Ragam

PANGGUNG DAN BUKU

Acara itu megah. Yang menyebabkan megah: musik. Di panggung untuk orkes, aku melihat orang-orang yang memegang biola dan pelbagai alat musik. Di belakang, pasukan bernyanyi. Ruangan itu memiliki dua panggung. Di tengah, pangung untuk beragam peristiwa: pidato, menari, menyanyi, dan lain-lain. Panggung di sebelah khusus untuk musik.

Aku datang ke Pekalongan memenuhi undangan sastra tapi mendapat menu musik yang takarannya lebih banyak. Ditambah tarian dan pidato. Aku ikhlas saja. Dulu, aku sempat berpikiran: acara Prasidatama seharusnya banyak yang mengenai bahasa dan sastra. Di panggung atau ruangan, panitia bisa mengadakan bincang-bincang. Di layar, orang-orang bisa menikmati film dokumenter bertema bahasa dan sastra. Di dinding atau meja, beragam buku atau terbitan bisa dipamerkan. Foto-foto tokoh bisa dipajang di dinding atau berjajar di panggung.

Pikiranku itu kengawuran yang sulit diampuni. Aku mengikuti acara berurusan bahasa dan sastra tapi sulit menemukan pemandangan buku-buku. Balai Bahasa Jawa Tengah rutin memberi penghargaan untuk buku-buku yang ditulis para pengarang di Jawa Tengah. Aku pastikan yang terpenting adalah buku.

Di Hotel Nirwana, aku kebingungan mencari pemandangan buku. Yang aku maksud adalah buku-buku sesuai dengan misi yang diusung Balai Bahasa Jawa Tengah dan pelbagai pihak yang ingin memajukan bahasa dan sastra. Pengarang-pengarang memahang hadir tapi tak ada janji buku-buku ikut hadir.

Di tas, aku membawa beberapa buku, yang akan aku bagikan kepada orang-orang yang berhak. Sengaja, aku menjadikan pertemuan-pertemuan dalam acara untuk mengedarkan buku. Misi yang sembrono. Aku ingin pergi bersama buku-buku. Di alamat-alamat yang didatangi, buku-buku bertemu dan berhak dimiliki orang-orang pilihan.

Seingatku, Indah Darmastuti membawa buku. Di gerbong, ia sempat mengatakan ingin memberikan buku kepada seseorang. Aku tidak mengetahui orang-orang yang sebenarnya membawa buku-buku atau berbagi buku mumpung kumpul bersama di Pekalongan.

Tiba saatnya panggung menjadi milik bahasa dan sastra. Bergantian, orang-orang membacakan pengumuman peraih Prasidatama untuk novel, kumpulan cerpen, kumpulan puisi, dan lain-lain. Yang sering terdengar di telinga: “adalah”. Mereka yang mengumumkan wajib mengucap “adalah”. Pikiran isengku muncul: Prasidatama itu “album adalah”.

Panggung ramai orang. Yang hadir bertepuk tangan. Di depan panggung, orang-orang sibuk memotret. Di kejauhan, aku memandang dengan girang, lupa bertepuk tangan. [] Kabut

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *