Cerpen Indarka P.P.
Suatu masa pasca-425 hari kelahiran, di sebuah kamar yang dindingnya tertempel poster dunia binatang—yang langit-langitnya terhias bola-bola berputaran; di atas pintunya terpasang seikat padi dan selembar daun dringu; lantainya terbalut karpet busa tipis; mejanya bergeletak empeng dan lipatan jarik; di stopkontaknya tertancap seutas kabel kipas angin; dan ranjangnya berseprai motif bunga tulip—terlentang seorang bayi berkupluk dan berkaus kaki yang dilindungi kelambu mangkuk raksasa.
Bayi tersebut tidaklah diam. Telapak tangannya bergerak mengepal-ngepal, lalu terbuka, lalu mengepal kembali, dan terus seperti itu sepanjang kipas angin memusing-musingkan kepala. Kedua bola mata bayi yang seukuran kelereng mini, berpendar tersorot cahaya lampu di atasnya. Ia anteng ditinggal Ibu yang dua belas menit lalu merasa sukses meninabobokannya, yang kemudian keluar kamar menuju toilet untuk menuntaskan bilas terakhir cucian terjeda.
Pembaca yang Budiman, sesungguhnya bukan karena kepiawaian Ibu tersebut si bayi bisa seanteng itu. Adapun yang membikin si bayi tidak rewel tiada lain tiada bukan adalah ragam hiburan yang berasal dari poster dinding kamar. Kalian lihat, bayi itu acap berseringai mungil lantaran ulah mahkluk-mahkluk poster dunia binatang. Dua biji gigi susunya pun kentara bagai biji mentimun tiap kali mengulum senyum.
***
Ayam mewanti-wanti Bebek supaya menahan diri menertawakan Macan Tutul. Ia khawatir kalau-kalau di waktu mendatang Bebek akan beroleh karma. Tapi Bebek tetap tak hirau dengan peringatan itu. Tawanya terus saja menguar ketika melihat air liur Macan Tutul menderas bercucuran meratapi bayang-bayang memangsa Rusa.
“Lihatlah,” kata Bebek, “menjilat duri-duri Landak di sebelahnya saja dia tak mampu. Wkwkwk!” Bebek tambah meledek.
“Kematian memang pasti, Bek. Tapi diterkam Macan Tutul tentu bukan kematian yang baik bagimu,” ucap Ayam sambil membentangkan kedua sayapnya.
Macan Tutul tidak sepenuhnya bergeming. Ejekan-ejekan Bebek kerap ia balas dengan beberapa ancaman tak main-main. Kali ini, sambil berputar-putar di tempat dan mengasah-asah cakarnya, ia mengucap sumpah: kelak jika ia terbebas, maka paha Bebek-lah yang akan pertama kali dijamah oleh taring-taringnya.
Lain Macan Tutul, nasib mujur justru baru-baru dialami Kucing. Binatang rumahan itu sekarang tengah khusyuk mendengkur usai menyantap Tikus yang kebetulan sekali bertempat persis di sebelahnya—entah pertimbangan apa posisi mereka didekatkan. Penantian yang tidak sia-sia, gumam Kucing dalam mimpi indahnya.
Sudah berbulan-bulan ia menanti Tikus bertambah usia, yang berarti bertambah pulalah ukuran tubuh Tikus itu. Pagi tadi, sesaat Tikus lengah terlelap, dengan gesit Kucing mengigit separuh dari total panjang ekor Tikus, lantas menarik-narik dan mencabiknya secara paksa, tentu saja. Sungguh beringas aksi Kucing dalam memenuhi rasa naluriahnya dengan melibas segala daya upaya perlawanan Tikus. Tenaga Kucing itu kelewat kuat karena ditopang lapar. Dalam kasus ini, jelas sekali bahwa Kucing lebih bernas daripada Macan Tutul.
***
Di seberang kota, mata Ayah merona merah saga. Jalannya gontai, langkahnya ditopang tangan; merambati tembok sepanjang lorong sempit. Tiada yang tahu apakah Ayah masih mengingat baik alamat rumah yang sudah ia tinggal sejak tujuh bulan lalu.
