Cerpen

Anomali

Cerpen Indarka P.P.

Suatu masa pasca-425 hari kelahiran, di sebuah kamar yang dindingnya tertempel poster dunia binatang—yang langit-langitnya terhias bola-bola berputaran; di atas pintunya terpasang seikat padi dan selembar daun dringu; lantainya terbalut karpet busa tipis; mejanya bergeletak empeng dan lipatan jarik; di stopkontaknya tertancap seutas kabel kipas angin; dan ranjangnya berseprai motif bunga tulip—terlentang seorang bayi berkupluk dan berkaus kaki yang dilindungi kelambu mangkuk raksasa.

Bayi tersebut tidaklah diam. Telapak tangannya bergerak mengepal-ngepal, lalu terbuka, lalu mengepal kembali, dan terus seperti itu sepanjang kipas angin memusing-musingkan kepala. Kedua bola mata bayi yang seukuran kelereng mini, berpendar tersorot cahaya lampu di atasnya. Ia anteng ditinggal Ibu yang dua belas menit lalu merasa sukses meninabobokannya, yang kemudian keluar kamar menuju toilet untuk menuntaskan bilas terakhir cucian terjeda.

Pembaca yang Budiman, sesungguhnya bukan karena kepiawaian Ibu tersebut si bayi bisa seanteng itu. Adapun yang membikin si bayi tidak rewel tiada lain tiada bukan adalah ragam hiburan yang berasal dari poster dinding kamar. Kalian lihat, bayi itu acap berseringai mungil lantaran ulah mahkluk-mahkluk poster dunia binatang. Dua biji gigi susunya pun kentara bagai biji mentimun tiap kali mengulum senyum.

***

Ayam mewanti-wanti Bebek supaya menahan diri menertawakan Macan Tutul. Ia khawatir kalau-kalau di waktu mendatang Bebek akan beroleh karma. Tapi Bebek tetap tak hirau dengan peringatan itu. Tawanya terus saja menguar ketika melihat air liur Macan Tutul menderas bercucuran meratapi bayang-bayang memangsa Rusa.

“Lihatlah,” kata Bebek, “menjilat duri-duri Landak di sebelahnya saja dia tak mampu. Wkwkwk!” Bebek tambah meledek.

“Kematian memang pasti, Bek. Tapi diterkam Macan Tutul tentu bukan kematian yang baik bagimu,” ucap Ayam sambil membentangkan kedua sayapnya.

Macan Tutul tidak sepenuhnya bergeming. Ejekan-ejekan Bebek kerap ia balas dengan beberapa ancaman tak main-main. Kali ini, sambil berputar-putar di tempat dan mengasah-asah cakarnya, ia mengucap sumpah: kelak jika ia terbebas, maka paha Bebek-lah yang akan pertama kali dijamah oleh taring-taringnya.

Lain Macan Tutul, nasib mujur justru baru-baru dialami Kucing. Binatang rumahan itu sekarang tengah khusyuk mendengkur usai menyantap Tikus yang kebetulan sekali bertempat persis di sebelahnya—entah pertimbangan apa posisi mereka didekatkan. Penantian yang tidak sia-sia, gumam Kucing dalam mimpi indahnya.

Sudah berbulan-bulan ia menanti Tikus bertambah usia, yang berarti bertambah pulalah ukuran tubuh Tikus itu. Pagi tadi, sesaat Tikus lengah terlelap, dengan gesit Kucing mengigit separuh dari total panjang ekor Tikus, lantas menarik-narik dan mencabiknya secara paksa, tentu saja. Sungguh beringas aksi Kucing dalam memenuhi rasa naluriahnya dengan melibas segala daya upaya perlawanan Tikus. Tenaga Kucing itu kelewat kuat karena ditopang lapar. Dalam kasus ini, jelas sekali bahwa Kucing lebih bernas daripada Macan Tutul.

***

Di seberang kota, mata Ayah merona merah saga. Jalannya gontai, langkahnya ditopang tangan; merambati tembok sepanjang lorong sempit. Tiada yang tahu apakah Ayah masih mengingat baik alamat rumah yang sudah ia tinggal sejak tujuh bulan lalu.

Dahulu, ketika pertama kali mengutarakan niatnya ingin pergi ke kota, ia yakin kalau bekerja di perantauan adalah satu-satunya jalan supaya terlepas dari runyam ekonomi yang selama ini melilit keluarganya. Namun kota tak selalu menepati janji seperti yang diyakini banyak orang. Jangankan bertabur rampai-rampai uang, keperluan biaya persalinan istrinya saja tak sanggup Ayah penuhi. Antara malu, kecewa, ataupun bebal, apa yang terjadi sekarang adalah seperti yang Pembaca Budiman lihat: Ayah telah kehilangan akal pikir yang sehat.

Entah Ayah sadari atau tidak, titimangsa pun berangsur melaju. Di suatu tempat di mana Ayah meninggalkan permata paling berharga, buah kandungnya sudah bertumbuh. Sudah berkembang. Hari demi hari.

***

“Ini bukan yang pertama lho Bu. Dua hari lalu mata Pak Doni nyaris ditusuk pensil saat mencoba mengajari anak itu menulis latin.”

“Kata Pak Umam dan Pak Ragil kok baik-baik saja, ya?”

“Maaf seribu maaf, Bu Kepala. Terus terang, menurut saya Pak Umam itu orangnya memang kurang peka. Makanya beliau mungkin menganggap Yusuf masih baik-baik saja. Nah, kalau Pak Ragil, ehm, ya, Bu Kepala tahu sendiri gimana dia…”

Kepala Sekolah menghela napas, lalu menanggalkan kaca matanya. “Ya sudah, buatkan undangan untuk orangtuanya. Besok biar saya yang bicara,” pintanya.

Esoknya, Ibu Yusuf datang memenuhi panggilan. Kepala Sekolah lantas membicarakan terkait keganjilan perilaku Yusuf yang meresahkan itu. Kepala Sekolah bertanya apa yang terjadi pada diri Yusuf. Ibu Yusuf pun lugas menjawab kalau ia tidak pernah melihat hal aneh pada diri anaknya selama ini.

“Pak Hamid hampir tidak mau lagi mengajar kelas satu gara-gara Nak Yusuf pernah beberapa kali menjilati tangannya,” terang Kepala Sekolah. “Pak Natsir juga kehabisan akal menghadapi Nak Yusuf. Ia satu-satunya murid yang menolak menghafal Pancasila. Dan baru-baru ini, anak Ibu hampir meruncingi mata Pak Doni menggunakan mata pensil miliknya.”

“Nak Yusuf sering bertingkah aneh setiap kali diajar para guru, Bu,” kata Kepala Sekolah lagi. “Sebagai pimpinan, sejujurnya saya sudah sangat pusing mendengar keluhan-keluhan mereka.”

“Mohon maaf, Bu, tapi…”

“Oh, saya ingat, kecuali dua guru,” Kepala Sekolah memotong. “Pak Umam dan Pak Ragil justru bilang kalau Nak Yusuf ini cukup santun dan tidak pernah sekalipun bikin masalah. Tapi apa boleh buat, Bu, yang merasa terganggu jumlahnya lebih banyak daripada mereka berdua.”

Obrolan berlangsung cukup lama. Entah bagaimana persisnya Ibu Yusuf sampai menceritakan keadaan keluarganya. Kepala Sekolah bertanya di mana Ayah Yusuf sekarang. Ibu Yusuf menjawab apa adanya. Suaminya tak pernah pulang sejak usia kandungannya menginjak bulan ke tujuh. Tentang bagaimana nasib ataupun keberadaannya saat ini, ia juga tidak tahu-menahu.

“Apa Nak Yusuf tidak pernah bertanya tentang ayahnya?” telisik Kepala Sekolah, terdengar klise tapi ia sangat penasaran.

“Pernah. Namun sayangnya pertanyaan itu dilontarkan bukan pada saya, Bu, melainkan pada neneknya. Dan neneknya enteng saja menjawab kalau ayahnya mati dimakan kucing kota.”

Kepala Sekolah manggut-manggut belaka. Ia bingung menangkap apa yang disayangkan Ibu Yusuf perihal pertanyaan anaknya kepada sang nenek. Bagi Kepala Sekolah, penjelasan tersebut tak menggambarkan secara terang benderang tentang perilaku Yusuf. Satu hal yang memang sejak kemarin terbayang di pikiran Kepala Sekolah itu adalah memindahkan Yusuf ke sekolah luar biasa.

Ehm… Begini, Bu,” Kepala Sekolah mengambil ancang-ancang, “kata Pak Umam, Nak Yusuf ini cerdas sekali berhitung. Kemampuan matematiknya di atas rata-rata murid lain. Oya, ngomong-ngomong soal kucing. Ternyata anak Ibu juga pandai menggambar, lho. Pak Ragil, guru seni budaya kami, sampai-sampai menunjukkan gambar seekor kucing hasil karya Nak Yusuf kepada saya. Bahkan beliau menyarankan supaya Nak Yusuf-lah yang maju mewakili sekolah apabila suatu saat ada lomba menggambar. Pokoknya, untuk ukuran anak seusianya, saya berani ngasih dua jempol untuk Nak Yusuf!”

Bagai gayung yang tiada bersambut, serangkaian cerita hiperbolis Kepala Sekolah tak berbanding lurus dengan tanggapan positif Ibu Yusuf. Malah sekarang pandangannya terlihat kosong, entah takjub, entah bingung.

Sadar tidak memperoleh respons apa pun, Kepala Sekolah lantas melanjutkan perkataannya. “Jadi, Bu…” tangan Kepala Sekolah perlahan memegangi tangan Ibu Yusuf di atas meja—barangkali semacam siasat untuk mengelabuhi emosional. “Keistimewaan anak Ibu yang saya ceritakan barusan adalah modal besar baginya untuk bisa belajar di tempat lain, tentu saja tempat yang lebih bersahabat bagi diri Nak Yusuf. Jadi, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.”

“Di tempat lain? Maksud Ibu sekolah lain?” tanya Ibu Yusuf, ia mengernyit dalam sepersekian detik.

“Betul. Tenang. Tenang saja, Bu. Kami berjanji akan memfasilitasi dengan baik proses perpindahan Nak Yusuf.”

Dan bisu sama-sama merasuki kedua perempuan itu. Kepala Sekolah dibuat pongah saat menangkap pandangan lawan bicaranya. Di saat bersamaan, sesungguhnya Ibu Yusuf juga tak kalah pongah ketika mendengar keputusan Kepala Sekolah itu.

Detik-detik pada jam dinding ruangan itu mengambil peran utama untuk beberapa saat, sebelum akhirnya tergilas kembali oleh situasi yang lebih mengejutkan. Seorang guru tiba-tiba masuk ruangan dengan napas tersengal-sengal. Ibu Yusuf terperanjat, Kepala Sekolah terperangah, lalu ia lekas bertanya, “Ada apa?”.

“Pak Ragil, Bu!” seru guru itu.

Mereka buru-buru menuju pusat kegaduhan. Di ruang kelas satu, murid-murid bersorak-sorai melihat Pak Ragil menggendong Yusuf di balik punggungnya, dengan posisi mengunci kedua kaki Yusuf di kolong lengannya. Guru dan murid itu seakan jatuh tenggelam ke sebuah alunan semarai yang tercipta dari mulut murid-murid lain. Pak Ragil berlagak bagai pendaki gunung dengan beban di punggung, mencapai puncak fantasi yang kian tinggi. Sedang Yusuf, bocah yang digendong Pak Ragil itu, memamerkan selembar kertas bergambar binatang rupa-rupa. Seringai senyum dari guru dan murid itu maujud lengkung terbalik sebuah pelangi. Indah, barangkali.

Sementara di ambang pintu kelas, Kepala Sekolah dan Ibu Yusuf hanyalah patung yang tak berarti. Para guru yang geli saling mererak-rerak, berebut intip lewat kaca jendela. Besar kemungkinan dalam hitungan hari, sekolah tersebut akan mengalami penurunan jumlah guru, atau jumlah murid, atau malah jumlah keduanya.***


Indarka P.P., lahir di Wonogiri. Anggota Komunitas Kamar Kata.

Puisi

Puisi Muhammad Gibrant Aryoseno

Satu Warna

 

/Nona/

 

Pada tungku yang menyayang yin dan yang

aku duduk di sudut sambil mengaduk warna hitam saja.

Aku memangku kisah cinta kita seperti

dua telapak tangan melindungi lilin perawan.

 

Aku menatap diriku pada rumah ibadah

dan membiarkannya terbakar sepenuhnya.

Aku bilang, kita tak mungkin bercinta di sana.

Di sana keluargaku bercampur pada tungku yin dan yang.

 

Langkah gontai di tengah buruan kecewa dan malu

membawaku kembali pada lembut suara dan harum rambutmu.

Lidah kelu yang tadi tak bisa bertingkah dan menyangkal kini

cekatan mengkaji setiap bagian tubuhmu dengan napas memburu

dengan bantuan jari jemari karena itu saja yang aku punya.

 

Mengaduk rasa yang sama: saliva kita

membuka kelopak bunga yang sama—tak kautemukan

muntahan busuk itu, kita hanya menangis.

 

/Dara/

 

Tak perlu kautanggalkan mahkotamu itu

sebab kau harus tetap menjadi ratu.

Jangan kau pergi meninggalkan ibu kota dan

menjelajah dunia untuk menjadi bapak-bapak pendiri.

 

Lalu akan melanglang buana diriku dalam lika-liku indramu:

akan kusamarkan cita rasa kaki Adam

yang selama ini menjejaki Puncak Sri Pada hatimu;

akan lekat hatimu bermandikan pasir rusuh

dalam kecemburuan Hawa di daratan Arab.

 

Bersatu padu dalam jalinan kasih yang samar,

selama bulan masih bersinar, kita harus

sembunyi dengan benar, dan jangan sampai

matahari mengolok kita penuh sinar.

 

Rambut kita berkelindan dengan kerlingan bara api

dan dari tangis serta elegi kita akan kembali

kepada tungku yang memanggang yin dan yang

dan mencelupkan jiwa kita ke sana: jurang hitam legam.

 

Sampai lilin kita yang perawan padam,

janganlah engkau berhenti mengaduk, Sayang.

 


Diskursus Emosi

 

Sangkakala berbunyi di ujung malam

mengguncang orang-orang yang beriman.

Mereka yang teguh kembali runtuh

meski telah matang dalam persiapan.

 

Di tengah dimensi emosi yang gagap

mimpi buruk hinggap di antarmasa gelap.

Dan pagi tiba. Ia membuka mata.

Mimpi indahnya lenyap begitu saja.

 

Ia tak ingin kembali pada hari lalu yang gelap,

tetapi pagi memaksanya melanjutkan pemaknaan.

Ia menjawab pertanyaan dengan asal-asalan

lalu pulang dengan tegap menawan.

 

Ia melihat kanan dan kiri,

ladang bunga berwarna-warni.

Sementara dirinya adalah gurun pasir,

tersesat mencari sumber mata air.

 

Di matanya ia temukan oasis,

ia mandi di sana sepuasnya.

 


Menyetubuhi Kata

 

Aku memetik helai rambutmu,

merajutnya menjadi metafora.

 

Aku memangkas mimpi-mimpimu,

lelap mereka bermakna ganda.

 

Aku menambang lubang hidungmu,

konjungsi melenggang bebas

bersama tanda baca mewujud kalimat.

 

Aku memoles bola matamu,

memastikan setiap pembaca berkaca-kaca.

 

Aku menjadikan pangkuanmu perpustakaanku,

pahamu tempatku mengeja rindu.

 

Aku menggigit daun telingamu,

mengimitasi suara agar lidahku serbaguna.

 

Aku meludah di telapak tanganmu,

mencongkel air yang berkerak di garis-garis idenya.

 

Aku mencabik buah dadamu,

merasakan haru merasuk, lalu nafsu

memburu pena agar berdansa leluasa.

 

Aku melamun di tepi pipimu,

mengunyah diksi sambil disapu ombak.

 

Aku menusuk punggungmu,

menanam cinta pada setiap ruas

yang bermekar lindu konsonannya.

 

Aku mengecup bibirmu dengan syahdu,

mengalirkan rima di tiap merahnya.

 

Kini puisi telah lahir.

Ia telanjang bulat.

Mari tanggalkan baju kita

agar puisi ini punya busana.

Kita lanjut lagi bercinta

agar puisi-puisi lain bisa terbaca.

 


Telanjang

 

Mari kita bergandeng tangan

dan berjalan bersama-sama

dengan kondisi telanjang

menuju toko pakaian di sudut jalan

lalu membeli dosa sampai banyak sekali

untuk mengenyahkan malu di wajah kita.

 


Telanjur Tenggelam

 

Pertolongan pertama untuk orang yang tenggelam

adalah menangis di hadapan mereka karena mereka tenggelam

kemudian pergi dan membiarkan mereka mati karena tenggelam.

 

Belasungkawa pertama untuk orang yang mati karena tenggelam

adalah menangis di hadapan jasad mereka karena mereka tenggelam

dan menyesali kenapa tidak menarik mereka ketika mereka tenggelam.

 


Muhammad Gibrant Aryoseno, lahir di Kulon Progo, DIY. Biasa menulis novel, cerpen, dan puisi. Karya-karyanya dapat dijumpai di beberapa media daring, termasuk di laman Instagram-nya (@gibrantha). Novelnya “Machine with a Heart” adalah pemenang Wattys Indonesia 2022 kategori fiksi ilmiah.

Cerpen

Sebuah Percakapan di Hari yang Hujan

Cerpen Diana Rustam

Ini adalah percakapan sunyi seperti semua percakapan sepanjang tiga tahun mereka bersama. Hujan yang tidak deras dan tidak pula ringan pada sebuah sore di hari Sabtu, membuat jarak yang semakin lebar antara L dan P.

Duduk berhadap-hadapan di sebuah kafe yang memiliki kesan antik bergaya kolonial, L dan P belum juga membuka percakapan padahal sudah menghabiskan lima belas menit bersama. Mata L sibuk dengan layar telepon genggam. Sementara P menatap hujan yang menimpa permukaan jalan dari kaca jendela. Sekali-kali ia mengalihkan pandangan pada bunga camelia yang merahnya ranum, dalam pot-pot yang berjejer di halaman kafe.

Seorang pelayan datang menawarkan menu. L hanya mengangkat wajah sebentar kemudian kembali pada layar ponselnya, dan P memberi pelayan itu senyum yang separuh hati.

“Caramel macchiato dan ….” P melirik L, berpikir sejenak dengan banyak keragu-raguan. “Es…presso?” Meninggikan sedikit suara, P berharap L memberinya sedikit perhatian.

“Latte!” L meralat tegas. Masih menunduk. Jarinya bergerak-gerak di atas layar ponsel.

P lagi-lagi melempar senyum kepada pelayan, senyum yang tidak sebenar-benarnya senyum. Sunyi kembali. Semakin dalam. Nada yang dimainkan hujan semakin lamban. Itulah hujan yang tidak disukai P, hujan yang betah berlama-lama.

P memainkan jemarinya di punggung meja. Mengetuk-ngetuk serupa derap kaki kuda. L akhirnya mengangkat wajah. “Sejak kapan kaubelajar memainkan jarimu?”

