Cerpen

Jika Ada Cara Termanis untuk Mati

Cerpen Marcelina Chintia Devi

Jika ada cara termanis untuk mati, aku pasti akan memilihnya. Hanya saja, mengatur kematian nyatanya adalah sebuah kepahitan. Semua baju-bajumu kulipat rapi di lemari, barangkali kau akan pulang sebentar, untuk mengambil sisa-sisa barangmu. Secangkir kopi dan sepiring roti bakar, mungkin sudah berjamur, aku masih menunggumu untuk menghabiskan sisanya. Maaf jika ada beberapa barangmu tak kau lihat tampak di kamarmu atau rumah kita ini, sebagian kubuang, tak lama setelah kau memutuskan pergi dari rumah ini.

Awalnya kukira semua sempurna. Kau yang saat itu masih mahasiswa semester awal, begitu aktif di berbagai kegiatan kampus, hingga bertemulah kita di lapangan basket itu. Kau tidak memiliki sanak saudara di kota ini, dan toh aku sendirian di rumahku sepeninggal orangtuaku. Kutawarkan satu kamar di rumahku, dengan biaya yang tak semahal kosan yang lain. Aku tahu kau tak cukup mampu untuk membayar kos, maka tanpa pikir panjang kau mengiyakannya.

Lantas banyak waktu kita habiskan bersama. Di antara anak-anak kos yang lain kau yang paling menarik perhatianku, menurutku. Kau tak banyak bicara, tak seperti yang lain selalu meriuh sampai tengah malam. Bahkan mereka baru pulang tengah malam, sambil menggandeng perempuan masuk ke kamar. Erangan-erangan menjelang pagi selalu saja kudengar. Tanpa merasa bersalah mereka yang masih berbalutkan selimut melingkar di badannya yang telanjang duduk di ruang tamuku sembari merokok. Aku tidak suka dengan sisa-sisa abu yang berjatuhan di mana-mana. Kau selalu membantuku bersih-bersih keesokan harinya.

Kau yang paling sering mengantarku pergi, mungkin karena kau hampir setiap hari di rumah. Seringkali aku menyapu halaman atau menyiram tanaman-tanamanku diiringi biolamu yang terdengar sendu dari luar kamarmu. Kau bantu aku mencuci mobil, memperbaiki semua barang yang rusak, dan kau sangat menghormati aku. Ketika anak kos yang lain tidak betah dan beranjak pergi dari sini, hanya kau yang akhirnya tetap tinggal. Seringkali kau menceritakan sanak saudaramu jauh di sana, dan aku tahu, kau adalah anak kesayangan bapakmu.

Empat tahun berlalu, kukira semua baik-baik saja, sampai suatu waktu kau hampir tak pernah pulang selama sebulan. Akukhawatir, kesepian, rinduku memuncak. Kau bilang sedang urus skripsimu, mungkin butuh waktu untuk menyelesaikannya. Aku pikir itu hal yang biasa, tapi kemudian ada hal yang berbeda kutemukan di kamarmu. Dengan kunci serep kubuka kamarmu, dan tentu saja yang sudah sering kulakukan, membelai-belai bantalmu, atau memeluk gulingmu sampai tertidur. Saat aku menciumi baju-bajumu, aku mencium aroma yang lain. Kamarmu yang biasanya selalu rapi, kali ini berantakan dan tak beraturan. Ingin rasanya aku merapikannya, dan mencucikan semua bajumu, tapi nanti kau akan tahu, aku sering masuk kamarmu.

Suatu malam, ketika aku setengah terbangun, kudengar langkah kakimu, tetapi tidak sendiri. Tampak lirih suara perempuan berbisik, jantungku terasa berhenti, kutahan untuk tidak menangis, dan kugenggam erat guling di kamarku.Sesak napasku setiap kali mendengar erangan itu, semakin malam semakin keras. Kudengar deru napasmu menikmati perempuan itu, membuatku semakin tegang mengerang, namun di sisi lain, hancur pula hatiku. Teringat setiap kali tanpa kau sadari, aku mengintipmu dari lubang jendela yang jarang kau tutup tirainya, kau tidur hampir telanjang, aku bisa melihatmu sepuasnya kala itu, atau ketika terdengar nyanyianmu ketika mandi, membuatku tak sungkan menikmatinya sembari mengintip dari kamar mandi sebelah. Aku hancur, dan aku menyadari, tak lama lagi kau akan pergi.

Pagi itu, dengan mata sembab, aku mencoba keluar kamar, dan mendapatimu duduk di ruang tamu, bersama seorang perempuan yang tersenyum di pelukanmu. Perempuan macam apa itu, tidak pulang dan malah menginap di kamar kosan laki-laki, mengerang sepanjang malam, dan merebut semuanya dariku dalam sekejap. Dikenalkannya dia sebagai pacarmu. Aku mencoba tersenyum, meskipun aku tahu, semakin aku melihatmu bahagia, semakin tajam pisau menancap di jantungku.

Sebulan kemudian kau pamit padaku, kau bilang skripsimu sudah selesai, dan kau sudah serumah dengan perempuan jalang itu, mungkin dalam waktu dekat kalian akan menikah. Kau peluk aku untuk pertama dan terakhir kalinya, aku mencoba untuk melakukan pelukan formalitas menyambut hangatnya badanmu, meskipun ingin rasanya aku memelukmu lebih lama dan erat.

Kucetak dan kukumpulkan semua foto-fotomu yang diam-diam kuabadikan, setiap malam aku memandanginya, sambil sesekali kulepaskan semua penat dan nafsuku semalaman. Beberapa lembar bajumu yang mungkin kau rasa hilang sebelum kaucuci, kujadikan teman tidurku setiap hari. Kali ini semua sudah kucuci, dan kubereskan, kuletakkan di meja kamar ini dengan rapi. Foto-foto itu untuk kamu, barangkali istrimu mau menyimpannya.

Sudah lama aku memendam perasaan ini, seperti halnya aku memendam jati diriku sebenarnya. Kucoba untuk menghindar dari diriku sendiri. Perempuan-perempuan yang nyatanya setiap hari selalu dating di rumahku, yang membuatmu dan teman-teman kosmu dulu menganggapku hebat dengan seringnya membawa mereka pulang bergantian, toh mereka semua adalah pertanyaan-pertanyaan yang coba kucari jawabannya. Meskipun aku tahu jawabannya, dan jawabanku adalah kamu.

Tidak mudah bagiku untuk memahami diriku sendiri, bahkan meskipun aku semakin lama semakin meyadari siapa aku ini. Jika pendapat masyarakat tidak berbeda dengan cambukan keras bapakku ketika melihatku memakai rok kakakku, untuk apa aku mengakuinya, dan itu berat. Menahan keinginanku untuk memelukmu setiap kali kau tertidur dengan pintu terbuka, atau melihatmu keluar kamar mandi seenaknya dengan berbalut handuk kecil di kemaluanmu, lantas aku harus segera berlari ke kamar untuk melepaskan semua, kamar yang tak pernah dibuka oleh siapapun, bahkan perempuan- perempuan jalang itu.

Aku sudah selesai, dan tidak mau tersiksa seperti ini, jika manusia sepertiku ini tidak bisa menjadi apa adanya, kenapa aku diciptakan? Lantas aku hanya akan membawa luka yang tertoreh sepanjang waktu,dan cintaku padamu hanyalah angan tak bermakna.

Maka, jika kau merasakan pahit yang sama, minumlah kopi itu bersamaku.

***

Selesai kubaca surat itu, ada perasaan ngeri sekaligus kasihan yang kurasakan. Sembari mencari-cari apalagi yang bisa kujadikan barang bukti, sementara menunggu tim yang lain datang untuk mengevakuasi mayat itu. Miris rasanya, melihat lelaki setampan itu, hanya terduduk kaku di kursi samping tempat tidur, dengan tubuh telanjang dan mulut berbusa.Nampaksemua barang-barang di rumah itu sudah tertata rapi, seolah dipersiapkan untuk menyambut kunjungan kami, atau entah siapa yang dia harapkan datang.

Tak berapa lama beberapa lelaki datang, tetap dengan tenang namun tampak haru, mencoba melihat kondisi kamar tersebut. Kuberikan surat itu kepada mereka. Sejenak mereka membacanya, berubahlah raut muka mereka dengan tajam, dan seorang yang paling muda di sana, yang tinggi besar dan berwajah pemalu, tanpa berpikir panjang langsung lari keluar rumah dengan pandangan nanar dan jijik.

***


Marcelina Chintia DeviLulusan S1 Arsitektur UNS dan S2 Magister Perencanaan Arsitektur Pariwisata (MPar) UGM. Berporses bersama beberapa teman membentuk studio arsitektur bernama oarchstudio, dan bekerja paruh waktu di Yayasan Rumah Karya Kreatif Indonesia sebagai pendamping dalam perencanaan kawasan Desa Wisata Plumbon, Tawangmangu, Karanganyar.

Buku, Resensi

Dekat & Nyaring: Upaya Mengutuk Penulis yang Keasyikan Bercerita dan Dakwah yang Salah Tempat

Oleh Doni Ahmadi

Sastra Indonesia dalam beberapa waktu ke belakang mulai ramai dengan karya-karya berbentuk novelete atau novela, sedikit contoh, Omong-kosong yang Menyenangkan karya Robby Julianda, Arapaima karya Ruhaeni Intan, Raymond Carver Terkubur Mi Instan di Iowa karya Faisal Oddang, hingga yang terbaru, Dekat & Nyaring karya Sabda Armandio (selanjutnya akan saya tulis Dio). Dan saya akan mengulas yang disebutkan terakhir.

Secara sadar atau tidak, penulis cenderung keasyikan bermain-main, ngoceh ngalor ngidul, maupun pamer keterbacaan, pengetahuan serta pengalaman yang tidak perlu-perlu amat diceritakan dalam bentuk novel. Hal itu tentu tak bisa dilakukan dalam bentuk novela, tentu saja. Novela—dengan keterbatasan—hanya menyisakan sedikit ruang bagi penulis untuk melakukan itu. Namun jika penulis telah memutuskan untuk novela dan tetap melakukan itu, konsekuensinya hanya dua: menjadi novela yang mubazir atau cerita pendek yang kebetulan dipanjang-panjangkan.

Dekat & Nyaring tidak termasuk dua hal di atas, Dio tidak asyik-masyuk membiarkan tokoh-tokohnya lompat terlalu jauh dan menceritakan hal lain selain apa yang ia ingin kisahkan: Gang Patos, sejarah singkatnya (dalam bentuk alegori maupun secara langsung), hingga kisah-kisah ajaib para penghuninya.

Dekat & Nyaring cukup padat menggambarkan kehidupan orang-orang yang bermukim di Gang Patos: Edi, Nisbi, Anak Baik, Wak Eli, Aziz, Idris, Kina. Bekas penghuni gang Patos: Sam. Serta satu orang lain dari tempat antah berantah yang turut bersinggungan dengan penghuni Gang Patos: Dea Anugrah. Setiap tokoh, hidup dengan karakter yang utuh, tidak lari atau mengalami transformasi seperti banyak tokoh-tokoh di novel—terlebih pewaktuan dalam novela ini juga tidak terlalu jauh, hanya sehari dan sesekali putar balik mengisahkan masa lalu dangan porsi yang tidak terlalu banyak.

Dalam novela ini, misalnya tokoh Edi. Tokoh ini konsisten dengan paham ‘selalu ada jalan lain’ di sepanjang cerita: mencari jalan lain meski seringkali tidak sesuai.

“Kenyataan itu tak membuat Edi putus asa, ia meyakini kalimat kesukannya setiap kali menghadapi masalah ’selalu ada jalan lain.’ Seperti misalnya, mencincang sanca dan menjualnya sebagai kobra.” (hlm. 8)

“Edi menganggukkan kepala. ‘itu masalah mudah. Kita curi saja listrik dari lampu jalan di depan. Kau tak perlu lagi memusingkan tagihan listrik […].” (hlm. 46)

Tak hanya tokoh Edi, tokoh Nisbi juga berperan konsisten. Sebagai janda satu anak, ia ditampilkan begitu cerdik menutupi dosa masa lalunya dengan terus memproduksi dongeng bagi anaknya—tokoh Anak Baik. Tokoh Aziz, seorang anak yang dengan kecerdasan mental yang tertinggal sepuluh tahun, juga digambarkan apa adanya sepanjang cerita: begitu lugu dan polos, hingga didera kemalangan di akhir kisah karena sifatnya. Lalu tokoh Anak Baik, yang tampil sebagaimana anak-anak dengan pengetahuan terbatas yang membuatnya mengeluarkan banyak pertanyaan konyol karena rasa ingin tahu yang tak terbendung. Tokoh Kina, yang konsisten mencacat segala hal di gang Patos untuk keperluan karya fiksi yang menurutnya otentik. Dan banyak lagi.

Selain tokoh-tokoh tersebut, yang menarik lagi adalah bagaimana cara Dio menghidupkan sosok Pak Koksi tanpa pernah memunculkan batang hidungnya sepanjang cerita. Tokoh ini hidup dan cukup menarik perhatian lewat dongeng-dongeng hasil ciptaan Nisbi. Ketidakmunculannya tokoh Pak Koksi ini juga usaha Dio memberi teror kepada seluruh penghuni gang Patos, sekaligus kepada pembacanya. Seperti yang disebutkan dalam wawancaranya[1]—yang mengatakan bahwa dalam novela terbarunya ini ia ingin menghadirkan sense of horror tanpa hantu—Dio pun membuka kisah horor melalui cerita pak Koksi ini.

“[…] Orang Patos membangun desa yang amat bagus—tentu tanpa tulang naga, dan di seberangnya Orang Koksi mulai membangun desa yang sama sekali berbeda.[…] Pak Koksi mendatangi Samwau. Ia datang menawarkan ide lamanya, yaitu menyatukan dua desa agar memiliki tanah yang lebih luas dan sumber daya alam yang saling melengkapi. […] Suatu sore, seorang tak dikenal masuk wilayah Orang Patos, orang itu bersin-bersin sampai pingsan. Orang Patos menolong, sebagai gantinya beberapa hari kemudian Orang Patos ikut bersin-bersin. […] Pak Koksi juga membuka peluang emas bagi Orang Patos. Ia akan memberi satu rumah dan mantel bagi Orang Patos yang bersedia tinggal di wilayah yang sudah disediakan Orang Koksi. […] beberapa orang Patos yangbersin-bersin mengambil kesempatan itu.”

“[…]Orang-orang Patos hilang satu per satu,” jawab Wak Eli, “Saat mengetahui kabar itu, Samwau segera berdiskusi dengan Pak Koksi. Pak koksi meminta dukun-dukunnya untuk mencari tahu penyebab hilangnya orang-orang itu.” (hlm. 40-42)

Dalam kisah yang diketahui seluruh penghuni gang Patos ini, Dio berusaha menceritakan sejarah singkat gang Patos dengan cara lain yang lebih cerdik. Alih-alih mengisahkannya dengan gamblang, Dio membuat alegori untuk Orang Koksi sebagai penghuni kompleks Permata Permai Residence yangdibangun berseberangan dengan Orang Patos atau gang Patos. Sejarah singkat ini pun juga muncul dalam porsi yang pas dan diceritakan bergantian oleh tokoh-tokohnya (Nisbi, Edi, Wak Eli, Kina) kepada tokoh Anak Baik—yang bukan tanpa kebetulan[2]—untuk memahami sejarah singkat penghuni gang Patos sebelum ditinggal oleh penghuninya.

Tidak cukup dengan alegori tersebut, produksi ketakutan dalam Dekat & Nyaring pun dimunculkan lagi lewat interaksi antar tokohnya. Teror ini ditegaskan lewat sosok Sam—yang merupakan bekas penghuni gang Patos dan kebetulan berprofesi sebagai Polisi. Berikut.

“Aku mengerti perasaanmu. Aku tumbuh dan besar di sini, tapi sadarlah. Masa kejayaan itu sudah lewat, Nis. Lagi pula mereka tidak meminta kalian pergi secara cuma-cuma,” kata Sam, “Kau bisa pakai uangnya untuk buka warung atau apalah buat anakmu.”

“Kuingatkan,” kata Sam, mendekatkan wajahnya ke Nisbi, “Dua puluh tahun lalu dua ratus kepala keluarga tinggal di gang sempit ini. Dua ratus. Ramai dan damai. Seperti kehidupan yang layak, kan? Aku pikir juga begitu, tapi dulu aku masih terlalu muda dan naif. Mereka yang punya otak lekas pindah saat ditawari kesempatanyang lebih baik. Dan sekarang cuma kalian yang bertahan.” (hlm. 28)

Will Wright dalam Undestanding Genres: The Horror Films menyebut “adegan kekerasan fisik sering menjadi warna utama, misalnya pembunuhan, teror, mutilasi, dan darah.” sebagai salah satu ciri-ciri genre horor. Dalam kisah ini pun, Dio memperlihatkan peristiwa pembunuhan dan darah yang akan pembaca jumpai di babak-babak akhir. Dan dari 8 ciri lain[3] dalam penjabaran Wright, ciri ini sajalah yang dimanfaatkan Dio untuk memasukan sensasi horor dalam kisahnya. Selain itu, Dio juga mengamini pendapat Edgar Allan Poe, J.L Borgel, dan Peter Penzolt dalam ciri-ciri cerita horor dengan menghadirkan salah satu tokoh stereotip yang kerap hadir dalam kisah horor (dukun, tokoh agama, polisi), yang dalam kisah ini, muncul sosok Sam yang merupakan seorang Polisi.

Selain itu, Dio juga membuat judul buku ini terkesan misterius bagi pembaca[4]. Sepanjang pembacaan, pembaca akan beberapa kali melihat frasa dekat dan nyaring—tujuh kali tepatnya—sebagai penanda kisah semakin dekat menuju puncaknya.

Melihat ini, kita bisa dengan mudah mengatakan bahwa Dekat & Nyaring adalah novela yang bercerita tentang kaum yang bertahan dan yang terempas dengan balutan teror sebagai bumbu penyedap. Namun itu adalah kesimpulan yang terlalu terburu-buru, novela ini tidak hanya bercerita soal itu saja. Dio juga sedikit memberi pandangannya terhadap sastra (khususnya untuk para penulis) lewat tokoh Kina—sosok seorang penulis misterius yang merelakan dirinya menikahi Idris dan bermukim di gang Patos karena ingin menuliskan karya sastra yang otentik—dan Dea Anugrah—satu-satunya karakter yang hanya berhubungan dengan Kina dan bukan gang Patos.

Lewat tokoh Kina dan Dea Anugrah, Dio sedikit menyinggung masalah susastra yang selalu menjadi mitos: menggugah masyarakat dengan menyuarakan yang tidak tersuarakan. Dio sadar betul, bahwa dengan menciptakan karya fiksi, ia tidak dapat mengubah apapun, dan itulah yang ingin ia katakan dari sekian banyak gagasan dalam novela tipis berjudul Dekat & Nyaring ini. Hal itu bisa kita lihat dalam dialog antara Kina dan Dea, berikut.

“Kenapa sih, kau merasa perlu mewakili mereka? Itu sama saja dengan kau meremehkan kemampuan mereka. Mereka bisa menyelesaikan masalah mereka sendiri tanpa perlu kau wakili.”

“Orang perlu melihat masalah sebenarnya,” kata Kina.

“Kalau begitu tulis saja jurnal antropologi, esai, atau liputan mendalam. Jangan menulis novel, nggak akan mengubah apa pun. Kenapa kau nggak fokus memperbaiki tulisanmu sendiri, atau melakukan hal lain yang lebih bermanfaat seperti beternak lele, misalnya, ketimbang meromantisir kemiskinan orang lain?” (hlm. 93-94)

Dio memilliki keyakinan bahwa karya sastra tidaklah bisa mengubah apapun, dan ketimbang penulis sibuk berdakwah dalam karyanya—yang kemungkinan pesannya tidak sampai atau hanya menjadi kutipan motivasi di media sosial—maka hal yang lebih baik dilakukan adalah memperbaiki tulisannya. Dio sadar betul, seberat apapun gagasan yang ditawarkan dalam prosa fiksi, akan sia-sia saja jika dikisahkan dengan cara yang amburadul.

Melalui novela Dekat & Nyaring, Dio seolah memberi pukulan yang lumayan telak bagi penulis yang keasikan berdakwah dalam tulisannya dan tidak memerhatikan bentuk maupun gaya bercerita.Hal ini bukan berarti cerita yang memuat gagasan berat selalu buruk, bukan itu. Masalahnya adalah apakah tujuan penulis menulis cerita? Jika ia ingin menyuarakan yang tidak tersuarakan, maka pilihan yang bijak adalah menulis esai, opini, ataupun kajian yang bersifat non-fiksi.

Dalam hal ini, Dio sependapat dengan Edgar Allan Poe—dalam esainya berjudul “The Poetic Principle”[5]—yang menolak gagasan bahwa karya sastra sebaiknya memberikan penerangan moral dan karenanya Poe mengusung ide bahwa karya seni harus ditulis demi karya sastra itu sendiri.

Melalui Dekat & Nyaring, Dio seperti menjewer penulis yang keasyikan menceritakan hal tidak perlu dan para pendakwah yang salah tempat dengan frasa dekat dan nyaring, Dio juga berhasil memberi alternatif untuk para pencerita setelahnya memberi batas dan penanda agar cerita tak lari terlalu jauh. Melalui tokoh-tokohnya, ia juga berhasil menghadirkan ketakutan tanpa hantu dan bagaimana manusia dengan segudang imajinasinya bisa bertahan di situasi yang tidak memungkinan.

Dan jika ada satu hal yang buruk dalam novela Dekat & Nyaring, maka yang patut disalahkan adalah kembali laginya sosok Dea Anugrah di akhir kisah. Hal yang membuat para pembacanya bertanya, “Di luar gang Patos, apa hanya ada Dea Anugrah saja?”—selain tentu saja beberapa kesalahan penyebutan nama tokoh, yang cukup krusial, di tengah-tengah cerita.

Jakarta, Mei 2019.


[1] Dalam laman https://jurnalruang.com/read/1538062132-sabda-armandio-gak-perlu-bertele-tele#

[2]Untuk mengisahkan dongeng Pak Koksi, Dio pun menciptakan tokoh Anak Baik yang polos dengan segudang rasa ingin tahu dan sedikit keras kepala.Kisah tidak datang tiba-tiba tanpa motif (sebagaimana banyak prosa buruk yang sekonyong-konyong berkisah tanpa memerhatikan kausalitas).

[3] (1) Tokoh utama biasanya adalah korban yang mengalami teror atau tokoh pembawa bencana. (2) Tokoh Antagonis atau tokoh pembawa kejahatan biasanya terasing atau tersingkir secara sosial atau bukan bagian dari dunia nyata. (3) Dekor ruang relatif monoton. Misalnya sebuah rumah, kota terpencil, rumah sakit. Dekor waktu didominasi malam hari atau suasana gelap. (4) Tokoh agama sering dilibatkan untuk menyelesaikan masalah. (5) Hal-hal supranatural atau tahayul dipakai untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa yang tidak dapat dijelaskan secara rasional. (6) Tokoh anak biasanya memiliki kekuatan berkat kemurnian jiwa mereka. (7)Adegan kekerasan fisiksering menjadi warna utamanya, misalnya pembunuhan, teror, mutilasi, dan darah. (8) Teknologi sering menjadi salah satu pemicu masalah. Kearifan lokal dan kedekatan manusia dengan alam justru yang menjadi pemenangnya.

[4]Dalam pembacaan lebih lanjut, motif dari penggunaan frasa berulang ini bisa menjadi siasat yang sekaligus berperan sebagai benang merah, yang menjaga agar cerita tak lari terlalu jauh, dan penanda babak-babak penting dan krusial dalam cerita.

[5] Dalam A History of Literary Criticism: from Plato to Present. M.A.R Habib (Blackwell Publishing: Oxford, 2005) hlm. 464.


Doni Ahmadi , lahir dan tinggal di Jakarta. Menulis cerpen dan esai. Tulisannya tersebar di media cetak dan daring. Bukunya, Pengarang Dodit (Basabasi. 2019)

Puisi

Puisi Olen Saddha

Puisi Anak-Anak

Di mata anak kita

Suguhkan lukisan hijau alam yang jauh dari kering gersang

Memupuk beranda rumah

Agar subur dan jauh dari hama perkara

Di bibir anak kita

Tanamkan kalimat-kalimat tegas yang jujur tanpa tipu daya

Tuturnya adalah rindang

Peneduh diri dari terik matahari siang dan lalu lalang orang

Di bahu anak kita

Sandarkan benih terkuat yang mampu mengangkat tumpukan duka

Rangkulannya hangat kokoh

Merengkuh daun-daun yang mulai layu karena angin terlalu kencang

Di kaki anak kita

Pakaikan sepasang pengejut agar langkahnya tak pernah bimbang

Tujuan di depannya

Membisik untuk tetap bergerak sesuai dengan pikiran dan perasaan

(Desember 2017)


Menemukanmu

Aku menemukanmu dalam kotak hitam berisi rindu,

yang berserakan memapah lantunan bait merdu,

yang setiap waktu kudengar dari balik sepoi penafsir sesak paru,

yang langkahnya samar dalam memburu,

yang bisiknya membuang bising hari layu.

(2016)


Sesuatu di Dalammu

Bahumulah yang membuatku damai, seperti dahan yang menjamu burung-burung dengan teduh naungan. Aku tak mampu menemukan alasan untuk berhenti mendengar rimbunnya kalimat penenang.

Telingamulah yang membuatku lahir sebagai manusia, seperti perekam suara yang memuat rekaman ucapan tanpa lebih dan kurang. Menyimpan ucapan-ucapan itu di dalam ruang berupa ingatan. Sesekali kauputar ulang untuk menyeretku saat terlalu jauh keluar dari lintasan kewajaran.

Ketidakhadiran kabarmulah yang membuatku lumpuh, seperti dingin angin malam yang tak lekas berhenti meremukkan tulang-belulang. Aku tak menemukan sebab untuk berhenti berharap menemukanmu di antara detik-detik terang hingga siang memanggang.

(Juni 2017)


Di Ujung Kantuk

Di ujung kantukmu,

aku menyisipkan bungkusan berisi perasaan yang kurajut dari kenangan.

Kau akan memeluknya hingga ke dunia jauh yang selalu menggodamu untuk berlama-lama.

Saat pagi tiba, bungkusan itulah yang akan membisiki telingamu untuk lekas pergi dari situ.

Sebab aku sudah menunggu di balik pintu untuk membawamu menuju hal-hal tak terduga.

(2019)


Benang_Benang Terbang

Sepanjang napas malam,

aku melihat benang-benang pikiran terbang ke atas.

Semakin tinggi, semakin rumit jalinan yang mereka buat.

Hingga dini hari mereka masih pusing memikirkan cara

untuk melerai pergolakan dengan diri sendiri

(2019)


Masa Lalu

Masa lalu adalah genangan lumpur yang selalu menenggelamkan ketika kakiku berpijak di atasnya. Aku tak bisa selamat dari cekikan lengan-lengan kenangan yang menjalari sekujur tubuh.

Masa lalu adalah gempa yang merubuhkan perasaan dan keyakinan ketika pikiran terpaut pada hari berikutnya. Tak ada yang mampu menebak kapan lolongan panjangnya berakhir. Sebab ia akan terus mengejar bagai roh-roh gentayangan, yang lupa jalan kembali menuju tempat peristirahatan.

(2019)


Yang Tak Terlihat

Aku melihat jejak-jejak langkah yang menahan napas, seperti merpati yang tersedak karena tanpa sengaja menghirup kata-kata yang berterbangan di udara

Aku mendengar kerikil-kerikil berbisik dengan mata terpejam, mereka merapal kalimat panjang yang tak kumengerti artinya, tapi tetes hujan tahu ia sedang menahan diri agar tidak marah

Aku merasa di balik kulitku ada sesuatu yang mengalir selain darah, ia bersikukuh tidak mau keluar dari jalan panjang yang membentang di seluruh tubuhku. Ia terus berjalan sambil membawa segenggam benih dan menyebarnya di sepanjang jalan yang ia lalui. Dan saat benih-benih itu tumbuh, aku tidak bisa lepas dari rimbun. (Februari 2019)


Perih yang Lapang

Matanya biru laut yang menggelarkan kursi panjang untuk duduk sebentar

Tak ada kedip yang tiba-tiba

Semua wajar hingga membuatmu lupa berapa lama waktu yang kauhabiskan

Senyumnya hangat selimut tempat kausembunyi dari gigil akibat udara dingin lepas subuh

Tak ada padam yang mengejutkan

Semua bertempo datar dan kau amat tenang dibuatnya

Memang,

Sudah ia siapkan semua matang-matang,

dan sesuatu yang perih itu hanya ia simpan sendirian

(2019)


Melipat Kemungkinan

Sementara kau berjalan-jalan,

aku melipat kemungkinan dan kusimpan di saku kanan.

Nanti sesampainya di rumah akan kukumpulkan bersama lipatan-lipatan lain,

untuk melengkapi kerangka penghubung kita berdua,

yang kususun sendirian.          

 (2019)


Mata dalam Dadamu

Di sela-sela terik matahari pukul dua belas,

aku melihat wajahmu yang merengut sebab aku gagal merapal kata mesra.

Kauputar pandangan untuk membelakangiku,

tapi aku tahu mata dalam dadamu tak akan pernah sanggup melakukan itu.

(2019)


Olen Saddha, tinggal dan berkegiatan di Surakarta. Saat ini tengah bernaung di Komunitas Kamar Kata Karanganyar untuk memperkuat kemampuan menulis, guyon, dan rasan-rasan. Selain menulis ia adalah founder Inisiasi 66, kolektif lintas disiplin. Ia juga vokalis di grup musik Suarasa. Karya-karyanya pernah terbit di Jurnal Perempuan, Buletin Sastra Pawon, beberapa antologi-antologi bersama, dan surat kabar. Buku puisinya berjudul Memandikan Harapan diterbitkan oleh Kekata Publisher tahun 2017. Ia dapat dihubungi melalui akun instagram : @olensaddha, fb : Olen Saddha, Email : [email protected]

Cerpen

Otok-Otok dan Suara Seorang Perempuan dalam Kepala Gustam

Cerpen Erwin Setia

Sepulang dari kantor, Gustam melewati pinggir pasar, ia mendapati seorang anak memegang otok-otok dan seketika masa lalu membayang di kepalanya.

Masa itu belum terlalu jauh. Belum lebih dari lima belas perputaran bumi terhadap matahari. Tapi rasanya sudah tak bisa digenggam. Sudah jauh lepas dan mengingat-ingat tak membuatnya lantas kembali di genggaman.

Pada usia lima sampai tujuh tahun, Gustam suka ikut dengan ibunya pergi ke pasar. Ia turut ke pasar bukan untuk berjumpa dengan penjual daging yang genit kepada ibu-ibu muda atau untuk mendengar suara serak preman pasar yang napasnya berbau tak sedap—belakangan ia tahu itu aroma minuman keras. Ia mau ikut ke pasar, merelakan diri bangun lebih pagi dari biasanya, hanya untuk melihat-lihat aneka mainan. Syukur-syukur jika ibu berbaik hati membelikannya.

Salah satu mainan yang paling terkenang di benak Gustam adalah otok-otok. Sebuah mainan berbentuk kapal yang terbuat dari bambu atau kaleng. Ketika dinyalakan—lazimnya dengan bahan bakar minyak kelapa—mainan itu akan bergerak di atas air dan menimbulkan bunyi otok-otok. Bunyi itulah yang kini memenuhi kepala Gustam.

            “Apa bagusnya mainan itu, Gustam?”

            “Suaranya lucu, Bu. Bentuknya juga keren. Lihat cara benda itu bergerak. Seperti kapal laut di tv.”

            “Itu hanya mainan. Sebentar lagi juga ia akan berhenti bergerak. Lalu kamu bosan dan tak memedulikannya lagi.”

            “Tidak, Bu. Lihat, ia terus bergerak. Bergerak dan berbunyi unik.”

            “Baiklah. Bang, saya beli otok-otoknya satu.”

            “Wah. Terima kasih, Bu. Aku senang. Aku pasti tidak akan bosan bermain dengan otok-otok ini.”

Percakapan itu, dengan gambaran ibu, otok-otok, dan suasana pasar menjadi latar bagi lamunan Gustam pada sore yang gerah itu. Ia tak ingat sudah berapa lama tak melihat kapal mainan itu—sebelum kemudian melihatnya lagi saat ini. Ia juga tak tahu di mana otok-otok pembelian ibunya—otok-otok pertama sekaligus terakhirnya—kini berada. Apakah dulu mainan itu rusak lalu ayah buang bersama rongsokan lain atau hilang di suatu tempat atau masih teronggok di suatu gudang. Ia tak benar-benar tahu. Dulu, setelah otok-otok, beragam mainan lain muncul menggantikan. Mobil mainan, kereta mainan, pistol mainan, dan begitu banyak mainan lainnya. Otok-otok pun terpendam dan terlupakan. Persis dengan hal-hal lain apa pun di dunia ini. Tidak pernah ada yang bertahan terlalu lama. Karena dunia bergerak begitu cepat dan perubahan begitu kejam melindas hal-hal silam.

Gustam tersadar dari lamunannya ketika seorang gadis menegurnya.

            “Hai, kamu sedang mikirin apa?”

Gadis itu adalah rekan kerjanya. Alena. Ia berdiri di depan Gustam dengan kepala dimiring-miringkan seakan sedang meneliti apa yang terjadi pada diri Gustam sehingga ia terdiam begitu lama.

            “Oh, Alena. Tidak. Hanya hal kecil.”

            “Apa itu?” tanya Alena, masih dengan pandangan menyelidik.

            “Otok-otok. Kau tahu otok-otok?”

            “Ah, iya, aku tahu. Tapi aku lebih suka boneka barbie.”

            “Dulu ibuku pernah membelikanku otok-otok. Kemudian tak sengaja tadi aku melihat seorang anak kecil memegang otok-otok. Dan tiba-tiba saja pikiranku terlempar ke masa lampau. Semacam itulah.”

            “Kau suka bernostalgia, ya?”

            “Tidak juga. Hanya saja, ingatan-ingatan semacam itu memang sulit dicegah.”

            “Kau benar.”

Setelah ucapan pendek Alena itu, keduanya tampak seperti sepasang manusia yang dikutuk menjadi patung. Hanya diam dan nyaris tak berkedip. Saat sebuah becak yang membawa buntalan sayur hendak lewat dan sang penarik becak berteriak menghardik dua orang yang mengganggu jalannya itu, barulah Gustam dan Alena tersadar. Keduanya meminta maaf secara spontan dan berpindah ke tempat yang lebih tepat. Lebih tepat untuk ditempati dua orang yang tampaknya punya cukup waktu luang untuk sekadar bercakap-cakap atau mengamati hiruk-pikuk sore hari.

Di atas kursi halte, mereka duduk, dan mulai berbincang.

            “Rumahmu tak jauh dari sini?” buka Alena yang kelihatan tak nyaman jika hanya berdiam-diaman saja.

            “Satu kali naik angkot lagi, sampai.”

            “Aku juga. Jangan-jangan kita tetanggaan?”

            “Aku naik angkot ke arah barat. Kamu?”

            “Aku ke arah timur. Sayang sekali. Kupikir kita bisa lebih lama bersama dan melanjutkan percakapan di dalam angkot.”

            “Kamu suka ngobrol seperti ini dengan semua orang?”

            “Enggaklah. Malah aku ini sebetulnya pendiam. Memangnya kau tak memperhatikanku sewaktu di kantor. Aku tidak banyak omong, tahu.”