Dahulu, ketika pertama kali mengutarakan niatnya ingin pergi ke kota, ia yakin kalau bekerja di perantauan adalah satu-satunya jalan supaya terlepas dari runyam ekonomi yang selama ini melilit keluarganya. Namun kota tak selalu menepati janji seperti yang diyakini banyak orang. Jangankan bertabur rampai-rampai uang, keperluan biaya persalinan istrinya saja tak sanggup Ayah penuhi. Antara malu, kecewa, ataupun bebal, apa yang terjadi sekarang adalah seperti yang Pembaca Budiman lihat: Ayah telah kehilangan akal pikir yang sehat.
Entah Ayah sadari atau tidak, titimangsa pun berangsur melaju. Di suatu tempat di mana Ayah meninggalkan permata paling berharga, buah kandungnya sudah bertumbuh. Sudah berkembang. Hari demi hari.
***
“Ini bukan yang pertama lho Bu. Dua hari lalu mata Pak Doni nyaris ditusuk pensil saat mencoba mengajari anak itu menulis latin.”
“Kata Pak Umam dan Pak Ragil kok baik-baik saja, ya?”
“Maaf seribu maaf, Bu Kepala. Terus terang, menurut saya Pak Umam itu orangnya memang kurang peka. Makanya beliau mungkin menganggap Yusuf masih baik-baik saja. Nah, kalau Pak Ragil, ehm, ya, Bu Kepala tahu sendiri gimana dia…”
Kepala Sekolah menghela napas, lalu menanggalkan kaca matanya. “Ya sudah, buatkan undangan untuk orangtuanya. Besok biar saya yang bicara,” pintanya.
Esoknya, Ibu Yusuf datang memenuhi panggilan. Kepala Sekolah lantas membicarakan terkait keganjilan perilaku Yusuf yang meresahkan itu. Kepala Sekolah bertanya apa yang terjadi pada diri Yusuf. Ibu Yusuf pun lugas menjawab kalau ia tidak pernah melihat hal aneh pada diri anaknya selama ini.
“Pak Hamid hampir tidak mau lagi mengajar kelas satu gara-gara Nak Yusuf pernah beberapa kali menjilati tangannya,” terang Kepala Sekolah. “Pak Natsir juga kehabisan akal menghadapi Nak Yusuf. Ia satu-satunya murid yang menolak menghafal Pancasila. Dan baru-baru ini, anak Ibu hampir meruncingi mata Pak Doni menggunakan mata pensil miliknya.”
“Nak Yusuf sering bertingkah aneh setiap kali diajar para guru, Bu,” kata Kepala Sekolah lagi. “Sebagai pimpinan, sejujurnya saya sudah sangat pusing mendengar keluhan-keluhan mereka.”
“Mohon maaf, Bu, tapi…”
“Oh, saya ingat, kecuali dua guru,” Kepala Sekolah memotong. “Pak Umam dan Pak Ragil justru bilang kalau Nak Yusuf ini cukup santun dan tidak pernah sekalipun bikin masalah. Tapi apa boleh buat, Bu, yang merasa terganggu jumlahnya lebih banyak daripada mereka berdua.”
Obrolan berlangsung cukup lama. Entah bagaimana persisnya Ibu Yusuf sampai menceritakan keadaan keluarganya. Kepala Sekolah bertanya di mana Ayah Yusuf sekarang. Ibu Yusuf menjawab apa adanya. Suaminya tak pernah pulang sejak usia kandungannya menginjak bulan ke tujuh. Tentang bagaimana nasib ataupun keberadaannya saat ini, ia juga tidak tahu-menahu.
“Apa Nak Yusuf tidak pernah bertanya tentang ayahnya?” telisik Kepala Sekolah, terdengar klise tapi ia sangat penasaran.
“Pernah. Namun sayangnya pertanyaan itu dilontarkan bukan pada saya, Bu, melainkan pada neneknya. Dan neneknya enteng saja menjawab kalau ayahnya mati dimakan kucing kota.”
