaya lebih canggih. Tokoh utama lelaki, Sempati, mengikuti program “Bebaskan Kepalamu” yang menjanjikan keringanan beban hidup khas urban. Sempati tidak perlu khawatir mati atau kehilangan kemampuan mengindra dan keraiban segala kenangan. Segala hal sudah dicadangkan sebuah kandar kilas alias flashdisk. Selain itu ada pencadangan fungsi otak di dengkul dan selangkangan, sepertinya inilah cara Triskaidekaman mendestruksi kehormatan kepala.

Tragisme Urban

Sejak awal, Sempati memang sudah merasakan ketidakkesinkronan kepala dan badan. Harapan hidup sejahtera juga pupus; kendaraan, karir, kemapanan finansial, kekasih, dan keutuhan keluarga yang paling mustahil dicapai. Sejak kepala dipisahkan, kepala lebih berotoritas menenggak kebebasan, “Kini, kepala itu bebas memuaskan segala keinginan yang tak pernah direstui badan sewaktu mereka bersama dulu. Kedai tenda. Makan seporsi sate dua belas tusuk. Minum teh manis yang cokelat pekat. Berkeliling taman kota. Menonton tingkah polah manusia. Mencerap pergerakan peradaban menjelang padamnya lampu jalan. Mampir dan mengintip ke dalam rumah binal, mencari sepotong adegan yang banal sampai yang seksual. Semakin menjadilah kebencian kepala Sempati kepada badannya. […] Setelah sekian lama, kini saatnya: kepala Sempati membentuk otonomi sendiri, merdeka dari badan yang memenjarakan” (hal. 55).

Tentu, Triskaidekaman membawa Sempati pada konflik paling gawat: kecurian kepala. Kepala Sempati benar-benar hilang dicuri, padahal kepala harus tetap dimiliki agar tidak mati. Sekali lagi, kepala tetaplah penanda eksistensial manusia, “Kaki dan tangan tak berwajah, takkan pernah menandingi kepala. Beberapa kaki dan beberapa tangan berajah-bertahilalat-bertanda lahir, tetapi begitu bercerai dari tuannya, yang diingat tetaplah wajah dan hanya wajah. Tuan adalah wajah dan wajah adalah tuan.” Dalam perjalanan badan dan kepala saling mencari, terungkap masa lalu traumatis Sempati sebagai anak. Dia harus menghadapi kenyataan dilahirkan dalam keluarga yang berantakan, dihantam masa lalu asmara ibunya yang rumit, pertengkaran orangtua, pengkhianatan, kecacatan dan balas dendam, keterabaian. Kepala yang terlepas justru mengungkap segala yang tidak membahagiakan khas urban.

Di sini hadir Semanggi, bapak tapi bukan bapak biologis yang karena tidak memiliki kedigdayaan ekonomi membesarkan anak, memilih menjadi jam tangan. “Saya akan menjadi sebuah jam tangan. Penunjuk waktu yang mengingatkannya untuk hidup teratur. Pengingat bahwa waktunya terbatas. Pengingat bahwa dia akan tumbuh besar, akan menyakitkan banyak hal” (hal. 194). Waktu adalah hal yang bernas sekaligus menakutkan bagi manusia. Terutama dalam persepsi modern, waktu menentukan capaian hidup sebagai manusia sukses, menantang tapi tidak tertaklukkan.

Narasi futuristik kepala Triskaidekaman tentu harus mengadopsi diksi-diksi teknologi perkomputeran. Sekalipun diksi perkomputeran lumrah hadir dalam bahasa Inggris, Triskaidekaman tetap mengupayakan menggunakan bahasa Indonesia yang baik untuk mengganti sebagian diksi-diksi teknologi ataupun narasi tutur novel. Pembaca akan sering menemukan diksi-diksi yang barangkali masing sangat asing, tapi sebenarnya telah terdaftar di kamus resmi bahasa Indonesia.

Pemilihan tema yang eksperimental-futuristik dengan pengemasan tragisme lewat strategi bahasa dan pilihan diksi memang menonjol sebagai cara bertutur Triskaidekaman. Cara ini sekaligus mengakali kisah tragisme manusia urban yang bisa kita rasa sangat lumrah berkisar di prosa mutakhir Indonesia. Strategi bertutur Cara Berbahagia Tanpa Kepala berkemungkinan mengemas yang lumrah, demi berhasil menegangkan dan menolak membosankan.