Gustam diam sesaat dan berusaha mengingat bagaimana Alena ketika di kantor. Memang, dibanding perempuan-perempuan lain di kantor, ia jarang mendengar suara Alena. Alena tak terlalu mencolok kalau dibandingkan dengan rekan-rekan perempuannya yang cerewet dan berisik seperti mesin diesel.

            “Entah. Aku memergokimu melamun dan tiba-tiba saja tebersit untuk menyapamu dan membangun percakapan-percakapan. Boleh, kan?”

            “Oh iya. Tentu saja,” kata Gustam sedikit tergeragap.

            “Kau mau tahu sesuatu?”

            “Apa?” Gustam mencoba untuk terlihat antusias. Ia tidak ingin membuat siapa pun merasa tak enak hati.

            “Aku suka membaca cerpen. Pagi tadi aku membaca cerpen tentang seorang lelaki yang bertemu dengan perempuan yang seratus persen sempurna. Kau percaya ada perempuan yang seratus persen sempurna?”

Gustam berpikir sejenak. Tidak ada gambaran apa-apa di benaknya menyangkut perempuan selain rona ibunya. Ibunya yang sudah beranjak tua dan sakit-sakitan. Tiba-tiba rasa rindu menyambar dirinya. Mungkin pada akhir pekan ia akan pergi ke rumah ibu, mencium tangannya yang berkerut, dan meminta maaf atas segala kesalahannya.

            “Hei, mengapa kau malah diam?” Alena menepuk bahu bidang Gustam. Gustam terlonjak bagai orang yang baru terjaga dari tidur nyenyak. “Hobimu melamun, ya?”

Gustam menggeleng-gelengkan kepala, mengusap matanya, dan meminta Alena untuk mengulang perkataannya.

            “Kau percaya ada perempuan yang seratus persen sempurna?”

            “Sempurna?”

            “Ya.”

            “Memangnya di dunia ini ada sesuatu yang sempurna?”

Mendengar kalimat itu, Alena tergelak. Ia meminta Gustam untuk melupakannya saja. Ia lalu bertanya apakah Gustam juga suka membaca cerpen. “Kadang,” jawab Gustam. Kemudian Gustam bercerita bahwa baru-baru ini ia membaca sebuah buku kumpulan cerpen. Dalam salah satu cerpen di buku itu, Gustam ingat betul satu penggalan kalimat, yang kira-kira berbunyi begini: Tapi tak pernah ada penderitaan terakhir. Kau tahu itu.

Alena tergelak lagi. “Kau ini aneh, ya. Aku sedang bicara tentang kesempurnaan. Kau bicara tentang penderitaan.”

Gustam tersenyum tipis. Ia agak malu. Ketika tadi Alena bertanya tentang cerpen, yang terlintas di benaknya memang hanya sebuah cerpen—tepatnya sepotong kalimat dalam cerpen—yang berisi tentang penderitaan. Ia tidak mungkin bisa mengendalikan pikirannya. Pikiran-pikiran semacam itu selalu bekerja di luar kendali.

Sebuah angkot berwarna merah tua dengan bagian bemper sebelah kiri sedikit penyok melintas dan berhenti. Alena bangkit. Ia pamit kepada Gustam dengan sebuah senyuman dan lambaian tangan. Ketika angkot yang ditumpangi Alena sudah berjalan kembali dengan meninggalkan kepulan asap kelabu, seorang ibu bersama anaknya duduk di kursi yang sebelumnya diduduki Alena.

Anak itu menggenggam otok-otok. Ia mengangkat mainan itu dan menggerak-gerakkannya seolah-olah udara adalah air sambil menimbulkan bunyi otok-otok dengan mulutnya. Berulang-ulang. Tok-otok-otok-otok-otok...

Gustam memperhatikan gerakan anak itu dan dengan khidmat mendengarkan tiruan bunyi otok-otok yang dibuatnya. Ia membayangkan anak itu dan ibunya sebagai dirinya dan ibunya di masa lalu. Ia senang membayangkan itu. Dan ia akan lebih senang jika kemungkinan bahwa masa lalu indah semisal itu dapat terulang. Tapi tak pernah ada masa lalu yang terulang. Ia tahu itu. Sama seperti tidak ada hal yang sempurna dan tidak ada penderitaan terakhir.

Sebuah angkot berwarna merah tua kembali melintas dan berhenti. Ibu dan anak yang menggenggam otok-otok itu beranjak menaiki angkot. Suara musik dangdut dari angkot itu keras sekali. Begitu angkot itu kembali berjalan dan sayup-sayup suara perlahan menjauh, Gustam merasa seperti seorang penduduk bumi terakhir yang ditinggal para penduduk lain yang sudah pergi ke mars. Sendiri dan sepi.

Waktu menunjukkan pukul setengah lima. Sudah cukup sore. Tapi angkot yang ditunggunya belum juga tiba. Sepuluh menit. Dua puluh menit. Setengah jam.

Ia bangkit dan memutuskan berjalan kaki sambil menanti angkot lewat. Anggaplah pada langkah keseratus sembilan puluh sembilan atau kedua ratus, angkot berwarna biru telur asin melintas. Tapi Gustam memilih untuk terus berjalan kaki. Sementara kakinya melangkah, bunyi otok-otok dan suara lembut Alena sedang bercokol di dalam kepala Gustam. Dan ia tak ingin suara-suara itu berakhir.***

Bandung, 1 Mei 2019


Erwin Setia lahir tahun 1998. Penikmat puisi dan prosa. Kini menempuh pendidikan di Prodi Sejarah dan Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di berbagai media seperti Koran Tempo, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Minggu Pagi, Solopos,Haluan, Koran Merapi, Padang Ekspres, dan Detik.com. Cerpennya terhimpun dalam Dosa di Hutan Terlarang (2018). Bisa dihubungi di Instagram @erwinsetia14 atau melalui surel: [email protected].

Buku, Resensi

Raden Saleh: Membaca dan Memandang

Oleh Bandung Mawardi

Kurnia Effendi pergi di negeri mantan penjajah. Kepergian tak lama, tak seperti Raden Saleh di masa lalu. Di hitungan puluhan hari, Kurnia Effendi mencari dan mengimajinasikan Raden Saleh di pelbagai tempat. Ia tak cuma mencari di Belanda. Kepergian ke Jerman, Prancis, dan Belgia tetap meniatkan ingin mencari tinggalan dan cerita bertokoh Raden Saleh.

Kedatangan ke Belanda pada abad XXI mustahil masuk di buku berjudul Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 (2008) susunan Harry A Poeze. Kurnia Effendi tak lagi mengalami masa kolonial tapi menginginkan ada panggilan sejarah dan imajinasi kembali ke abad XIX. Di sela mencari Raden Saleh, ia merasakan kehadiran atau melihat imajinatif lakon masa lalu bertokoh: Mohammad Hatta, Tan Malaka, Sutan Sjahrir. Pembaca tak usah memaksa mencari dan menemukan nama-nama: Ki Hadjar Dewantara, Noto Soeroto, Abdul Rivai, Ahmad Soebarjo, Marco Kartodikromo, Roestam Effendi, dan Soerjo Soeparto. Di kota-kota teringat memiliki universitas, museum, dan perpustakaan mentereng, Kurnia Effendi melewati hari-hari dengan mata-membaca dan mata-memotret.

Kepulangan dari Belanda, terbitlah buku puisi berjudul Mencari Raden Saleh. Judul agak mengecoh. Di buku, puisi mengenai Raden Saleh cuma sedikit tapi mengesahkan kepergian bermisi keaksaraan. “Puisi, mungkin serupa sketsa bagi pelukis, saat ditulis awal,” pengakuan Kurnia Effendi. Puisi demi puisi digubah di hari-hari terus berganti. Ia berlimpahan puisi gampang terkena tuduhan “serampangan” atau pencatatan kesan saja. Sejak mula, Kurnia Effendi menginginkan: “Untuk tak jatuh pada puisi turisme, maka perlu dilengkapi dengan pengetahuan.” Puisi-puisi dikerjakan serius meski di ketergesaan, cepak, dan kesemrawutan.  

Sasaran terpenting selama di Leiden (Belanda) adalah mengunjungi perpustakaan. Sejak ratusan tahun lalu, kepustakaan asal dan bertema Nusantara ada di situ. Di puisi berjudul “Boekenzolder”, Kurnia Effendi mengisahkan: Mengenai buku, tak ada jalan buntu/ Ia selalu memiliki pintu, tempat/ kita masuk dan keluar penuh tatu// Selalu ingin kembali, menambah luka baru// Dan suatu hari kita ciptakan tragedi/ untuk angan-angan yang tak pernah mati. Ia takjub pada buku-buku. Suasana untuk pembaca terasa menegangkan di pemenuhan pamrih melintasi halaman-halaman buku sejarah dan biografi para tokoh masa lalu. Pembaca ingin “tatu”, memiliki bekas luka.  

Ia menemui buku-buku sebagai perindu dan pengagum. Buku demi buku adalah alamat kangen ke masa lalu. Ia keranjingan membaca buku-buku, tak ingin detik berlalu tanpa “tatu” gara-gara buku. Pada 7 Juli 2017, ia menuliskan kesan selama berada di perpustakaan. Ia sedang mencari Raden Saleh dengan peta-buku. Pembaca di kepasrahan dan puncak hasrat: Karam yang paling indah adalah ke dasar palung/ perpustakaan: sunyi dalam timbunan gizi/ Menyibak hutan aksara, mengais remah sejarah. Bait di puisi berjudul “Universiteitsbibliotheek Leiden” mengabarkan keterpanaan tak usai dan pencarian belum sampai. Pada buku-buku, ia terlalu berharap untuk digenapi kunjungan ke museum-museum, melintasi jalan-jalan, dan memandang sekian bangunan.

Kita agak termangu. Ikhtiar mengenali Raden Saleh dan mengerti Indonesia mesti berada di negeri jauh. Panggilan ke buku-buku tua memang bersumber dari sana. Keinginan jadi pembaca harus melintasi daratan dan lautan. Koko Hendri Lubis memberi kesaksian bahwa Kurnia Effendi memilih rakus melahap buku-buku mumpung berada di Leiden (Belanda). Kurnia Effendi emoh sia-sia. Ia terang mengaku dalam puisi berjudul “Mencari Indonesia”. Puisi mirip kalimat-kalimat dalam surat mengandung kangen: Aku menjadi pengembara dengan uang negara/ Aku menuntut ilmu dari tumpukan buku-buku/ Aku tetirah memungut remah-remah sejarah/ Aku tertawan di ruang-ruang perpustakaan// Aku ke Leiden mencari Indonesia!

Ia memang pergi ke Belanda dengan dana Kemendikbud RI dan fasilitas teknis dari Komite Buku Nasional. Pergi jangan merugi. Pulang pun membawa oleh-oleh puisi. Selama di perpustakaan, ia berhasil menemu: Di lubuk arsip lebih satu abad, kuraba kertas/ buatan Eropa, tempat Raden Saleh menggurat aksara. Lega. Ia perlahan menemukan jalan keaksaraan sampai ke Raden Saleh. Pencarian mendapat sorot terang ke masa lalu, membuka rahasia demi rahasia.

Kurnia Effendi belum lelah. Perjalanan berlanjut ke kota-kota sebelah. Ia menuju Coburg, berharap semakin menemukan Raden Saleh. Permainan ingatan dan peka memandang-merasakan itu bekal sampai ke penemuan-penemuan tak utuh. Ragu ingin menghilang. Di puisi berjudul “Menuju Coburg”, Kurnia Effendi mencatat: Jika benar Raden Saleh pernah/ hadir di sana, ingin kudengar/ langkah kakinya. Ia pergi ke Belanda pada 2017. Pencarian belum sempat membekali diri dengan buku berjudul Raden Saleh: Kehidupan dan Karyanya (2018) susunan Werner Kraus. Selama di Coburg, Raden Saleh mengalami hari-hari indah dan membahagiakan. Ia bergaul dengan kaum aristokrat Eropa. Di sana, Raden Saleh memiliki studio kecil untuk melukis potret Ernst II, Alexandrine, dan Putri Leiningen. Werner Kraus mencatat waktu mukim Raden Saleh di Coburg: 26 Maret-6 Desember 1844. Pada masa berbeda, Raden Saleh bergirang mengunjungi dan tinggal di Coburg. Pada 2017,  Kurnia Effendi di Coburg menuntaskan penasaran meski sejenak.