Kepala Sekolah manggut-manggut belaka. Ia bingung menangkap apa yang disayangkan Ibu Yusuf perihal pertanyaan anaknya kepada sang nenek. Bagi Kepala Sekolah, penjelasan tersebut tak menggambarkan secara terang benderang tentang perilaku Yusuf. Satu hal yang memang sejak kemarin terbayang di pikiran Kepala Sekolah itu adalah memindahkan Yusuf ke sekolah luar biasa.
“Ehm… Begini, Bu,” Kepala Sekolah mengambil ancang-ancang, “kata Pak Umam, Nak Yusuf ini cerdas sekali berhitung. Kemampuan matematiknya di atas rata-rata murid lain. Oya, ngomong-ngomong soal kucing. Ternyata anak Ibu juga pandai menggambar, lho. Pak Ragil, guru seni budaya kami, sampai-sampai menunjukkan gambar seekor kucing hasil karya Nak Yusuf kepada saya. Bahkan beliau menyarankan supaya Nak Yusuf-lah yang maju mewakili sekolah apabila suatu saat ada lomba menggambar. Pokoknya, untuk ukuran anak seusianya, saya berani ngasih dua jempol untuk Nak Yusuf!”
Bagai gayung yang tiada bersambut, serangkaian cerita hiperbolis Kepala Sekolah tak berbanding lurus dengan tanggapan positif Ibu Yusuf. Malah sekarang pandangannya terlihat kosong, entah takjub, entah bingung.
Sadar tidak memperoleh respons apa pun, Kepala Sekolah lantas melanjutkan perkataannya. “Jadi, Bu…” tangan Kepala Sekolah perlahan memegangi tangan Ibu Yusuf di atas meja—barangkali semacam siasat untuk mengelabuhi emosional. “Keistimewaan anak Ibu yang saya ceritakan barusan adalah modal besar baginya untuk bisa belajar di tempat lain, tentu saja tempat yang lebih bersahabat bagi diri Nak Yusuf. Jadi, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.”
“Di tempat lain? Maksud Ibu sekolah lain?” tanya Ibu Yusuf, ia mengernyit dalam sepersekian detik.
“Betul. Tenang. Tenang saja, Bu. Kami berjanji akan memfasilitasi dengan baik proses perpindahan Nak Yusuf.”
Dan bisu sama-sama merasuki kedua perempuan itu. Kepala Sekolah dibuat pongah saat menangkap pandangan lawan bicaranya. Di saat bersamaan, sesungguhnya Ibu Yusuf juga tak kalah pongah ketika mendengar keputusan Kepala Sekolah itu.
Detik-detik pada jam dinding ruangan itu mengambil peran utama untuk beberapa saat, sebelum akhirnya tergilas kembali oleh situasi yang lebih mengejutkan. Seorang guru tiba-tiba masuk ruangan dengan napas tersengal-sengal. Ibu Yusuf terperanjat, Kepala Sekolah terperangah, lalu ia lekas bertanya, “Ada apa?”.
“Pak Ragil, Bu!” seru guru itu.
Mereka buru-buru menuju pusat kegaduhan. Di ruang kelas satu, murid-murid bersorak-sorai melihat Pak Ragil menggendong Yusuf di balik punggungnya, dengan posisi mengunci kedua kaki Yusuf di kolong lengannya. Guru dan murid itu seakan jatuh tenggelam ke sebuah alunan semarai yang tercipta dari mulut murid-murid lain. Pak Ragil berlagak bagai pendaki gunung dengan beban di punggung, mencapai puncak fantasi yang kian tinggi. Sedang Yusuf, bocah yang digendong Pak Ragil itu, memamerkan selembar kertas bergambar binatang rupa-rupa. Seringai senyum dari guru dan murid itu maujud lengkung terbalik sebuah pelangi. Indah, barangkali.
Sementara di ambang pintu kelas, Kepala Sekolah dan Ibu Yusuf hanyalah patung yang tak berarti. Para guru yang geli saling mererak-rerak, berebut intip lewat kaca jendela. Besar kemungkinan dalam hitungan hari, sekolah tersebut akan mengalami penurunan jumlah guru, atau jumlah murid, atau malah jumlah keduanya.***
Indarka P.P., lahir di Wonogiri. Anggota Komunitas Kamar Kata.