“Sejak kapan?” P mengernyitkan dahi. Memainkan jemari seperti itu adalah kebiasaannya sejak kecil, sampai ia mengenal L, sampai ia dan L menikah. Di rumah mereka, P suka mengetuk jemari di atas meja makan saat menikmati sarapan. Mengetuk jemari di kaca jendela ketika memandang taman dari ruang keluarga. Di meja kerja, mengetuk jemari adalah ritual paling candu saat ia sedang berpikir keras. Mengetuk jemari bukan sesuatu yang baru saja ia mulai di meja kafe itu.

Pelayan membawa dua cangkir kopi. Cangkir digeletakkan di meja. Kali ini senyum P terlalu kecil untuk dikenali pelayan kafe.

L  mengangkat wajah. Meraih latte, membauinya beberapa jenak dengan mata terpejam. L menggemari wangi latte sebagai sesuatu yang menenangkan. P menatap L  seolah-olah itu adalah pemandangan ganjil yang pertama kali ia jumpai.

Setelah satu tegukan kecil, L perlahan meletakkan kembali cangkir pada tatakan. Pertama kali bagi P melihat cara L menikmati lattenya yang tampak hati-hati, seolah-olah tidak ingin mengusik keindahan lukisan di permukaan latte itu.

P bergeming. Caramel macchiato dibiarkannya sendiri. Menopang dagu dengan tangan kanan, mata P beralih kepada payung-payung pejalan kaki yang mengembang di jalan.

“Minumanmu akan dingin.” L menyela keheningan P.

“Aku suka dingin.”

P mengangkat alis. “Meminumnya saat hangat lebih baik. Apalagi sedang hujan.”

“Hari sedang panas atau hujan, aku suka macchiato yang dingin.”

“Lalu, kenapa tidak pesan macchiato dengan es? “

“Bukan dingin yang seperti itu. “

Hening lagi. Lebih panjang. Cangkir kopi L hampir tandas, tetapi hujan masih betah berlama-lama.

Bertemu di kafe pada sebuah sore yang hujan bukan sesuatu yang direncanakan untuk menghabiskan waktu berdua. Tetapi sebuah keterpaksaan, di sela-sela sulitnya waktu L yang selalu sibuk dengan gambar-gambar di kameranya, yang menjelajah kota hingga ke pelosok untuk sebuah maha karya. Dan P tidak punya pilihan lain, kecuali menunjuk kafe itu sebagai titik pertemuan termudah untuk mereka karena tidak begitu jauh dari  rumah sakit tempatnya bekerja, rumah sakit yang selalu padat dan sibuk dua puluh empat jam dalam seminggu, sekaligus tempatnya selalu menghabiskan waktu hingga larut.

Sebenarnya L bisa saja menyambangi P di tempat kerja untuk percakapan yang menurut P harus dituntaskan hari itu juga, tetapi P menolak. P berkata bahwa percakapan itu akan panjang, dan mereka membutuhkan tempat yang hening untuk tetap berpikir jernih saat bertemu nanti.

L dan P tidak lagi bisa melihat rumah sebagai tempat untuk bertemu, di mana mereka bisa berbagi perasaan dan pikiran. Rumah seolah terlampau jauh untuk menjadi tempat kembali.   Apabila L pulang, P sedang berjibaku di ruang gawat darurat dan meja operasi sampai dini hari. Dan jika P pulang, L sedang berada di luar kota. Tidak ada jejak yang tertinggal di rumah untuk dikenali.

L menghela napas. “Untuk apa kita di sini?”

“Kita butuh waktu bicara,” sambut P.

Namun, lagi-lagi sunyi. Sesungguhnya sunyi adalah keriuhan di kepala L dan P. Kesunyian menyeret mereka kepada banyak ingatan dan perasaan. Semakin sunyi, mereka akan semakin peka terhadap apa yang ada pada diri masing-masing. Keriuhan itu, tidak mereka temui saat sibuk bekerja.