Misi mencari tak henti-henti. Di Istanbul, 31 Agustus 2017, Kurnia Effendi masih terlalu mengingat peristiwa menelusuri jalan mengingatkan pada Raden Saleh. Puisi berjudul “Hoogstraat” kentara memusat ke Raden Saleh. Ada pencantuman keterangan di judul” “Napak Tilas Raden Saleh”. Puisi ditulis di kota jauh dari Indonesia dan Belanda tapi mengesankan ingatan dan pengimajinasian menguat. Kurnia Effendi menulis: Tak dapat kulacak di mana rumahmu/ Namun terasa di tiap jengkal jalan yang kutempuh/ terlekat percikan cat lukismu. Dinding-dinding toko/ itu berebut rapi menghapus aroma tubuhmu/ Tapi kafe demi kafe gagal menyembunyikan panggilanmu/ kepada pelayan, meminta tambahan minuman.

Di hadapan buku puisi, kita tergoda membaca (lagi) buku-buku mengenai Raden Saleh. Pada 1951, terbit buku berjudul Dua Raden Saleh: Dua Nasionalis dalam Abad ke-19 susunan Soekanto. Buku awal bagi pembaca di masa revolusi ingin mengenali Raden Saleh, lelaki tenar tapi memicu polemik di kancah seni dan politik. Pada 2009, kita semakin mengenali dengan penerbitan buku berjudul Raden Saleh: Anak Belanda, Mooi Indie, dan Nasionalisme berisi esai-esai garapan Harsja W Bachtiar, Peter BR Carey, dan Onghokham. Kini, buku berjudul Mencari Raden Saleh terbaca dengan keentengan tanpa pamrih memberi penjelasan-penjelasan argumentatif mengarah ke biografi, estetika, identitas, dan politik. Buku itu berisi puisi-puisi tanpa janji mengumbar referensi. Begitu.    


Bandung Mawardi, Kuncen Bilik Literasi. Penulis di pengenangpuisi.wordpress.com

Puisi

Puisi Anggi Putri

Sepotong Waktu

metafor dan segala hanya kebisuan tak bermakna

barangkali masih tersisa puisi di saku para pengemis

yang hanya menelan segenggam roti sisa pagi

atau menikmati senja yang hambar di antara langkah kaki

hari sama, waktu sama, puisi juga sama

berbondong-bondong memungut diksi di gorong-gorong,

kolong jembatan, dan carut-marut rasa

kepedihan yang purba

barangkali Tuhan masih menunggu di sisi kanan trotoar

dengan sekantung doa yang akan dikabulkan

lalu puisi diterbangkan;

pengemis hilang

Surabaya, 18 Januari 2019


Selimut Rindu

bulan gigil memeram sepi

sejumput rasa yang masak

pada pangkal hari

jatuh terserak, menyesak

di bawah selimut rindu

penuh pecahan embun yang tambun

masih kulihat kenang rimbun

mematuk waktu nan anggun

rekah siluetmu mendedah

kisah dan airmata kala itu

berkeriut di bilik hati yang alpa

tuliskan namamu pada ragu

subuh bangun, aku lupa kau

jauh di antara pandang

dan resah

debar dada merekam potretmu

yang tersapu gerimis lalu

Surabaya, 30 Desember 2018


Percakapan

sepotong episode yang tak lepas dari tempurung otak

seuntai candu kau tuang pada waktu

seolah belenggu tiada surut dalam kalbu

kau hanya sebatas bunga potong yang dipajang

beberapa hari kering dan terbuang

membajak kehidupan dengan air mata malam

berdenyar; sekejap lalu dan tenggelam

bintang tak lagi kisahkan elegi haru; kian merayu

menggoda setiap indera dalam sekujur tubuh

dan saat itu aku lebur dengan seluruh rasa

puing-puing cinta di pematang masa

Surabaya, 15 Januari 2019


Sunyi

kenangan kita ranggas dari pohon yang bersemi

ketika kita seka puisi dari halaman buku-buku

meleleh seolah kutukan jarum waktu

detak perjumpaan adalah kitab yang harus usai

lagu masa terlalu rancak memadati hidup

dan kehidupan. sepanjang rentang sungai

mengalir menjajaki kisah yang hampir sirna

manik-manik napas kesendirian pun rebah

sebilah rindu menindih sepimu

sandaran tak lagi tancap pukau

bisikan angin malam bertukar tangkap

melenakan jiwa belantara

menusukmu bertubi-tubi; perih

Surabaya, 16 Januari 2019


Mencari Jawaban

/1/

dari pinta paling suci

tapak risalah hati

/2/

dalam bilik tengadahkan puja

selendang nyanyian cinta

/3/

berkecamuk dalam dada

rindu purnama kian mengangkasa

/4/

repih-repih selimut gelora cinta

purnama: purna nama

/5/

setetes semangat merangkum aksara

pasti bisa, semoga

/6/

menyibak selimut dingin

asa di pagi hari

/7/

menyesap getir semerdu nyanyian sendu

belenggu: aku

Surabaya, 26 Desember 2019


Satu

terus berjalan mencari beningnya telaga

meski tenggorokan terus menahan dahaga

saat hujan tertahan diantara mega-mega

aroma candu akan terus berlaga

maka saat gelap makin merayap

dan sunyi kian mendekap

purnama tak akan lenyap

ia mengusir segala ratap

bila rindu mengenyam tiap kerjapan mata

jauh dari tatapan antara kita

sesungguhnya itulah yang disebut smita

cinta buana di alam semesta

Surabaya, 27 Desember 2018


Kisah Klasik

tahun telah gugur satu per satu di dalam tidur

sedang banyak anak-anak malam berkeliaran

merunut kisah tentangmu. hingga aku lupa namamu

yang ditiup angin dan melekat di kelambu

wewangi itu kadang mencekat hidung lalu hinggap

di ruang tamu, dapur, teras, dan dadaku

tercekat. sakit yang meradang hingga ke tulang belulang

tak mengapa jika musim menggulung lalu rebah

di pangkuan rembulan. hingga kau duduk menikmati perjamuan

di sisi utara meja makan dengan secangkir wedhang sechang

dan ragu memikirkan masa depan

aku tercengang;

kau hanya bayang-bayang

1000 hari yang tergenang

Surabaya, 14 Januari 2019


Dua Mata

jangan menatap penuh

agar perihal tak jadi keruh

jangan bertolak pinggang

agar selalu rekat kasih sayang

jangan mengobral isu

agar tak banyak bunga di pemakaman

yang makin layu

dan kelu makin membiru

biar puisi-puisi yang bercerita

memunguti sumpah serapah

yang membatasi diri kita

hingga segala tak hanya dusta

Surabaya, 29 Januari 2019


Anggi Putri, pencinta sajak yang lahir di Jombang, Jawa Timur. Selain menulis fiksi, ia juga seorang blogger, content writer, anggota komite sastra Dewan Kesenian Jombang, dan pencinta jalan-jalan. Karyanya pernah dimuat beberapa media cetak dan online di antaranya Suara Merdeka, Lampung Post, Radar Surabaya, Radar Mojokerto, Tribun Jateng, Malang Pos, Harian Surya, Majalah GADIS, Ruas Online, Kawaca, Radar Banyuwangi, dan lain sebagainya. Pernah menjuarai beberapa lomba puisi, Juara 2 Lomba Puisi IKIP PGRI Bojonegoro, Runner Up UNSA AMBASSADOR 2019, dan lainnya. Buku Puisinya Angin Kembara (2015) dan Laku(na) (2016). Lebih akrab bisa kunjungi www.anggiputri.com. Email: [email protected].

Cerpen

Berakhirnya Kuasa Tuan Tanah

Cerpen Ken Hanggara

Tuan Markoni memberiku segenggam tanah untuk kubawa pulang. Orang-orang di teras rumah mewah itu menatapku gembira. Aku tak bisa berkata apa-apa. Bukan karena tak mampu melawan, melainkan terlalu banyak lelaki bertubuh kekar berdiri mengawal tuan tanah keparat itu. Akhirnya, aku mundur. Pulang, meski jelas semua tahu entah ke mana aku bisa pulang. Satu-satunya yang terlintas di benakku adalah rumah Sapono.

Rumah itu terletak di tepi desa, dekat sebuah hutan dan jurang yang semenjak dulu dikabarkan sebagai titik terkutuk; iblis dan sekutunya kerap bercengkerama di jurang itu. Tidak sedikit orang mencari harta dan kuasa di bagian tergelapnya. Entah sejak zaman apa jurang dan hutan itu dianggap keramat dan entah berapa banyak orang yang sudah membuktikan. Orang-orang desa sendiri tak tahu. Mereka hanya berkata, “Sapono yang tahu tentang itu.”

Aku sendiri mengenal Sapono sejak masih kecil. Setahuku, dari dulu hingga kini dia tampak seperti itu-itu saja. Tahun demi tahun menggiringku ke kedewasaan. Wajah Sapono tetap sama seperti saat aku pertama kali melihatnya.

Tidak ada orang yang dekat dengan Sapono. Orang kerap bercerita yang aneh-aneh tentangnya, meski tidak ada bukti. Seperti tentang keluarga yang dia miliki, yang hilang tidak tentu rimbanya di hutan tersebut karena sebuah ritual sesat, namun tidak pernah ada usaha dari Sapono untuk mencari mereka. Versi lain mengatakan, dia menjadikan anak istrinya tumbal agar bisa hidup abadi. Tuduhan ini agak lebih mendekati masuk akal. Pasalnya, seperti yang sudah kubilang, wajah Sapono seakan terkurung oleh waktu; tak berubah bahkan mungkin hingga kiamat tiba nanti.

Jika kini seseorang memotretku dan Sapono yang sedang duduk berdua, barangkali siapa pun yang melihat hasil potretnya akan menganggap kami seumuran. Tentu saja dia jauh lebih tua dariku. Aku sendiri tak pernah tahu bagaimana wajah istrinya dan juga tak pernah memiliki kenangan apa pun tentang seorang Sapono yang berkeluarga. Bagiku dan teman-teman sepantaranku, sedari dulu Sapono sudah terkenal sebagai lelaki tidak waras yang penyendiri.

Dulu, aku dan teman-teman suka menjadikan Sapono bahan ledekan, sebab mengira dia gila. Tapi, kami tak melakukannya di depan yang bersangkutan. Kami akan bersikap sopan dan tenang saat Sapono sang pendiam melintas, lalu menjadikannya bahan-bahan cerita humor yang kami buat sendiri begitu dia sudah sampai di jarak yang kiranya tidak bakal bisa mendengar ledekan kami. Jujur saja kisah-kisah kami tentang Sapono sangat keterlaluan, sehingga ketika usia kami sudah cukup disebut remaja, aku merasa sangat berdosa padanya, dan berhenti melakukan itu, meski sebagian teman masih saja gemar meledek Sapono di belakang.

Sayangnya, perjalanan hidup yang tak mulus membuatku jarang lagi bisa bersama teman-teman. Waktu itu orangtuaku tak bisa berbuat apa-apa selain berutang ke seorang tuan tanah sekaligus lintah darat, Tuan Markoni, untuk menumpas penyakit aneh yang menggerogoti Ibu. Itu terjadi dua puluh tahun lalu. Ibu tidak sembuh. Dokter jelas tak bisa mencoba usaha lain karena tidak ada lagi yang bisa dipinjam dengan catatan utang dan bunga yang terlalu menumpuk. Ayahku, meninggal dalam lelah dan putus asa.