Setyaningsih, Esais. Pembaca Buku. Penulis cerita “Peri Buah-buahan Bekerja” (Kacamata Onde, 2018) Email : [email protected]

Puisi

Puisi Patricia Pawestri

ada hal-hal teraba

pada buah dada yang dibedah

ada ibu di sana

ada ranum alpukat

pada hamparan putih lembut itu

ada kekasih

ada hangat selimut rajut

pada kemesraan kelam itu

ada anak-anak

merumput surga

2019


ranum fajar

jalan lengang sejuk pagi

hamparan hijau padi berbulir

kuntum-kuntum ladang jagung

kolam tenang ikan berenang

bisik gemericik sungai

awan lembut perlahan beriring

2019


anak kecil berlari

ia menuju pepohonan pada jalan menurun

menangkap suara burung dan gemulai angin di antara daun

ia menahan bayang awan pada matanya

kaki kecil lembut membelai rumput

bintik peluh sedikit sembunyi

kulit berkilau sematan embun

2019


ia berkata, indah sekali

di tepi pematang ia berhenti

ia tangkapi kepak sayap bangau kecil

yang naik turun dari dahan mati

kepada kolam bibit padi

2019


uri-uri

sehelai selendang

menari bersama gemulai angin

keris-keris kecil yang manis

sehelai lagi dihentakkan

kembang-kembang air yang terusir

seperti tertawa suaranya

selusin batik menghiasi halaman

tersampir pada tali menggeletar

2019


melepas turun

benang-benang sari mendengar hujan

mendengar geledek hujan

benang-benang sari bunga rumput

tertimpa tetes-tetes hujan

benang-benang sari bunga rumput

tertunduk-tunduk terbawa berat tetes-tetes hujan

benang-benang sari basah sekujur tubuh

2019


mencium fajar

pada jaring waktu pagi hari

aku tak pernah melihat keluar

tapi kubayangkan, ada yang menjalin

segar dan ramai di udara:

hembus udara embun dan kicau burung

dan percik keemasan di tengah suram langit.

2019


mengetuk hati

cinta adalah diskusi hujan

bagi perempuan muda, bagaimana membedakan

keinginan berbagi dari memiliki, dan keduanya berasal dari surga

cinta adalah diskusi kemarau

di mana rasa dahaga tak menemukan secangkir minuman

hingga ia mengerti di dalam dirinya sendiri sumur tertutup sebenarnya penuh

cinta adalah diskusi musim semi

setiap pagi tunas baru menemui cahaya matari

dan dengan tunas cinta lainnya ia berlomba tumbuh semakin tinggi

cinta adalah diskusi musim dingin

di mana setiap yang beku adalah pintu rumah yang perlu diketuk

senyum dan pelukan hangat, meski seribu kali ditolak, tetap jadi anak kunci

2019


kita belum merdeka ketika membaca berita

ini memang bukan 17 agustus

hari di mana kita mengkaji bendera di puncak

kita belum merdeka

selama masih ada pengemis di tangga pusat perbelanjaan

dan anak-anak yang berangkat pagi dengan sepatu menganga

kita belum merdeka

ketika ada buruh pabrik yang disembunyikan di loteng ketika audit tenaga kerja

kita belum merdeka

ketika buku-buku dirampas oleh tentara

kita belum merdeka

ketika pemerkosa diijinkan melengang di kampus

kita juga belum merdeka

ketika jumlah pupuk dan pestisida yang dibeli petani dibandrol naik

dan pedagang sayur memilih membeli barang dari tengkulak daripada petani

kita belum merdeka. ke mana perempuan-perempuan Kendeng itu? aku belum selesai membaca berita, apa mereka masih harus merendam kaki mereka di dalam semen hari ini?

2019


Patricia Pawestri, lahir dan tinggal di Yogyakarta. Cerpennya pernah dimuat di Nalar Politik. Karya tunggalnya Metafora Goodnick Griffin.