Pertama kali mereka bertemu di sebuah lokasi bencana. L seorang fotografer yang saat itu mengambil gambar kehancuran sebuah kota dari bencana yang mengguncang kota itu, dan P seorang dokter bedah umum yang menjadi salah satu relawan sebagai tenaga medis. Kebersamaan di tempat yang penuh kekacauan itu menumbuhkan keakraban. Keakraban itu ternyata cukup membuat L yakin bahwa P adalah calon istri yang ditakdirkan untuknya, seorang yang mandiri dan pekerja keras. Dan P membutuhkan pendamping untuk melengkapi hidupnya yang kian merangkak jauh dari usia muda.

“Sepertinya kita lebih baik tidak bersama lagi,” ucap P ringan, seringan daun kering yang diterbangkan angin. Seolah-olah ucapan itu sudah ia siapkan jauh-jauh hari.

L meletakkan ponselnya di punggung meja dan mulai menatap P yang sudah meneguk kopinya. Tetapi L belum melontarkan satu patah kata. Matanya merayapi wajah P yang bening, sepasang mata P yang bulat dan alisnya yang datar namun cukup lebat. Oh, L baru menyadari bahwa P memiliki tahi lalat kecil di bawah mata yang indah itu. Sejak kapan ada tahi lalat di sana?

Dan P menemukan aroma cedarwood dari tubuh L. P mencoba mengingat, apakah L mengganti parfumnya? Sesungguhnya P tidak yakin apakah sejak awal L menyukai cedarwood atau vetiver? Atau malah selain keduanya?

P menunduk. Tenggorokannya terasa kering dan rasa hangat mulai menjalari kedua bola matanya. Mengisak di balik rintik hujan adalah cara yang tepat menyembunyikan air mata.

L menyahut setelah diam beberapa saat, “Haruskah?”

“Apakah kau cukup mengenalku dengan baik?” P menimpali dengan segera.

“Dan kau?”

Hening lagi. Hujan masih belum reda. Dan cangkir kopi telah tandas.

“Kalau itu terjadi apakah kau akan lebih bahagia?”

P menggeleng. “Dan kau?”

“Entahlah.” L melempar pandangan keluar.

Lampu taman kafe mulai dinyalakan. Sore merangkak menjumpai ambang malam. Pelayan kafe datang menawarkan sesuatu sebagai teman percakapan L dan P. Kali ini L yang tersenyum, tetapi kecil saja senyum itu. Ia memberi isyarat bahwa mereka tidak sedang membutuhkan sesuatu.

L melirik layar ponsel, kemudian menatap P yang juga melirik arloji.

“Kita …. “ Terputus beberapa saat. “Lanjutkan ini nanti,” ucap L sembari berdiri dari kursinya. Dari sorot matanya, L tampak menyesali situasi itu.

P menghela napas yang mengembangkan dadanya. Mereka keluar dari pintu kafe, L menuju ke timur dan P menuju ke barat.

Makassar, Juni 2024.


 

Diana Rustam saat ini berdomisili di Makassar, Sulawesi Selatan. Menyukai puisi dan cerita pendek, dan belajar untuk menuliskannya.

 

Puisi

Puisi Yeni Kartikasari

kobar

; ummu jamil

kawanku ini muskil menguntitmu. cerita yang kaudengar bukanlah karangannya. kau sendiri yang membuat kisah itu, sejak suamimu mendustakan titah. “terputuslah dari rahmat tuhan,” kata lelaki pujaan hatimu itu kala dua genggam tahi unta ditimpukkan ke punggung kawanku. tapi kawanku yang bersahaja, lagi pemurah kalbunya, lembut lisan, dan sejuk dipandang, tersenyum sejenak, “tunggulah ash-shiddiq, kau akan melihat kuasa.” dan, aku benar menyaksikan segala tuaimu, wahai perempuan panjang lidah dan pembual. kini tubuhmu kian melorot dan kerut di antara dahimu meliuk-liuk. kau menjadi reyot di mataku, barangkali juga mata kawanku, atau mungkin di mata suamimu nanti, tatkala kau kembali ke rumah untuk mengajaknya bercinta.