Suatu ketika, saat tiap anak lelaki berlomba-lomba mencari perempuan, aku malah bekerja susah payah dari pagi hingga larut malam di pabrik pengolahan limbah milik Tuan Markoni. Gajiku sebagian besar dipotong guna mencicil utang pembiayaan ibuku dulu, sedangkan sedikit sisanya kupakai untuk makan seadanya. Dalam situasi semacam itulah, kedekatanku dengan Sapono mulai terjadi.

Awalnya, aku menangis sendiri di tepi hutan dengan pikiran-pikiran akan mengajak iblis bersekutu demi memberiku kekayaan. Bagaimana tidak? Aku sudah buntu akal. Di tahun ke tujuh belas semenjak aku mengabdi pada tuan tanah itu, utang-utang kami tak juga dianggap lunas, padahal menurut hitunganku, utang kami sudah lunas sejak lima tahun lalu. Bunga yang terlalu gila dan tak masuk akal, yang terus berkembang dengan sesuka perut sang tuan tanah, menjadikanku tidak henti diperdaya, entah sampai kapan. Demi melihat teman-temanku telah menata hidup mereka, sedang aku sendiri entah tak ada yang tahu akan berakhir seperti apa, ingin rasanya aku bersekutu dengan iblis dan lepas dari jerat lintah darat itu.

Aku belum benar-benar memasuki bagian tergelap jurang dan hutan ketika Sapono tiba-tiba menyapa dan mengajakku pulang ke rumahnya. Entah bagaimana dia mengerti perutku lapar. Dia menyuruhku makan sampai tidak mampu lagi menelan makanan. Dia bahkan memberiku uang untuk bekal sepekan ke depan.

Aku tidak tahu cara membalas kebaikan orang, karena sepanjang hidupku tidak ada orang yang benar-benar berbuat baik padaku, kecuali Sapono. Maka, sering kali, di saat lelah dan tak ada pekerjaan di pabrik, aku pergi ke rumahnya. Sekadar menemani lelaki itu memandangi pepohonan liar dari belakang rumahnya. Kadang, kami duduk di depan televisi butut yang tak bisa lagi dinyalakan dan berbicara sepatah dua patah kata tentang hal-hal di luar sana; tentang perkotaan, tentang manusia modern, tentang politik, tentang apa pun. Tapi, tak pernah membahas diri kami sendiri. Karena itulah, meski mulai dekat dengan Sapono, aku belum juga tahu kebenaran tentang dia. Aku pun juga tak kepikiran untuk bertanya padanya.

Suatu saat, Sapono bertanya, “Kamu percaya yang orang bilang tentangku?”

Aku tak bisa menjawab, namun dia memberikan sedikit gambaran bahwa yang tiap orang sampaikan di luar sana tak sepenuhnya benar. Sapono tak memberikan penjelasan secara mendetail, tapi aku pernah melihat boneka berdebu di sudut ruang tengahnya. Di dapur aku juga pernah melihat celana dalam wanita dewasa yang sudah sangat kumal, yang dialih-fungsikan menjadi kain pel. Dengan pemandangan macam itu, kuasumsikan jika dulu Sapono benar pernah berkeluarga dan memang betul keluarganya kini tak lagi hidup bersamanya; entah apa yang terjadi, aku tak pernah ingin bertanya.

Suatu kali yang lain, Sapono bertanya, “Kamu ingin menjadi kaya?”

Tentu kujawab, “Ya, agar dominasi Markoni berhenti sesegera mungkin!”

Kukatakan padanya kalau selama ini Tuan Markoni memang sengaja memperdaya diriku (dan beberapa orang malang lainnya, kukira) agar bisa memberinya pundi-pundi uang selagi dia terus memeras uang dari siapa pun yang berutang padanya. Bahkan ada pula rumor yang mengatakan, selain memiliki pabrik biasa, dia juga mengatur judi-judi tertentu di tempat paling strategis di kota, sehingga bisa dibilang dialah orang terkaya di desa sekaligus paling berkuasa, meski tidak memiliki jabatan apa pun. Kepala desa pun kabarnya tunduk pada telunjuk Tuan Markoni.

Demi mendengar celotehku, Sapono cuma tersenyum dan, untuk pertama kalinya, dia mulai menyinggung tentang jurang dan hutan itu. Aku mendengar seluruh detail di obrolan kami kali ini. Aku menyimpan seluruh bagiannya, bahkan yang paling sepele. Sepulang dari obrolan yang kurasa sangat mendebarkan itu, aku terpikir untuk melawan. Tidakkah tujuh belas tahun cukup membuat seorang pemuda merasa muak?

“Kutunggu di sini,” ucap Sapono sebelum aku pergi saat itu.

Aku kembali lima hari kemudian. Sapono menatap hampa begitu segenggam tanah pemberian Tuan Markoni kucampakkan ke halaman rumahnya. Itulah hasil perjuangan untuk seluruh hartaku yang tersisa di dunia ini. Rumah beserta isinya, disita oleh tuan tanah itu lantaran ucapanku yang mulai menolak untuk mencicil utang yang seharusnya sudah lama kulunasi. Aku mengomel panjang lebar, tetapi Sapono tidak berkata apa-apa selain hanya tampak seakan sedang menunggu sesuatu.

Selepas omelanku kelar, Sapono bersuara, “Bagaimana?”

Aku mengangguk. Kali ini benar-benar tanpa keraguan. Aku bahkan yakin meski di sisiku tak ada Sapono, aku pasti bisa menelusuri sudut-sudut hutan dan jurang, untuk mencari bagian tergelap yang kabarnya hanya bisa ditemukan oleh mereka yang sedang beruntung. Penanda bagian tergelap itu, konon, adalah sebuah prasasti berupa batu nisan yang menancap tepat di dekat pohon kersen.

Sapono, dengan tubuhnya yang tampak kurus, begitu mudah menerabas tumbuhan liar dan semak belukar yang menghalangi, sementara aku kesulitan di beberapa bagian hingga suatu ketika aku tertinggal cukup jauh darinya. Pada satu titik, lelaki itu berhenti di depan sebatang pohon. Aku tahu di situlah bagian tergelap yang telah lama menjadi dongeng dan legenda di desa kami.

“Tidak ada yang dapat mencapai titik ini, kecuali aku. Dulu hingga beberapa menit yang lalu, hanya aku. Sekarang kita berdua di sini. Apa yang kamu minta?”

Aku tak bisa berkata-kata. Aku membayangkan banyak hal. Aku tak bisa mencoba memikirkan uang. Aku juga tak boleh memikirkan wanita secantik bidadari yang sedari lama kudamba. Aku hanya diperkenankan memikirkan wujud binatang liar. Sementara aku membayangkan kematian terburuk macam mana yang pantas bagi seorang rentenir, aku tahu pada saat itu pula Sapono tampak menatapku penuh dengan hasrat yang seakan lama dia tahan. Setelah wujud binatang itu kuputuskan, yakni seekor buaya, Sapono tak lagi bisa menahan hasratnya dan berkata, “Ini saatnya kuwariskan ilmuku. Menikahlah suatu hari nanti dan jangan berhenti hanya padamu.”

Kami pun memeluk batu prasasti itu. Mantra-mantra mengapung pada udara jurang yang pekat dan gelap. Tubuhku terasa dingin dan kaku, tapi kemudian segalanya terasa sangat aneh. Aku merasa tubuhku bebas dari seluruh penyakit. Aku merasa tersucikan, tapi Sapono mendadak terlihat sangat renta.

“Pergilah, Nak, pergilah,” demikianlah ucap lelaki tua itu. “Bereskan tuan tanah itu dulu sebelum membantuku pulang.”

Aku berlari sederas yang kubisa. Aku berlari dan berlari dan mendapati sisik demi sisik bertumbuhan pada permukaan kulitku. Aku tersandung dan jatuh, tapi dapat terus berlari dengan dua tangan dan dua kaki, tapi kemudian tanganku tak lagi terlihat seperti tangan. Seluruh bajuku robek dan kini aku melesat liar ke rumah musuhku dalam wujud lainku. ***

Gempol, 27 Mei 2019


Ken Hanggara, lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, esai, puisi, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-hara (2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (2018).

Cerpen

Kisah Tentang Seorang Pemuda Bodoh

Cerpen Adi Zamzam

Coba dengarlah sejenak kisahku ini. Sebuah kisah yang mungkin bisa kalian ambil pelajaran darinya. Kisah yang menceritakan tentang seorang pemuda yang merasa dirinya manusia sempurna. Tampan, cerdas, lahir sebagai keturunan saudagar kaya raya pula. Pemuda yang memelihara pikiran, jika seorang sempurna haruslah berjodoh dengan yang sempurna pula.

Maka, ketika kedua orangtuanya memilihkan jodoh untuk pendamping hidupnya, ia selalu saja menolak.

“Aku ingin jodoh yang sepadan, Ayah,” ujarnya.

“Sepadan bagaimana maksudmu?”

“Si Maya, yang Ayah tawarkan kepadaku itu, kedua matanya terlalu besar untuk ukuran wajahnya yang lonjong. Si Nadia, apa Ayah tak melihat bahwa gigi-giginya mengerikan sekali? Juga si Mega yang Ayah bilang keibu-ibuan itu. Apa Ayah ingin aku menikahi gajah?”

“Lantas yang kau inginkan itu yang seperti apa, Nak? Mana ada orang yang sepadan? Dalam hal jodoh, yang kita butuhkan adalah menyesuaikan diri dengan pasangan,” ganti sang ibu yang mengujar tanya.

“Apa Ibu tak melihatku? Aku ini anakmu, bertahun-tahun aku tinggal bersama kalian. Apakah ada yang terlihat cacat di matamu, Ibu? Yang tiada cela janganlah kau sandingkan dengan yang ada cela, Ibu. Itu jelas tak seimbang.”

Berubah sedihlah wajah sang ibu. Tanpa diduga, perempuan itu pun mengulurkan tangan kanannya demi memperlihatkan jari-jemarinya. Pemuda itu terkejut. Ia baru ingat bahwa jari telunjuk itu telah kehilangan satu ruasnya.

“Musibah itu terjadi sewaktu Ibu membantu kakekmu memanen padi. Jari Ibu terjepit saat berniat membetulkan poros perontok padi. Ibu masih sangat muda saat itu. Sepuluh tahun kemudian barulah Ibu menikah dengan ayahmu. Kami bahagia,” tutur sang ibu dengan lembut.

“Pokoknya aku ingin yang sebanding. Titik!” Pemuda itu meninggalkan kedua orangtuanya dengan marah. Sepertinya percuma saja memberikan pengertian kepada mereka.

***

Dan pemuda itu pun masih terus mencari dan mencari. Setiap ia main ke rumah teman-temannya, hampir selalu ia menanyakan hal yang serupa.

“Apa kau punya saudara atau kenalan seorang gadis yang tiada cela? Kalau punya, kenalkanlah kepadaku. Tentu aku akan sangat senang untuk memintanya sebagai pendamping hidupku.”

Namun jawaban yang ia dapat selalu saja mengecewakan hati. Justru mereka malah memamerkan kekurangan masing-masing.

“Suamiku hidungnya pesek, kepalanya juga sedikit benjol, tapi kami bahagia.”

“Ah, kau lihat sendirilah itu. Istriku cerewet sekali, kayak tukang jual obat kuat di pasar. Jika kami adu mulut, bisa kupastikan telingamu akan tuli. Tapi aku cinta dia. Hingga detik ini kami baik-baik saja. Dan kami bahagia.”

“Dari dulu suamiku suka kentut kalau di ranjang. Tapi aku kagum dengan keperkasaannya. Kami bahagia.”

Demikianlah jawaban dari beberapa temannya yang sudah berumah tangga. Namun pemuda itu tetap kukuh dengan pendiriannya.

“Aku yakin akan bisa menemukan yang sempurna, yang sebanding denganku. Aku tidak mau kecewa gara-gara mendapati cela di kemudian hari,” kilahnya, jika ditanya perihal dirinya yang amat pemilih.

Dan, bulan demi bulan pemuda itu terus mencari. Gadis demi gadis ia kenali, ia dekati, dan ia memang sadar, gadis sempurna seperti yang diinginkannya memang sukar dicari. Pikirnya, bukankah memang begitu? Bukankah barang bagus itu memang jumlahnya sedikit? Kekhawatiran orangtuanya selalu ia redam saja, meski dalam hatinya terselempit pula sedikit was-was.

Sampai suatu ketika ia mendapat sebuah kabar dari salah seorang pamannya yang baru saja pulang dari mencari barang dagangan.

“Ada tiga gadis kembar yang sangat sempurna. Aku yakin pasti kamu akan terpikat dengan salah satunya. Jika kamu mau, akan kuhubungkan dirimu dengan bapaknya. Kebetulan dia adalah penyuplai beras daganganku.”

“Lebih sempurna dari gadis-gadis kampung kita, Paman?”

Sang paman mengacungkan jempol sebagai jawaban. Ia bahkan berani menjamin di hadapan kedua orangtua si pemuda bahwa kecemasan mereka akan segera berakhir.

Dan benar saja. Ketika pemuda itu turut serta pamannya saat kunjungan berikutnya, ia langsung yakin bahwa di antara ketiga gadis cantik itu akan ada yang jadi istrinya.

Kedua orangtuanya gembira alang kepalang. Mereka bahkan langsung mendatangi ayah gadis-gadis itu guna meminta izin langsung agar anak lelakinya diperbolehkan mengenal satu per satu.

“Aku akan menikahi yang paling sempurna di antara mereka,” ujar pemuda itu di hadapan ayah ibu, serta pamannya.

“Kamu harus cepat, sebab aku dengar kabar katanya sudah banyak pemuda yang mendekati mereka,” tutur sang paman.

***

Hari pertama perkenalan, pemuda tampan itu memulainya dengan gadis yang paling tua.

“Hanya selisih tigapuluh menit?”

“Iya. Kalau dengan adikku yang nomor dua umurku hanya selisih lima belas menitan. Itulah kenapa kemudaan kami hampir tak terlihat perbedaannya,” tutur si gadis tertua.

“Saat ulang tahun kalian pasti selalu patungan untuk merayakannya.”

Gadis itu tertawa mendengar gurauan itu. Tawa manis yang terdengar merdu sekali. Membuat hati si pemuda tampan ingin lebih dekat dan semakin dekat.

Namun suasana cepat berubah ketika mata si pemuda tampan menemukan pemandangan itu. Ya Tuhan, jari tengah kaki kanan gadis itu ternyata cacat! Bentuknya lebih kecil dibanding jari kelingking kakinya sendiri. Dan itu sudah cukup membuat si pemuda tampan merasa mual.

Ketika si pemuda tampan kemudian meminta izin untuk mengenal gadis nomor dua, tahulah orang-orang bahwa gadis yang tertua pastilah punya cacat.

“Coba perhatikanlah jari tengah kaki kanannya yang luput dari pandanganmu, Paman. Jika aku menikah dengannya, pasti salah satu anakku akan ada yang jarinya begitu. Aku tidak mau,” jawabnya ketika ia ditanya sang paman.

Dengan gadis kedua pun sama. Sembari mengajaknya jalan ke beberapa tempat yang menyenangkan, si pemuda tampan diam-diam meneliti dengan saksama dari ujung rambut sampai ujung kaki. Juga dengan gadis yang ketiga.

Hingga akhirnya si pemuda tampan itu pun menjatuhkan pilihannya.

“Aku ingin menikah dengan gadis ketiga,” ujarnya, yang langsung bersambut pekik gembira kedua orangtuanya.

“Yang nomor dua kalau tidur mengorok keras sekali, Paman,” ujarnya ketika pamannya bertanya. “Waktu itu aku mengajaknya nonton konser di pantai. Dia kelelahan. Aku menyewa penginapan kecil. Paginya dia telat bangun. Dari luar kamarnya aku mendengar dengkuran yang keras sekali. Bayangkanlah, gadis secantik dia, tapi dengkurannya seperti raksasa. Mengerikan.”

“Yang nomor tigalah gadis sempurna yang aku cari, Paman. Tak kulihat sedikit pun cacat padanya.”

Pesta pernikahan digelar dengan sangat meriahnya. Ayah si gadis pun tak mau kalah dengan kemewahan pesta yang diadakan calon besannya. Dan sebenarnya, justru lelaki itulah yang paling berbahagia.

Singkat cerita, kebahagiaan itu semakin memuncak tatkala istri si lelaki tampan hendak melahirkan bayi pertama. Ia membayangkan, betapa lengkap sudah kebahagiaan yang dimiliki. Ketampanannya, kecantikan sang istri, harta yang lebih dari cukup, serta sebentar lagi akan ditambah dengan buah hati yang pastinya akan menuruni kesempurnaan ayah ibunya. Cinta yang ada akan semakin tumbuh dan semakin tumbuh.

Tapi ternyata tak demikian. Ketika melihat bayi perempuan yang baru dilahirkan sang istri, lelaki itu justru meradang. Cintanya seketika layu gugur ke tanah.

“Bagaimana bisa anak kami berkulit hitam, Ayah?” tanya lelaki tampan itu kepadaku. Ya, akulah ayah dari ketiga gadis kembar nan rupawan.

“Kulit hitam bukanlah cacat, Nak,” jawabku menenangkan.

“Tapi bagaimana bisa? Aku dan istriku tidak berkulit hitam!” cecarnya.

Hingga akhirnya terpaksalah kuceritakan semuanya. Ibu ketiga gadisku telah meninggal saat melahirkan mereka. Susah payah sendirian aku membesarkannya. Dari ketiganya, si bungsulah yang dulu paling sukar diatur. Dan dia memang pernah berhubungan dengan seorang pemuda berkulit hitam. Mereka kupaksa putus hubungan karena aku tak suka kelakuan pemuda pemabuk.***

Kalinyamatan – Jepara, 2013-2018.


Adi Zamzam, lahir di Jepara. Tulisannya dimuat di berbagai media. Tahun 2002, beberapa cerpen dan puisi dipublikasikan di Bahana Sastra-nya RRI Pro II Semarang. Tahun 2004, juara harapan Lomba Menulis Cerpen Islami Majalah UMMI. Tahun 2005, juara harapan Lomba Menulis Cerita Pendek Islami (LMCPI ke- VII) majalah ANNIDA. Tahun 2008, juara tiga Lomba Menulis Cerita Pendek Islami ( LMCPI ke-VIII) majalah ANNIDA. Tahun 2009 dan 2010, dua buah cerpen menjadi  karya favorit dalam LMCR memperebutkan LIP ICE Selsun Golden Award. Tahun 2010, nominasi lomba cerpen Krakatau Award 2010. Tahun 2012, juara tiga Lomba Menulis Cerita Pendek Islami (LMCPI ke XI) Majalah ANNIDA. Unggulan Lomba Cerber Majalah Femina 2014/2015. Juara 1 Lomba Cerpen Kategori C (Umum, Guru, Dosen, Pengarang) Green Pen Award 3 Perum Perhutani 2016. Masuk nominasi lomba cerpen Krakatau Award 2018.

Puisi

Puisi Faris Al Faisal

Daun Gitar

Sehelai daun gitar

Bergetar disapu jemari

Serak-serak lagu berceceran

Di pekaranganmu

Mengenalkan nada

Dawai-dawai cinta

Indramayu, 2018 


Apel Merah

Saat duduk di bawah pohon

Sebutir apel merah jatuh

Aku menjadi Isaac Newton

Menemukan keajaiban

Indramayu, 2018


Gugur

Gugurlah bayang-bayang

Sebuah jaring matahari robek

Mendengus hangus

Tak ada kehangatan

Bahkan hanya untuk bertegur sapa

Indramayu, 2018


Semusim Melingkar

Di matamu semusim melingkar

Ular-ular betina bermata liar

Menyimpan racun cinta mematikan

Indramayu, 2018


Derik Jangkrik

Sunyi di dadamu

Berderik jangkrik

Dalam selimut rumput

Indramayu, 2018


Si Jelita Panggung

Seteguk malam di atas panggung

Boneka teramat cantik

Milik pinggul si jelita

Seperti urat nadi

Bergetar menghidupkan

Tangan-tangan bergoyang

Indramayu, 2018


Senandika

Pada puisi, cerita pendek,

Rimbun akar senandika

Membelukar

Melilit dada

Batang pohon pikir

Matang berbuah

Indramayu, 2018


Biji Janji

Menanam biji janji di bibir

Tumbuh pohon tembakau

Dibakar pada batang rokok

Asap tempias tak berbekas

Indramayu, 2018


Todak

Mawar gerigi

Ikan-ikan todak

Berlompatan. Berlari

Memotong ombak

Membuat sajak

Indramayu, 2018


Rengkah Mawar

Pecah mahkota

Auman luka

Batas cinta yang kutanam

Pagar memakan

Rengkah mawar

Indramayu, 2018


Faris Al Faisal lahir dan tinggal Indramayu, Jawa Barat, Indonesia. Bergiat di Dewan Kesenian Indramayu (DKI) dan Forum Masyarakat Sastra Indramayu (FORMASI). Menulis fiksi dan non fiksi. Karya fiksinya adalah novella Bunga Narsis Mazaya Publishing House (2017), Antologi Puisi Bunga Kata Karyapedia Publisher (2017), Kumpulan Cerpen Bunga Rampai Senja di Taman Tjimanoek Karyapedia Publisher (2017), Novelet Bingkai Perjalanan LovRinz Publishing (2018), dan Antologi Puisi Dari Lubuk Cimanuk Ke Muara Kerinduan Ke Laut Impian Rumah Pustaka (2018). Sedangkan karya non fiksinya yaitu Mengenal Rancang Bangun Rumah Adat di Indonesia Penerbit Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2017).

Puisi

Puisi Norrahman Alif

Aku Tak Ingin Kelak Istriku Diberi Makan Puisi

Tampaknya aku harus bangkit dari kemurungan kata

sebab hidup tak bisa hanya berdiri di atas pundak puisi

aku harus berjalan–mencari hidup yang lebih hakiki

dari hakikat bahasa.

Karena aku adalah lelaki yang kelak tak akan sendiri

dan kodrat hidup memang tidak untuk bersepi-sepi

esok pasti akan berpasang-pasang hati.

Maka kuselingkuhi puisi sebagai istri simpanan hati

sementara kini aku tiba saatnya mencari

puisi yang lebih nyata dari buah imajinasi.

Biarkan penyair mencaci –aku bukan pemuisi sejati:

hidup-mati mengeloni puisi–ke barat ke timur hanya

berduka-luka memakani hidup dengan sepiring kata hati.

Tidak, aku tidak ingin kelak istriku diberi makan puisi

di saat hidup tiap hari menghadirkan kekurang-kekurang

yang tak dapat dicukupkan hanya dengan selembar puisi.

Karena puisi bukan uang yang merenggut segala

kamewahan dunia. Karena puisi bukan ladang

perkerjaan yang menghasilkan emas dan permata

karena puisi bukan kebun uang yang menghasilkan

kekayaan.

Namun puisi hanyalah gedung-gedung kenangan:

museum bagi tubuh-tubuh kesedihan bercerita

kelak tentang penyair yang belajar mengekalkan

hidupnya dalam kata.

2019


Berkali-kali Aku Dipermalukan

Berkali-kali aku dipermalukan

oleh perasaan. Aku ingin tahu kini

seperti apakah wujud perasaan?

Apakah ia seperti durian: kulitnya

bertaburan jarum kejahatan–namun

hatinya banyak mulut merindukan.

Namun kukira perasaan bukan buah

untuk dimakan, mungkin ia semacam

makhluk halus: gentayangan datang

dan pergi meletakkan rasa cemas dan

takut dalam hati.

Berkali-kali aku dipermalukan

oleh perasaan. Jujurlah Tuhan

apakah engkau perasaan itu?

Sehingga berjuta-juta manusia

memberhalakan perasaan dalam

kuil-kuil hatinya. Sementara aku

menjadi korban kejahatannya.

Berkali-kali aku dipermalukan

oleh perasaan. Saat ini  aku ingin

tahu seperti apakah sifat perasaan?

Ataukah seperti ludah lidah para

politisi: bermanis-manis perasaan

di depan kerumunan orang, demi

melancarkan mandat mimpi-mimpinya

menguasai dunia.

Tidak, perasaan tak sejahat itu, mungkin

ia sebaik rindang pohon kasih-sayang ibu

menaungiku dari hujan godaan kehidupan.

Berkali-kali aku dipermalukan

oleh perasaan. Berapakah harga

perasaan penyair di tangan seorang

perempuan?

2019


Aku Ingin Tidur dari Bayang-Bayang Kenyataan

Aku ingin tidur dari bayang-bayang kenyataan

bila selalu kesepian merawat usia–kesedihan

memakan hari-hari tak tersisa.

Namun apakah hidup ini?

apakah dengan mengumpulkan harta

hidup mewah berbaju emas dan permata

sudahkah dikatakan hidup.

Bukankah kitab penciptaan sudah bersabda:

hidup datang dari kekosongan dan pulang pula

pada celah kekosongan.

Kecuali, hanya hati akan

berisi keranjang buah pahala, jikapun aku punya

pohon kebaikan di sini.

Sungguh aku ingin tahu rahasia kenyataan?

atau mungkin aku sekadar bayang-bayang

yang ingin hidup menjadi makna kenyataan.

Namun apakah kenyataan itu sendiri?

jika makna kenyataan adalah kehidupan

barangkali kenyataan itu: makan enak,

hidup mewah dan mati istimewa.

Lalu untuk apa kenyataan diciptakan?

jika tidak digunakan sebaik-baiknya

untuk memperbaiki tingkah-laku duka

kehidupan.

2019


Lima Adegan Mawar layuku

/1/

Mawar yang kutanam dalam hatiku

ternyata telah kehilangan harumnya

dan keagungan tubuhnya telah memudar

tercuri oleh kenakalan masa lalunya sendiri

sungguh kini aku seperti menanam biji busuk

di ladang asmara.

Ke mana lagi harus kucari bunga mawar yang lain

dengan keharumnya yang masih perawan. Namun

bunga yang kumiliki ini telah bersumpah mati

siap menjadi pewangi rumah-rumah hariku–

kamar-kamar  hatiku.

Namun setelah kubaca-baca lagi buku kesadaranku

sangatlah bimbang menjadi lelaki sepertiku

hanya menjadi pemakan roti dari sisa-sisa kunyahan orang lain

namun jika perasaan sudah berkata dan cinta

makin sakit jiwa, tahimu pun akan menjadi

mawar di tanganku atau tubuhmu kekal perawan

dalam puisi-puisiku.

Bahkan ludahmu akan menjadi gula di pangkal lidahku,

sebelum  kutelan dan menjadi racun resah yang menyebarkan

virus-virus penyesalan sejauh usia berjalan ke batas paling nyeri.

/2/

Siang ini di tengah ladang-ladang waktu yang gerah

kau taburkan manis biji-biji janji: berharap tumbuh pohon kenyataan

esok hari. Aku pun hanya mengangguk dan kurang mengerti

sebab setelah kuperiksa jantung masa lalu dan kata-katamu

terlalu banyak ular yang melingkar dan mematuk janji-janjimu sendiri

menjadi sekadar ilusi.

Namun aku tak perlu tahu seberapa tinggi tiang hatimu

menjunjung pengharapanku menembus kabut kenyataan

dan mengibarkan bendera kasihmu padaku di mana-mana.

Karena kamu hanyalah bunga mawar yang kehilangan

kesegarannya di tiap-tiap pagi seorang lelaki.

/3/

Malam ini kau berlagak gila dan membuatku sakit jiwa

kita bercakap-cakap tentang rahasia keagungan yang

dimilik tubuh manusia. Sambil kau bertanya-tanya  mengenai

kebutuhan mendasar dari seonggok daging yang mulai

menegang dalam sarung kesepianku–sampai-sampai kita

melupakan kecantikan malam dan mengabaikan buah-buah

detik yang jatuh dari dahan menit di pohon waktu yang

hampir tumbang ke sisi jalan Subuh ini.

Pada akhirnya bunga mawar yang kehilangan keindahannya

sebelum menciptakan malam pertama di masa depan cinta bersama

berkata: “sayang, aku sudah tak tahan ingin meninabobokkan

anak-anak libidoku yang mulai sekarat menerjang meradang ini

sebelum aku gila dan jatuh pada kenikmatan yang salah kaprah.”

/4/

Pagi ini kau buka mata pagiku dengan api pertengkaran

yang tak kungjum padam ini. Kau nyalakan lagi api-api

masa lalu dalam kata, janji-janji yang berdebu dan kenangan-kenangan

yang kan menjauh. Seiring kita saling membunuh diri sendiri

demi sebuah kebenaran dan kerendahhatian perasaan.

/5/

Mungkin inilah puisi penghabisanku untuk mengekalkakan

separuh hikayat masa lalu dan masa depanmu.

2019


Malam-Malam Jahanam

Kutepikan diriku pada kata

Menyemai kembali luka sunyi

Di ladang-ladang cerita

Sebagai pesta pora hatiku

Yang dikucar-kacirkan

Perasaan nestapa.

Selalu di tepian malam gelisah

Kuseberangi waktu-waktu lara

Sampai kutemukan diksi sepi

Menari-nari dalam puisi.

Sudah lebih puluhan kali kukayuh

Jiwaku dengan wajah murung

Di tengah-tengah kampung

Yang sering di kutuk rasa sepi ini.

“Ke manakah orang-orang?”

Kesepianku berucap sesering

Mungkin ketika malam melampaui

Batas keramaian. Sungguh sunyi

Adalah bayi yang terluka, perih

Merintih dipangkuan ibu waktu.

Apakah karena orang-orang pagi

Menamakanku sebagai mata malam

Sehingga aku asing dan tenggelam

Di kebutaan mata orang-orang siang.

Maka dengan tekat sebulat biji mata

Kucari-cari kesenanganku dalam kata

Karena hanya dengan kata utangku

pada resah, sepi dan kegelapan terlunaskan.

2019


Kurayakan Kepergianmu dalam Puisi

Dan kau cukup tahu; bahwa usiaku terpotong-potong kehampaan

Menjadi bagian-bagian kenangan busuk dalam sakit mengenangmu

Sementara jiwaku makin runyam menerjemah tangis hatiku

Karena tak jelas mengapa padamu air mataku terus melaju.

Di kampung aku sudah kehilangan keteduhan angin dan pohon-pohon

Padahal kampung adalah sawah untuk menanam pikiran yang ruwet

Atau hatiku yang sulit menahan sakit kepergianmu

Walau sudah tak jelas bening wajahmu dalam cermin ingatanku.

Namun kau tak perlu tahu kondisi perih tahun-tahunku yang malang

Dan menjalang selama ini. Karena kau bukan lagi bagian dari tulang rusukku

Kau cuma sekadar objek dari air mataku yang terus melaju

Dari hati ke puisi dari puisi ke abadi.

2019


Berseberangan Keinginan

Jangan tanyakan padaku, lebih luas mana rinduku

Padamu atau harapmu padaku kembali ke kota kata

Sesungguhnya kerinduan kita sama-sama luas, kawan

Namun masih ada batas-batas keinginan yang mesti

Kita seberangi dalam jarak berjauhan ini.

Mungkin kau mencintai kebisingan kota

Yang dicipta oleh bibir-bibir manis para penyair

Namun aku lebih mencintai kesunyian kampung

Untuk meruang-raungkan kesedihan dalam puisi.

Perbedaan itulah yang membuat kita saling berseberangan ruang

Namun jangan cemas dan ragu, kerinduan kita harus takzim

Pada serajut keinginan lain yang tumbuh dari rasa nyaman.

Karena perpisahan itu fana –yang abadi hanya perjamuan jiwa.

2019


Ceracaun Ketidakwarasan 1

Saat ini aku duduk tapi melayang

ingin berdiri tubuh bergelombang.

Aku mungkin kemalingan kesadaran

aku kehilangan rasa hatiku

aku kehilangan anak akalku.

Siapa aku kekasih

aku anak siapa.

Bila masih aku hidup

tapi mengapa aku merasa mati

wajah semesta mengabur dalam tatapanku

mata-mataku kelabu menatap mata-matamu

mungkin aku kini adalah bayangan kegelisahan

yang tengah berjalan mencarimu

dalam hutan-hutan kerinduan

dalam semak-semak kehilangan

dalam goa-goa kegilaan.

Aku mungkin terlalu banyak menegak air mata

sehingga aku mabuk melangkah: dari sepi

ke nyeri lalu berhenti pada batas paling puisi.

Bahkan dalam resah jagaku saat ini:

aku berjalan namun jiwaku berdiam

aku bergerak namun ruhku mematung

aku tertawa sendiri namun ada yang

menangis dalam mataku.

Siapakah yang menangis dalam hatiku

siapakah yang merasa hina dalam jiwaku

tidak lain adalah engkau kekasih,

engkau kasihku. 

2019


Ceracauan Ketidakwarasan 2

Kekasih, kini aku akan berjalan sendiri

berjalan mencari kesenyapan inti sari hidup ini

setalah itu aku ingin berbicara pada maut

perihal hidup dan mati kapan menjemput.

Jika rindu padaku kekasih, carilah aku

di sepanjang jalan Malioboro. Lalu carilah

wajahku di antara wajah seniman, penyair

gembel, pengemis dan orang gila. Di

tengah-tengah penderitaan merekalah

aku bahagia mengawani kesedihanku.

Maka temuilah aku orang-orang yang mungkin

masih merindukan tawaku, kemurunganku dan kematianku.

mungkin ingin kirim salam rindu pada tuhan,

atau pada kerabat kalian yang lebih dulu menjadi nama

kenangan di batu nisannya. 

2019


Ceracau Ketidakwarasan 3

Sungguh aku lupa waktu

lupa diriku

siapa aku

sekarang dimanakah aku.

Masihkah aku hidup

atau perlukah masih

hidup butuh padaku.

Sepuluh jam hatiku

kesetanan rasa sedih kekasih.

Namun kau hanya sesegukan

dalam mimpi-mimpi tiap malam

di saat lari dari hujan ceracaun

ketidakwarasanku.

Sungguh kau tahu, kekasih

berjam-jam aku menjadi telepon genggam

demi suara serakku dapat menghubungi

hidupmu –namun kau malah tolak mentah-mentah

sebelum suaraku sampai dan menumpahkan seribu

air kemaafan di telingamu.

Sungguh betapa cemasku

sia-sia –cintaku

mati rasa –rinduku

sakit jiwa.

Barangki kini aku telah kehampaan mengingat

asal-usul hidupku:

dari bahan apakah hidup tercipta?

Bila dari api

mengapa aku tak mampu membakar

daun-daun kecemburuanku padamu.

Bila dari air

mengapa aku tak mampu menyucikan

kain hatimu dari debu-debu curiga padaku.

Bila dari udara

mengapa aku tak mampu melumat asap-asap

pikiranku tentang dustamu yang manis lalu.

Bila dari tanah

mengapa hatiku tak subur menumbuhkan

pohon-pohon kesabaran–rumput-rumput

keikhlasan mencintaimu tanpa musim pertekaian.

Bila rumah-rumah pikiranku

terus-terusan kedatangan tamu-tamu rindu

dari seribu kota kenangan tentang cintamu yang sekeras batu.

2019


Norrahman Alif, lahir di Jurang Ara, Sumenep. Menulis puisi dan cerpen di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta ( LSKY ). Beberapa karya saya bisa dinikmati di: Media Indonesia, Tempo, Republika, Kedaulatan Rakyat,  Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Solopos, Minggu Pagi, Radar Surabaya, Merapi, Magelang Ekspres, Bangka Pos, Radar Cirbon, Koran Madura, Majalah Simalaba, Analisa, Rakyat Sultra, Banjarmasin Post, Padang Ekspres, Lampung Post, Fajar Makkasar dll.