ponorogo, agustus 2024


sabda

; ash-shiddiq

sungguh, ash-shiddiq, aku ini seorang penyair yang tak pantas kau lukai dengan sabda langitmu yang turun tanpa bentuk. sabda-sabda itu hanya kedustaan. sabda-sabda langitmu hanyalah kehinaan. maka, percayalah padaku, lenyapkan kawanmu, lalu ikutlah aku seperti orang-orang quraisy memegang kakiku. aku teramat benar adanya. ada tanpa kasak-kusuk ketiadaan yang kerap digaungkan kawanmu perihal tuhannya.

sungguh, ash-shiddiq, dibanding kawanmu, kata-kataku lebih segar layaknya air laut merah dan tak kering semacam ayat-ayat tuhannya yang berpasir. aku ini penyair wanita dengan segala kebenaran di atas kebenaran. maka, di mana kawamu itu? kini, untuk kesekian, ingin kuhujam mulutnya dengan batu-batu yang telah dikutuk latta dan uzza—penciptaku yang maha tinggi setinggi-tingginya, sebab ia telah meragukan syairku dan mengagungkan sabda langitnya.

sungguh, ash-shiddiq, aku ingin kau menyaksikan antara syairku dan sabda langit kalian, mana di antara keduanya yang mampu membuat orang-orang di tanah ini menundukkan kepala?  keluarlah! jangan kau sembunyikan diri dan melindungi ia. di mana penyair gersang itu? apa diam-diam ia telah tak mampu menandingi syairku?

ponorogo, agustus 2024


jalan lain

; kawanku

pulanglah

wanita itu

telah membawa

kerusakan

kau bisa lewat manapun

yang kau ingin

dari tenggara

barat daya

timur laut

atau mana saja

sebab kita telah belajar

rasi bintang

dan macam garis langit

dengar, kawanku

ini musim semi

edar pandangmu

ke berbagai penjuru,

lalu temukan biduk itu

di petang paling pekat

jika di sana kau temui

sesuatu serupa gayung dan gagang

atau layang-layang

yang terikat sehelai benang,

berjalanlah ke arah

bintang terterang

karena ia adalah petunjuk

biar kau sampai padaku

sebelum kita sama-sama menua

sebelum wanita itu

menghancurkan jalan kita

ponorogo, agustus 2024


suatu garis

; ash-shiddiq

telingaku pekak

tapi sunyi terasa

seperti punya bunyi

suara apa itu?

katakan dari sana

agar aku dapat

terus mengenali

apa itu sebuah deru,

dengung, gemuruh,

lengking, atau apa?

sebab, semuanya menyatu

hingga garis khayal

yang ku bayangkan

di langit

buyar

di sini

aku lemah

menyusun

garis-garis itu

tiada bentuk golok,

garpu, sendok,

atau peti mati

yang berhasil

aku bentuk

katakan segera

apa nama suara

yang memenuhi

pendengaranku?

sebab pelan-pelan

aku jadi kosong

suhu sudah menembus

tulangku dan aku

teramat ngilu

katakan dari sana

atau kalau kau tidak tahu

setidaknya

kaulah

yang harus

menemuiku

dan lupakan

wanita itu

ponorogo, agustus 2024


nur

; ash-shiddiq

aku adalah nur

pembawa kayu bakar1 itu tak akan bisa melihat kawanmu.

ponorogo, agustus 2024

1) pembawa sebutan al qur’an bagi ummu jamil binti harb bin umayyah.


Yeni Kartikasari, tinggal di Ponorogo.

Katalog

Menafsir Sastra Anak

Dunia anak sangat mengasyikkan. Berdialog dengan buku-buku bacaan anak, menggiring Penulis seperti kembali ke masa kecil. Penulis merasa mengenang kembali beragam imajinasi, semangat, harapan, dan hal-hal menakjubkan yang muskil ditemukan dalam dunia orang dewasa.

Penulis: Yulita Putri

Cetakan: Pertama, Tahun 2024

Penerbit Nomina Ide Karya

145 halaman; 13 x 19 cm

ISBN:

Harga: Rp 50.000,-

Info Pemesanan: 085647226136